Selasa, 02 Desember 2008

Politik Isolatif Muhammadiyah



Oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy*

Catatan Tanwir I Pemuda Muhammadiyah

Bertempat di Asrama Haji Kota Batam, 6-8 September 2007 Pemuda Muhammadiyah menyelenggarakan Tanwir, yang kali ini mengambil tema, ”Memimpin untuk Keutuhan dan Kemakmuran Bangsa”. Diangkatnya tema ini bukan tanpa alasan. Ada banyak persoalan yang perlu mendapatkan perhatian semua elemen bangsa, tak terkecuali Pemuda Muhammadiyah. Salah satunya terkait masalah kepemimpinan nasional.

Secara politik diakui, jatuhnya rezim orde baru (Orba) telah membawa perubahan sistem poltik dari otoritarianisme ke arah sistem politik yang lebih demokratis, meski masih bergerak pada tataran yang bersifat prosedural, yang ditandai misalnya dengan berbondong-bondongnya masyarakat untuk memilih pemimpinnya secara langsung. Sementara substansi demokrasi yang memberikan ruang politik kepada seluruh masyarakat tanpa diskriminatif tercampakan secara nadhir.


Nah, untuk memperkuat bangunan sistem politik yang tengah kita bangun, dibutuhkan resourses politik yang kapabel dan mempunyai integritas moral. Salah satunya tentu diharapkan lahir dari lingkup Muhammadiyah melalui elemen-elemen mudanya seperti Pemuda Muhammadiyah.

Kenapa Muhammadiyah?

Untuk tidak menafikan elemen masyarakat lainnya, Muhammadiyah (dan Nahdlatul Ulama) merupakan dua elemen terbesar bangsa ini yang mempunyai andil cukup besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Semua proses politik yang terjadi di Indonesia, Muhammadiyah selalu terlibat di dalamnya, baik sebelum kemerdekaan hingga saat ini. Muhammadiyah misalnya ikut andil dalam pendirian Partai Islam Indonesia (PII), terlibat pendirian Majlisul Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Masyumi, termasuk ketika berubah menjadi partai politik pun Muhammadiyah terlibat di dalamnya.


Ketika sidang-sidang PPKI maupun BPUPKI yang merumuskan dasar negara, Muhammadiyah juga ikut terlibat aktif di dalamnya. Bahkan, ketika tujuh kata dalam Piagam Jakarta berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, Muhammadiyah pun terlibat di dalamnya.


Pasca kemerdekaan Muhammadiyah juga mendudukan wakil-wakilnya di parlemen maupun jabatan publik lainnya. Ketika meletus Peristiwa G 30 S/PKI, Muhammadiyah juga terlibat aktif menumpas PKI, termasuk duduk di dalam Front Pancasila. Ketika rezim Orba berkuasa, Muhammadiyah ikut andil dalam pendirian Parmusi. Selepas menyatakan diri sebagai ormas keagamaan yang netral politik, Muhammadiyah pun juga masih ikut cawe-cawe dalam persoalan politik, termasuk memberikan rekomendasi pendirian PAN. Begitu juga melalui Tanwir Mataram Muhammadiyah mengamanatkan warganya untuk mengkaji secara sungguh-sungguh upaya pendirian partai baru, yang kemudian direspon eksponen Angkatan Muda Muhammadiyah dengan mendirikan PMB.


Kenapa Muhammadiyah melakukan itu semua? Jawabnya, karena kesadaran dan menjadi salah satu prinsip dasar pendirian Muhammadiyah, yaitu mengembangkan dakwah amar makruf nahi munkar di semua ranah kehidupan, termasuk bidang politik. Dengan prinsip dasar ini, tidak heran kalau Muhammadiyah selalu berusaha melibatkan diri, termasuk di bidang politik. Apalagi, Muhammadiyah termasuk komponen bangsa yang mempunyai saham besar bagi kemerdekaan Indonesia, sehingga beralasan bila Muhammadiyah terjun di ranah politik. Justru akan dipandang aneh kalau Muhammadiyah mengambil posisi emoh pada politik, baik dalam pengertian high politics maupun low politics.

SK 101: Politik Isolatif?

Dengan kenyataan sejarah yang demikian, menjadi heran dan sepertinya sulit dipahami ketika PP Muhammadiyah mengeluarkan SK 101 tentang tidak boleh rangkap jabatan di partai politik. Lebih sulit dipahami lagi ketika tidak boleh rangkap jabatan tersebut tidak saja berlaku bagi 13 pimpinan di Muhammadiyah, tapi juga bagi ketua, wakil ketua dan sekretaris majelis maupun lembaga di semua tingkatan, ketua umum, ketua, sekretaris jenderal/ sekretaris umum, sekretaris organisasi otonom (Ortom), pimpinan amal usaha, rektor, kepala, direktur, dekan, dosen dan guru seluruh lembaga pendidikan Muhammadiyah.


Ditinjau dari aspek historis terkait relasi Muhammadiyah dan politik, tentu SK tersebut ahistoris, karena menafikan sejarah bahwa Muhammadiyah pernah mewarnai panggung politik di Indonesia. Begitu juga ditilik dari aspek kekinian, di kala bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan dan membutuhkan keteladanan resourses politik, keluarnya SK tersebut menjadi sesuatu yang naïf dan terkesan masa bodoh dengan carut marut kondisi kepolitikan Indonesia saat ini. Inilah karakter yang dulu ditunjukan oleh Murji’ah pasca Perang Jamal dan Shiffin. Mereka mengambil sikap emoh pada politik dan lebih suka melakukan kajian-kajian ke-Islam-an di masjid-masjid.


Bila keluarnya SK tersebut dimaksudkan untuk menghindari agar tidak terjadi gesekan politik di tubuh Muhammadiyah, sepertinya berlebihan. Berpolitik bukan hal baru bagi Muhammadiyah, sehingga kalaupun terjadi gesekan politik itu hal yang wajar selama tidak mengganggu tatanan di Muhammadiyah, dan dalam konteks ini Muhammadiyah sangat sarat pengalaman, sehingga kekhawatiran tersebut menjadi berlebihan.


Kalau alasannya agar Muhammadiyah lebih terurus, sepertinya juga tidak cukup beralasan. Sebab andai seluruh ”elite Muhammadiyah” tidak berpolitik praktis, apakah menjamin bahwa Muhammadiyah akan lebih terurus. Bisa jadi malah sebaliknya, sebab keberhasilan Muhammadiyah selama ini juga di antaranya akibat dari peran dan kerja-kerja politik yang dilakukan oleh ”elite Muhammadiyah” yang terjun di politik praktis.


Keluarnya SK tersebut justru akan dinilai sebagai bentuk politik isolatif Muhammadiyah terhadap politik praktis, dengan cara mengkrangkeng kader-kader politiknya untuk terjun di politik praktis. Memang dalam SK tersebut tetap membolehkan warga Muhammadiyah berpolitik selama yang bersangkutan tidak menduduki jabatan-jabatan sebagaimana disebut di atas. Hanya persoalannya, apakah akan laku ”dijual” warga Muhamamdiyah yang tidak menduduki jabatan strategis di Muhammadiyah? Sebab daya tarik warga Muhammadiyah justru melekat dalam jabatannya.


Dalam SK tersebut juga memang memungkinkan warga Muhammadiyah berpolitik praktis selama hal itu dilakukan untuk kemaslahatan dan memperoleh izin dari PP Muhammadiyah. Namun, apakah tidak akan dinilai sebagai bentuk ambiguitas politik Muhammadiyah. Satu sisi melarang elitenya berpolitik, tapi di sisi lain membolehkannya selama yang bersangkutan telah mendapat izin. Jelasnya, kalau SK tersebut tetap dipaksakan untuk diterapkan secara kaku, akan menjadi kemunduran bagi Muhammadiyah dalam relasinya dengan politik. Semoga tidak! ***

*) Ma’mun Murod Al-Barbasy, Ketua PP Pemuda Muhammadiyah dan Direktur Laboratorium Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Tidak ada komentar: