Selasa, 02 Desember 2008

Imperialisme di Negara-negara Muslim

Imperialisme di Negara-negara Muslim PDF Cetak E-mail

By Nurcahyo Ibnu Yahya, on 12-08-2008 11:52

Views : 1257

Favoured : 19

Published in : Artikel, Artikel

Oleh : M Sholahuddin SE MSi,

Staf pengajar Universitas Muhammadiyah Surakarta


Bagi negara-negara dunia ketiga yang notabene adalah negara-negara muslim, globalisasi tidak lain adalah imperialisme baru yang menjadi mesin raksasa produsen kemiskinan yang bengis dan tak kenal ampun.

PADA 29 Juli-1 Agustus 2008 digelar acara Internasional Conference of Islamic Scholars (ICIS) III di Jakarta. Acara itu dihadiri para tokoh agama (ulama) dan cendikiawan muslim dunia.

Ada beberapa catatan penting dari konferensi itu, yakni pertama, pembentukan ulama sans frontieres atau ulama lintas batas yang akan dilaksanakan oleh masing-masing perwakilan ICIS di lima kawasan, yaitu Asia Timur dan Pasifik, Asia Selatan dan Tengah, Timur Tengah, Afrika, serta kawasan Amerika dan Eropa.

Ulama lintas batas adalah suatu upaya kerja sama antara ulama dan cendekiawan serta kelompok profesi lainnya di bidang pencegahan konflik di dunia Islam. Ulama lintas batas akan dilaksanakan dengan semangat komprehensif dan sensitivitas, dialog, keterbukaan dan kesabaran, solidaritas kemanusiaan, keadilan, dan kepemimpinan yang visioner.

Kedua, melahirkan Jakarta Message yang salah satu isinya adalah keprihatinan atas perbedaan Islam —sebagai agama perdamain dan kesatuan— dengan kenyataan bahwa dunia Islam masih tercoreng oleh konflik, kekerasan, dan kemiskinan (Republika.co.id, 1/8/2008).

Ketiga, adanya kesepahaman tentang akar konflik yang saat ini terjadi di dunia Islam. Sebagaimana diberitakan oleh Kompas (31/7), rangkuman berbagai diskusi pada konferensi tersebut menyimpulkan bahwa berbagai konflik yang terjadi di sejumlah negara berpenduduk mayoritas Islam lebih banyak dipicu oleh faktor eksternal ketimbang internal di antara umat muslim di negara-negara tersebut.

Ulama terkemuka Suriah sekaligus pemikir Islam yang buku-bukunya menjadi bacaan wajib di berbagai negara, Prof Dr Wahbah Az-Zuhaili, menegaskan, selama 14 abad negara-negara Arab dan Islam hidup dalam damai. Sejak Amerika Serikat (AS) datang dan menanamkan pengaruhnya, justru terjadi perpecahan di negara-negara Arab.

Syekh Umar Idris Hadrah ( Sudan) menuturkan hal yang sama. Sudan sempat guncang akibat konflik Darfur, tetapi saat ini kondisi keamanan dan politik negara itu mulai stabil. Meski demikian, Barat selalu berusaha mengganggu stabilitas karena ingin meraup kekayaan alam Sudan, terutama di Darfur.

Konflik antaretnis Darfur itu tidak benar. Hal tersebut hanya di-blow up (dibesar-besarkan) oleh media asing. Ada upaya memecah belah rakyat Sudan.
Konflik Irak

Sementara itu Kepala Kantor pemimpin Syiah Irak Moqtada al-Sadr, Majid Kadhim Shanyoor, menyatakan, jika AS masih ada di Irak, kondisi negara itu tidak akan pernah aman karena konflik antara kelompok Al-Sadr dengan Sunni dan Kurdi merupakan cara AS memecah belah bangsa Irak.

”Kami menolak segala macam keinginan pembagian wilayah dan kekayaan sumber alam. Kami menginginkan Irak yang bersatu dan penarikan pasukan AS. Kami tidak terlibat dalam pertikaian kelompok di Irak,” tandas Shanyoor.

Berdasarkan presentasi para ulama itu, penyebab utama keguncangan dan kerusakan di negeri-negeri tersebut adalah faktor eksternal, yakni penjajahan AS dan sekutunya. Sebagaimana diketahui, saat ini AS sedang melancarkan imperialismenya di negeri-negeri muslim melalui dua cara.

Pertama, melalui intervensi militer, seperti yang sedang dipertontonkannya saat ini di Irak dan Afghanistan. Baru-baru ini, Presiden AS, George W Bush, menandatangani tambahan anggaran perang di Irak dan Afganistan sebesar 162 miliar dolar AS.

Tambahan anggaran tersebut memungkinkan Pentagon menggelar operasi militer di Irak dan Afganistan hingga pertengahan 2009.
The House of Representative AS juga tidak menetapkan batas waktu penarikan tentara AS dari Irak. Alasan yang paling memungkinkan kenapa AS masih ingin bertahan di Irak adalah faktor minyak.

Dengan cadangan minyak Irak yang sangat besar, tentu akan menjadi darah segar bagi ekonomi AS yang sedang kolaps. Di Irak diperkirakan terdapat cadangan minyak sekitar 115 miliar barel, yang merupakan cadangan terbesar ketiga di dunia.

Kedua, intervensi nonmiliter berupa politik dan ekonomi. Imperialisme seperti itulah, yang diterapkan AS dan sekutunya di negara-negara muslim lainnya, termasuk Indonesia.

Alat utama yang digunakan AS untuk memuluskan imperialismenya tersebut adalah globalisasi. Dengan demikian, bagi negara-negara dunia ketiga yang notabene adalah negeri-negeri muslim, globalisasi tidak lain adalah imperialisme baru yang menjadi mesin raksasa produsen kemiskinan yang bengis dan tak kenal ampun.

Jerry Mander, Debi Barker, dan David Korten, tanpa ragu menegaskan, kebijakan globalisasi ekonomi sebagaimana dijalankan oleh Bank Dunia, IMF, dan WTO, sesungguhnya jauh lebih banyak menciptakan kemiskinan ketimbang memberikan jalan keluar (The International Forum on Globalization, 2004: 8).

Itu merupakan fakta bahwa penjajahan atau imperialisme merupakan metode baku (thariqah) negara kapitalis untuk menguasai negara lain; yang berbeda hanya terbatas pada bentuk dan pola penjajahannya. Bagaimana dengan Indonesia ?

Imperialisme Baru

Jika dihitung sejak Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, negeri ini telah 63 tahun merdeka. Namun, tidak banyak yang menyadari bahwa penjajahan atas negeri ini sebetulnya tidak pernah berhenti. Yang berbeda hanyalah bentuknya saja.

Jika sebelum proklamasi kemerdekaan dijajah secara fisik; pascaproklamasi kemerdekaan negeri ini dijajah secara nonfisik, terutama melalui penjajahan politik dan ekonomi. Liberalisme menjadi alat efektif penjajahan baru tersebut. Itulah yang sebetulnya terjadi.

Yang amat menyedihkan, liberalisme yang sebetulnya menyimpan bahaya terselubung tidak banyak disadari oleh bangsa Indonesia. Buktinya, tak ada perlawanan sama sekali dari bangsa ini terhadap liberalisme yang notabene alat kaum penjajah.

Yang lebih menyedihkan, penjajahan melalui liberalisme justru dilegalkan oleh para pemimpin negeri ini melalui sejumlah undang-undang.

Atas nama pasar bebas (WTO, AFTA, APEC, Bank Dunia, IMF), kita dipaksa membuka keran privatisasi yang luar biasa, termasuk dengan menjual aset-aset publik mereka kepada swasta asing, baik dengan alasan untuk membayar utang maupun agar kompatibel dengan aturan-aturan internasional.

Lembaga-lembaga kreditur internasional tersebut melalui berbagai skema pinjaman luar negeri memainkan peran penting mendorong agenda privatisasi melalui berbagai produk regulasi seperti undang-undang sumber daya air (UU SDA), UU minyak dan gas bumi (migas), UU penanaman modal, hingga privatisasi BUMN.

Hasilnya, saat ini investasi sektor migas, misalnya, sebanyak 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia dimiliki oleh perusahaan asing. Ironisnya, kebanyakan draf UU itu justru dibuat oleh pihak asing melalui IMF atau Bank Dunia yang notabene lembaga kolonial mewakili kepentingan negara-negara penjajah seperti AS.

Liberalisme juga sedang mengacak-acak politik kita. Pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah pilkada), terbukti hanya menghamburkan biaya dan memicu banyak konflik sosial ketimbang melahirkan pemimpin yang adil. Bahkan sejak era reformasi sudah tak terhitung wakil rakyat dan pejabat di pusat maupun derah yang terlibat kasus korupsi.

Yang lebih parah, liberalisme juga sudah masuk dan mengacak-acak dunia pendidikan, bahkan agama.
Padahal pendidikan dan agama adalah dua pilar yang sangat urgen dan virtal bagi sebuah negara.

Karena itu, kita tidak boleh tinggal diam. Membiarkan liberalisme merajalela di semua lini, sama saja dengan membiarkan kehidupan kita hancur. Karena itu, imperialisme gaya baru dalam bentuk liberalisme itu harus dilawan. Mulai sekarang!(68)

— M Sholahuddin SE MSi, staf pengajar Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Last update : 12-08-2008 11:52


Tidak ada komentar: