Selasa, 30 September 2008

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM MUHAMMADIYAH

KASUS ISU PEMURNIAN ISLAM
DAN MANHAJIMETODOLOGI IJTIHAD*

M.A. Fattah Sutrisno

A. Pcndahuluan

Membahas perkembangan pemiltiran dalam Muhammadiyah bukanlah
pekerjaan yang mudah. Fial itu disebabltan oleh beberapa faktor: (1) Bahasan akan
bersifat historis, meniscayaltan lintas walttu yang terrentang dalam periode satu abad
dan berimplikasi pada lteterbatasan data terutama untuk pemiltiran-pemikiran di masa
lalu; (2) Pilihan cara penyajian 'oahasan: apakah dengan menggunakan kategorisasi
kasar berdasarkan periode waktu dan terhimpun dalam setiap kategori/periode isu-isu
pemikiran atau dengan menggunalcan pendekatan tematik, yaitu memilih isu-isu
penting beserta penjelasan perkembangan pemikirannya; (3) Isu-isu pemikiran itu
sendiri dalam Muhammadiyah-walau sempat ditengarai mundeg-sangat banyak,
sehingga menimbulkan pilihan: senlbarang isu, isu-isu yang aktual, atau isu-isu
mendasar yang dengan memahaminya dapat mengantarltan pada pemahaman lain,
seperti mengapa pergulatan pemiltiran dalam suatu isu dapat terjadi; dan (4)
Pemikiran dalam Muhammadiyah dapat dipilah berupa pemikiran intelektualnya dan
pemikiran formal organisasi, inanakah yang alcan dipilih.
Menyadari kesulitan-lcesulitan di atas, kajian ini masih bersifat pendahuluan
dengan melakukan pilihan-pilihan sebagailnana berikut. Kajian pendahuluan ini lebih
meinilih pendekatan tematik daripada pendekatan kategorisasi berdasarkan waktu.
Adapun isu-isu yang dipilih adalah isu-isu yang mendasar. Menurut hemat penulis,
isu-isu inendasar i tu adalah pemiltiran tentang 'pemurnian Islam' dan
'manhaj/metodologi ijtihad'. Disebul mendasar, karena pemahaman terhadap
pergulatan pemiltiran kedua isu tersebut altan memudahltan pemahaman terhadap
perltembangan pemiltiran dalam isu-isu yang lain. Icarena keterbatasan data, kajian
pendahuluan ini lebih banyak merujuk pada sumber seltunder. Ciri lain dari kajian
pendahuluan ini, walaupn menelcanltan pendekatan tematik, deskripsinya tidak
meninggalkan tahapan perkembangan. Sebagai ciri teralchirnya adalah bahwa
* Makalah disanipaikan dalam Knjian Tematik II Lenlbnga Pzistaka dun Irflormcisi PP
Mzlhan?n~adiyah dengar? terna "Mz~hanimadiynh dnri Masn ke Mnsa: Pergtllntnn nntor.
Yenlikiran dalain Mzrhanlmirdiyatz" yang diselenggarnknn di Az/ditoriztin Mzlhantnlad
Djaznlan Universitas Muhan~madiyahS urakarta, 26 April 2008.
perkembangan pemikiran yang disajikan melibatkan baik pemikiran formal organisasi
Muhammadiyah maupun pemikiran intelektualnya. Berikut ini deskripsi
perkembangan pemikiran Muhammadiyah: pertama, membahas isu pemurnian Islam;
kedua, mernbahas isu manhaj/metodologi ijtihad; ketiga, analisis; dan keempat,
penutup.
B. Pemikiran tentang Pemurnian Islam
Slogan amat populer yang terkait dengan isu 'pemurnian Islam' adalah
'kembali ke Qur'an dan Sunnah' (uls 31 t3+31). Dari penelusuran terhadap
kajian yang telah dilakukan, ternyata pemikiran tentang 'pemurnian Islam' di
Muhammadiyah dari awal berdirinya sampai akhir abad ke-20 berkembang dalam tiga
fase: (1) fase spiritualisasi syariah babak satu (masa pendiri, Kiai Ahmad Dahlan); (2)
fase formalisasi syariah (masa dominasi ahli syariah); dan (3) spiritualisasi syariah
babak dua (masa ke~ernimpinan generasi berpendidikan tinggi modern) (Mulkhan,
2000).
Isu 'pemurnian Islam', yang merupaican pengaruh Wahabiall dan reformisme
Rasyid Ridha, pada inasa Kiai Ahmad I3/ahlan, lebih dipallarni olehnya sebagai
penyadaran peran umat dalain kehidupan sosial daripada dipahami sebagai
penlberantasan praktilt TBC (takhayul, bid'ah, dan ch[lth]urafat). Dari dokumen
Fachroddin (1921) yang dikutip Mullthan (2000), penyadaran peran umat tersebut
dila!tultan melalui pendidilcan di seltolah, bincang-bincang di majelis perkumpulan,
pendayagunaan sarana lteagamaan (waltaf, mesjid, langgar), dan pendayagunaan
media cetak dan massa. Spil.itualisasi syariahnya dapat dilihat dari peran hati yang
suci, di samping piltiran yang sehat, sehingga Kiai Ahmad Dahlan menolak fanatisme
keagamaan dalsm mcnerima Itebenaran. Baginya, tradisi TBC umat adalah karena
kebodol~any ang kunci sol~1.sinyaa dalah pendidikan. Lebil~ja uh, baginya, amal lal~ir
(syariah) adalah akibat daya ruh agama yang didasari hati dan pikiran suci, sementara
organisasi adalah instrumen pengembangan ltesalehan hati-suci itu. Hati suci (dan
pikiran sehat) bukan hanya pangkal memahami Islam, tetapi akar ibadah, dasar hidup
sosial dm keagamaan, sehingga terbebas dari kebodohan, dan, karena itu, bebas dari
iltatan tradisi (Mulkhan, 2000).
~erkcm6anganP cmieran dahm NuLammadtyali - %!.A.F attah Santoso
Kajian Temati(,II Lcm6aga Pustat&a d ~Info masi W%!uliammad?yah
Pada masanya, menurut pengamatan Xuntowijoyo (2000), Kiai Ahrnad Dahlan
dan Muhammadiyah menghadapi tiga tantangan: modernisme, tradisionalisme, dan
Jawaisme. Modernisme dijawab dengan pendirian seltolah-sekolah, kepanduan, dan
asosiasi sultarela lainnya. Tradisionalisme dijawab melalui tablig (penyampaian
pesan-pesan agama) dengan cara 'inengunjungi inurid' (salah satu karakteristik
sekolah) yang walttu itu merupakan aib sosial-budaya, karena lazi~nnyag uru adalah
'menunggu murid datang' (salah satu tradisilltarakteristik pesantren). Di balik 'aib
sosial-budaya' itu, terdapat perlawanan tidalt langsung terhadap dua ha1 yang dapat
diltategoriltan TBC, yaitu: penlujaan tokoldulama (yang sering dipandang keramat),
dan mistifikasi agama (menjadiltan aganla sesuatu yang misterius, tinggi, dan hanya
patut diajarkan ole11 orang-orang terpilih). Dengall tablig. penyiaran agama telah
dibuat manusiawi, tidal< lagi merupakan proses yang mengandung pengeramatan.
Dengan tablig, agama yang semula misterius menjadi agama yang sederhana, terbulta,
dan diakscs olch sctiap orang.
Bila diamati secara seksama, melalui tablig, Kiai Ahmad Dahlan telah
menggunakan metode aksi positif (mengedepanltan amar ma'ruf) dan tidak secara
frontal menyerang (nahi munltar) TBC. Dalam merespon Jawaisme, Kiai Ahmad
Dahlan menggunakan metode yang sama n~clalui demitologisasi (menghapuskan
nlitos-mitos). Salah satu mitos yang hidup saat it11 adalal~ bal?wa keberuntungan
disebabkan pesugihon (memelihara jimat, tuyul) atau minta-ininta di kuburan
keramat. Mitos tersebut dihapus dengan ajaran bahwa keberuntungan itu semata-mata
karena kehendak Tuhan, dail salah satu jalan untuk meraihnya adalah shalat sunat
(Kuntowijoyo, 2000).
Kesalehan spiritual (hati-suci) a la Kiai Ahmad Dahlan tersebut ternyata telah
membangkitkan partisipasi berbagai kalangan masyarakat, termasult kaum nasionalis
dan inereka yang digolungltan sebagai kaum abangan dan priyayi. Pada sisi lain,
kesalehan spiritual telah membangkitkan pula daya kreatif luar biasa dan sikap sangat
terbuka Kiai Ahmad Dahian. Dengan kesalehan spiritualnya, meminjam pisau analisis
Kuntowijoyo (1 997), Kiai Ahmad Dahlan telah memilih pendeltatan kultural daripada
pendeltatan strulttural dalam melakukan perubahan sosial. Pendekatan kultural adalah
perubahan sosial melalui perubahan perilaku dan cara berfikir individu. Sedangkan
pendekatan struktural adalah perubahan sosial melalui perubahan perilaku kolektif
dan struktur politik.
................................................................................................... 3
~erkem6anganP emi4ran dahm Nuhamrnadiyah - 544.3. (Fattali Santoso
Kajian lomati(.II Lem6aga Pustab dun Informasi w Muhammadiyali
Sepeninggal Kiai Ahmad Dahlan, berltembang fase formalisasi syariah.
Sebagai momentumilya adalah pendirian Majelis Tarjih, lenlbaga fatwa syariah. Isu
'pemurnian Islam' pada fase ini lebih dipahaini sebagai pemberantasan taqlid buta dan
praktik TBC, pencukupan kepada apa yang diajarltan Nabi pada bidang akidah dan
ibadah mahdhah, dan ideologisasi syariah menjadi doktrin perubahan sosial dan
hubungan dengan negara. Kata ltunci dari penlahaman ini adalall Islamisasi. Dalam
pralttilt, fase ini telah melahirltan kesalehan syariah yang lebih bersifat lahiriah
daripada spiritual a la Kiai Ahmad Dahlan, dan kebijakan ideologis organisasi yang
tertuang dalam "Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah" (1 95011 951),
"Kepribadian Mul~amnladiyah" (1962/1963), "Matan Keyakinan dan Cita-cita I-Iidup
Muhammadiyah" (1 96911 970), dnn "Khittah Perjuangan Mul~anln~adiyah"(1 978)
(Shobron [ed.], 2006). Walau begitu, formalisasi syariah bukan tanpa ekses.
Pemberantasan TBC menjadi bersifar berlebihan, meluas ke bentuk tradisi yang tidak
bisa disebut TBC, seperti membuka rapat dengan Al-Fatihah dan penyainpaian pujian
pada Nabi. Identifikasi 'Islam murni' berubah ~nenjadi asal bukan seperti NU
(Mullthan, 2000). Ekses dominonya adalah berupa 'ltetidak-berterimaan'
Muhammadiyah di kalangan petani dan umat yang melaksanaltan TBC, yang ballldapat diikuti disintegrasi sosial, sebagai efek dari penerapan metode aksi frontal
(mengedepankan nahi mucltar) daripada metode aksi positif (amar ma'ruf) dalam
pemberantasan TBC.
Ideologisasi syariah menjadi doktrin perubahan sosial dan hubungan dengan
negara sempat menjadikan Muhammadiyah terjebak dalam peildekatan struktural
(perubahan sosial mela!ui peruballan perilaltu kolektif dan struktur politilt). Pada awal
kemerdekaan RI, Muhammadiyah mendukung Islam sebagai dasar negara, kemudian
alttif sebagai anggota istirnewa Masyumi. Pada awal Orde Baru, Muhammadiyah
melnbidani lahirnya Parmusi, dan akhirnya pada 1998 n~erekomeidasika ketuanya
untuk mendirikan PAN (Mulkhan, 2000; Sezali, 200.5). Secara individual, pendekatan
struktural telsth mendorong sebagian aktivisnya terlibat dalam banyak partai (bahkan
belakangan aktivis mudanya mendirikan partai alternatif, PMB, Partai Matahari
Bangsa) danlatau menduduki berbagai posisi politilt strategis.
Bila pendekatan strulctural lebih menonjolkan syariah dan perubahan yang di
luar (karena itu menggunakan pendeltatan kekuasaan), maka pendekatan kultural
menonjolkan hikmah dan perubahan yang di dalam. Perubahan luar itu perlu
___---______-______..------------------------------------------------------------------------------- 4
Per(em6angnn Pemieran dahm Muhammadiyah - N.A. Fattali Santoso
mjian Temati(,IILembaga @uta(a dun Infomasi @PN uhammadiyah
(necessary), tetapi tidak mencukupi (suflcient) bila tidak dilengltapi dengan
perubahan dalam, padahal perubahan dalam itu lebih sulit.
Fase ketiga, rnelalui tampilnya kepemimpinan generasi berpendidikan tinggi
modern pada 1995 (era Amin Rais), pemahaman ide 'pemurnian Islam' memasuki
spiritualisasi syariah babalt dua. Momentumnya adalah perubahan Majelis Tarjih
menjadi 'Maj elis Tarj ih dan Pengembangan Pemikiran Islam' (MTPPI). Yang
melatarbelakangi perubahan nama tersebut adalah: (1) perubahan substansi TBC
(substansi TBC era berdirinya Muhammadiyah, era agraris, tidalt sama dengan
substansi TBC era industril pen~ba~igunan()2; ) n~unculnyap cndcltatan-pcndekatan
keilmuan sosial-budaya baru terhadap isu-isu sejenis TBC yang telah menggeser apa
yang dimaksud dengan TBC pada saat didefinisikan dahulu; dan (3) keduanya
(perubahan substansi TBC dan munculnya ragam pendekatan keilmuan sosial-budaya
baru) menuntut ijtihad baru dari Muhammadiyah yang tidak lagi harus bersifat fikih
dan/atau kalam klas~k-skolastik semata (Abdullah, 1996). Kalaupun pendekatan
kalam digunaltan, ia tidak dala~u maltna pendekatan yang didominasi ole11
pembahasan tentang T~;hand alam pengertian ltlasilc, namun dalam makna pendekatan
yang lebih lnengacu pada fungsionalisasi 'nilai-nilai spiritualitas' ke-Tuhanan dalam
aplikasi ltehidupan konkret di muka bumi.
Dalam rangka spiritualisasi syariah babalc dua, ide 'pemurnian Islam' dimulai
oleh MTPPI dengan nierekonstruksi manhajlmetodenya yang tidak lagi terbatas pada
tarjih atau pengambilan hultum, dan ken~~idiarne mperluas wilayah objek ijtihadnya
di luar persoalan-persoalai yang terlcait dengall akidah dan ibadah nmhdhnh.
C. Pemikiran tentang 'Manhaj/Metodologi Ijtihad'
Pemikiran tentang metodelmanhaj tidalt kalah pentingnya. Kritik yang sering
diungkapkan dail ditujukan pada geraltan atau organisasi yang inengusung bendera
'lcembali lte Qur'an dan Sunnal~' adalah bahwa gerakan atau organisasi tersebut
berhenti pada slogan, dan belum mengembangltan inetodologinya (Syamsuddin,
2008). Muhammadiyah dapat diltenai ltritilt tersebut karena sampai sekarang masih
dalaln proses pembeiltukannya. Setelah Icbih dari sctcngah abad memraktekkan tarjih
dan ijtihad, pada 1989 Muhammadiyah baru memulai fase pertama proses formasi
metodologinya dengan menyusun Poltolc-poltok Manhaj Tarjih. Secara garis besar
diri~muskan bcbcrapa prinsip, antara lain: ( I ) sumber dalam beristia'lbl; (2) ketidaktcrkaitan
pada satu mazliab tertentu; (3) penggunaan aka1 dalam menyelesaikan
masalah-masalah keduniaan; dan yalig terpenting terumuskannya (4) metode-metode
i.j tihael. yai 111: i.jtihad huycini ( j k ) , qiyCj~i( &4), dan istishld-hi (9-1). Ijtihad
hcrycini dipaltai da1an.i rangka mendapatkan hukum dari nash (4,te ks) dengan
menggunakan dasar-dasar tafsir. Ijtiliad qijd.~i digunakan dalam rangka untuk
menetnpknn lii~kuny~a ng belum adn dalam ncrsh, dengan memperliatikan kesamaan
'illotnya. Sementara itu. i-jtiliad i.s/i.sl~ld/7di igunakan untulc menetapkan hukum yang
salila sekali tidak diatur dalaln nnsh (Djamil, 2005).
Seiring dengall perubahan nama ~najelis menjadi Majelis Tarjih dan
Pengembangan Peniikiran Islam. pada 2000-sebagai fase kedua-telah dirumuskan
mnnhaj !rang lebih kompsehensif. dengan menggunakan berbagai pendekatan. Kalau
pada ll~sc pcl.tnmu mctoclc i.jtil~ad cliwi~judkan clalam bentuk ij tihad buycjnf, q@h,si,
dan i.sfi.rl71cihi yang berorientasi pada nnsh (teks) Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka
pada Lase kcdua i ni dipcrl uas me~ljaclip endckalan buycini ( j k ) , btri-hdni (&b~+d)a,n
'irfi7t7i ( j u ~ )T.'e ndckntan hayci17i merupakan pendekatan yang menempatkan nash
(S)seb ugui sumbcr licbcnaran dan su~iibern orma untuk bertindak, sementara aka1
hunya mcncmpuli kucluclukan y:lng scl~i~~lddcarli berfi~ngsi mcnjelaskan dan
me~i.ji~stilikasni i~.rh yang ada. Pendekatan ini lebih didominasi oleh penafsiran
gramatikal dan semantik. Dalaln pandangan Muhamniadiyah, pendekatan ini masih
diperlukan dalam rangka menjaga Itomitmennya 'kembali ke Al-Qur'an dan As-
Sunnnli' (D-jamil. 3005).
Pendekatnn hrrr.li~ini merupakan pendekatan yang rne~igandalkan rasio dan
pengalaman empiris sebagai sumber kebenaran dan sumber norma bertindak. Dengan
demikian. pendekntan ini lebih difolcuskan pada pendekatan yang rasional dan
argumentatif. besdasarknn dalil logika, dan tidak llanya merujuk pada teks, namun
j ugn kr,ntcks. I'cndckatan hlll'l~hi~dii perlitkiun Muhammadiyah dalan~m emaliami dan
menyelesaikan masalah-masalah yang termasuk 01-urnfir al-dzrnyZwiyyah (%$Jl~pp.kl,
urusan dunia) untult tercapainya kcmaslahatan nianusia. Belajar dari khazanah skjarali
Islam, pemaduan antara pendekatan baydni dan burhdni tidak banyak menimbulkan
masalah. Sejak zanlan klasik upaya pemaduan telah dicoba dilakukan, misalnya oleh
al-Gazzali yang mengenalkan mantik (logika Aristoteles) ke dalam usul fikih untuk
menggantikan dasar-dasar episte~ilologi kalam yang biasa digunakan ahli-ahli usul
fikili, dan mengenalkan teori maslahat dan liletodc m~uiasaball dengan konsep pokok
tentang spesies illat (nau ' al-'illah, ty) clan genus illat uins ul- 'illah, ;ill.-ll &), .
serta spesies hukum (nau' 01-hzlkm, t3) dan genus hukunl oins ul-huknz,
@I) (Anwar, 2005).
Pendeltatan 'ir-ni adalah pendeltatan i~emal~aixany ang bertumpu pada
instrumen pengalaman batin: dzazlq (Gsi), qalb (+), wyddn (d1+-~), bashiruh ( 6 ~ ) ,
dan ilhdm (?Id!)P.e ngetahuan yang diperoleli melalui pendeltatan ini biasanya disebut
'pengetahuan dengan kehadiran (b~~~{hl?qili~-i,g rk)'s,u atu perlgetaliuan yang besupa
iiispirasi langsung yang dipancarltan Allah Ite dalam hati orang yang jiwanya selalu
bersih. Pendekatan 'itfdnf, walaupun ada kritiltan, karena antara lain melahisltan
tradisi sufi yang tidak diltenal dalam Muhammadiyah, bagainianapun ada gunanya.
Intuisi dapat menjadi sumber awal baki pengetahuan, setidaltnya menjadi sumber
inspirasi pencarian hipotesis. Dalaln pengamalan agalna dan dalam mengeinbangkan
sikap terhadap orang lain, hati nurani dan kalbu manusia dapat menjadi sumber bagi
kedalaman penghayatan keagamaan, lceltayaan ro!iani, dan Itepekaan batin. Sedangkan
bagi ijtihad hitkum, intuisi cl~ui Ihipotesis hukum, dan pembuktian alchir terletak pada bukti-bukti baydni dan burhbni
(Anwar, 2005).
Ketiga pendekatan di atas, h~rydni, hurhhnf, dan 'i~fci:nt, telah dijadikan
pedoman bagi warga Muhammadiyah dalam berpiltir, terutama dalam memahami dan
menyelesailtan masalah-masalah muanialah duniawiah (lihat Iceputusan MulMuhan~madiyaliT ahun 2000, Pedonzan Hioltp Islmzi PVoi.ga Muhammadiynh).
Fase ketiga perkembangan pemikiran manhaj/metodoiogi ijtihad
Muhammadiyah menunjukkan upaya penyempurnaannya melalui penambahan
dimensi filsafat ilmunya. Syamsul Anwar, misalnya, menawarkan landasan
episte~nologi dalaln pengertian luasnya, yaitu praanggapan dasar dalam pemilciran
manusia tentang realitas. Landasan epistemologi manhajlmetodologi ijtihad
Muhammadiyah adalah inti pengalaman agama dalam Islam sendiri dan pandangan
hidup Islami (Islamic worldview, ;i;4%! W Gjj), yaitu tauhid. Secara metodologis
tauhid mengandung prinsip-prinsip: (1) kesatuan ltebenaran (wabdaniyyah al-
ha qfqah, -1 q b s ) , (2) optimisme (at-tqfd'z~l, &mi), (3) keraganlan manifestasi
(~U~UM'aQt-tVajUal liydt, AWIt S),d an (4) keterbulcaan (ul-inJit@, Z L YI) , dan
toleransi (at-tusimuh, pul) (Anwar, 2005).
Kesatuan kebenaran, yang bersumber dari keyakinan tauhid bahwa Allah
Maha Esa, berat-ti bahwa ltebenaran dari berbagai sumber, bailt dari al-bay& (wahyu
Ilahi), nl-burhbn (d~mia empiris), dan 01-'ir:fi?n (pnngalaman batin ~nanusia), adalah
satu dan tidak ada pertentangan di antaranya. Optimisnle maksudnya adalah
keyakinan bahwa tiada kontradiksi yang abadi dan bahwa n~anusiam anlpu mencapai
Itebenaran karena ia telah diperlengkapi ole11 Sang Pencjpta dengan berbagai
sarananya, sepei-ti altal, pengel-tian, indera, dan Italbu, dan kepadanya telah dikirim
para utusan (rasul) untuk menya~npaikan Itebenaran itu. Namun demiltian, harus
dialtui ada keterbatasan manusia sehingga ia hanya dapat lnenangltap beberapa sisi
dari kebenaran tersebut. Karena itu Itebenaran ada yang bersifat qnfh 'i (&, mutlalt)
dan ada yang bersifat zhanni (&, nisbi). Dengan demikian, nlanifestasi penrralan~an
agama dapat beragam, terutama dalam aspel< muamala~ du~iawiah, bahkan dala~n
wilayah ibadah (at-tana~lwz' j~i fill- 'ibidfilh, S J L ~ I,2 @I) sepanjang dimunglcinkan
oleh normanya (Anwar, 2005).
Toleransi bcrarti kelapangan (cr,~-~su'ctIu7, l)d an kc~nudal~a(n0 1-yzl,~d~.,l ),
yang berarti bahwa ltita dapat mempertal~ankana pa yang selalna ini Itita anggap benar
sampai ditemultan bultti baru yang menunjukltan ltebaliltannya, dan kita dapat
meneruskan sesuatu yang selanla ini Itita buktilsebaliknya. Toleransi akan melindungi seseorang dari ketertutupan terhadap dunia,
keragu-raguan dan kehati-hatian yang berlebihan yang menghambat kreativitas dan
pembaruan-pembaruan, Prinsip keterbukaan ini mendorong pencarian dan pencerapan
pengalaman baru yang konstruktif. Selaln itu, prinsip ini Serarti pula suatu keyaltinan
bahwa Tuhan tidak nlelnbiarkan hamba-harnbanya tanpa petunjult dan bahwa Tuhan
melengkapi manusia dengan senstts n~tnzinis yang lllenlungki~llmenangkap intisari kebenaran agama (Anwar, 2005; Cf. Al-Faruqi dan Al-Farucli,
1986).
Dalam rangka membangun sistem ijtihad, dengan demi!tian, yang tersisa
adalah landasan aksiologinya. Sebagai beltal awal, nampaknya prinsip maq6,shid nlsyari'ah
+$I( bL,tu juan-tujuan syariah) dan prinsip masl~hayt ang sudah dikenal
di kalangan ulama filcih dapat digunaltan.
Per@rn6angan Pcrni&ran dalhm Nuhammadiyah - N.A. Fattnti Santoso
Kajian Temati(,II Lcm6aga Pustaka dnn I~$ornznsi ~%?uhnrninahyah
D. Analisis
Perltembangan dua pemiltiran penting dalam Muhammadiyah, sebagaimana '
telah dijelaskan di atas, menunjukkan dua coralt perkembangan yang agak berbeda.
Perltembangan pemikiran tentang 'pemurnian Islam' memperlihatkan corak siklus:
spiritualisasi synriah, fosmalisnsi s)/ariah. spiri[ualisasi syariilh. Sementara itu,
perkembangan pemikiran tentang 'n~anhaj/metodoIogi ijtihad Muliammadiyah'
memperlihatkan corak linear-konstrulttif manhaj tarjih lnenjadi titilt tolak perumusan
pendekatan ijtihad sementara pendekatan tarjih menyempurnalcan manhaj tarjih, dan
pendekatan ijtihad menjadi titik tolalt perumusan sistem ijtihad sementara sistem
ijtil~adm enyempurnakan pendekatan ijtihad. 'Titik tolalc' menjadi indikator linearitas,
dan 'penyempurnaan' menjadi indilcator Iconstruksi. Manhaj tarj ill belum
memperlihatkan bangunan/lconstrulsementara sistem ijtihad (setelah dilengltapi landasan alcsiologinya) niemperlihatlcan
bangunan/ltonstrulcsi metodologi i.j tiliad Muliammadiynl~ yang 11 tuli.
Bila perkembangan pelniltiran tentang dua isu tersebut diperbandingltan, malca
pada fase spiritualisasi syarial~ babalc pertanla (masa Kiai Ahrriad Dahlan) beluln
terumuskan saina seltali manhaj/nletodologi ijtiilad Muhammadiyah. Walaupun
demikian, itu tidak berarti bahwa tidak ada praktik ijtihad pada fase spiritualisasi
syariah babak pertama. Respon-respon yang bernas Kiai Ahmad Dahlan terhadap
tantangan-tantangan yang dihadapinya (modernisme, tradisionalisme, dan Jawaisme),
berupa pendirian sekolah dan kepanduan, demitologisasi, dan tablig yang
menghapuskan ltramatisasi ulallla dan mistifilcasi agama, menuiljuk.kan praktik ijtihad
yang memadukan tiga pendeltatan seltaligus: baydni, burhdni, dan 'irfdni. Respon
beliau terhadap modernisme (pendirian seltolah dan Itepanduan) paling tidak didekati
dengan pendekatan baya^ni, dan btcrl7dni, sementara respon beliau terhadap Jawaisme
(berupa demitologisasi) dan respon be1i.a~ terhadap tradisionalisme (berupa tablig
yang secara tersamar mengl~apusltan ltramatisasi illanla dan mistifiltasi agama) paling
tidak didekati dengan pendekatan bctj~cir.~clia, n ' i r - n i .
Fase pertama perumusan manhaj/metodologi, yaitu fase manhaj tarjih, baru
terjadi pada fase kedua perltembangan pemiltiran Islam tentang pemurnian Islam
(yaitu fase formalisasi syariah). Di sini nampak keseja-iaran dan koherensi antara
kedua fase tersebut. Adalah wajar bila pada fase formalisasi syariah, yang baru bisa
dihasilkan adalah manhaj tarjih yang lebih menekanltan ijtihad di bidang hukum
9
Perbm6angan ~emierandn ihm Muhammadiyah - M.P, Fattah Santoso
~ j i a n F m a ~ ~ ~ e m @ ~ t r d n r t i + i @ ~ h ~ L - - - -
Islam. Koherensi dan kesejajaran nampalt juga antara fase kedua perumusan
n~anhaj/metodologi ijtihad (yaitu fase pendekatan ijtihad) dan fase ltetiga
perkeinbangan pemikirall tentang pemurnian Islam (fase spiritualisasi syariah babalt
kedua). Spiritrlalisasi syariah babak kedua memungltinltan perumusan pendekatan
ijtihad yang lebill luas, tidak terbatas pada ijtihad di bidang hukum Islam, nalnun
meramball ke bidang-bidang lain dari ltehidupan inanusia. Lebih jauh dari itu,
spiritualisasi syariah babak kedua memungltinltan perumusan yang lebih sistemilt
tentang i~~anl~aj/l~~etodijotilhoagd i Muhammadiyah.
E. Penutup
Kalau belakangan, sejalt menjelang Multtamar ke-45 di Malang, 2005, salnpai
pasca Muktamar, Itarena tantangan globalisasi, muncul fenomena adanya dialcktilta
pemikiran di Muhammadiyah antara ltonservatif dan liberal (penamaan datang dari
pengamat atau lawan dialclbahwa fenomena tersebut tengall memperlil~atltan dialelttika antara spiritualisasi
syariah dan formalisasi syariah. Spiritualisasi syariah memperoleh tantangan dari
forlnalisasi syariall.
Siltap dan harapan ltita, warga Muhammadiyal~t,e rhadap fenomena dialektilta
pemikiran tersebut, dapat diltembaliltan Ice 1andasal.1 espistcln~logi sistem i-jtihad
Muhammadiyah yang ditawarlian, pail11 siliap uptimis, yaliin bahbva tidali ucln
kontradiksi yang abadi, termasult dialektilta antara sayap konservatif dan sayap
liberal. Adapun harapan adalah harapan imtult teriis dialog sebagai pervvl~judan dari
prinsip keterbukaan dan toleransi, dan prinsip rnengakui keragaman manifestasi.
Dengan dialog terus nlenerus, siapa tahu altan lahir paham lteagalnaan (ideologi) baru
dalam Muhammadiyal~se bagai hasil sintesis. fil-LAhz~n 'Inn7 hi nl-shntclbh.Vs]
Abclullali, M, i\nlin (1 996), "l'crkcn~bilngu~I'~c ~~~iliiIrsalnl~nl clalunl Nl~~liam~iiacliyah:
Pcrspel/(e,sl.r/iM lr!~~m~rr~crtlijN~otr.h 0, 5/1005-2000, Apsil, 111111. 18-20.
Anwas, Syamsul (300.5). "hlanIi;!i lj~i1iad/fi~jdidd nlam Muhammadiyal~". dalam
Mifedwil Jandra darl M. Safar Nasir (ed.), lijdid Mzihanzmadiyah untzik
Penceruhnn Pel-adcrban. Yogyaltarta: MT-PPI PP hluharnmadiyah belteyja
sama dengan UAD Press, lilm. 63-8 I.
Djan~ilF, athurrahman (2005), "Tajdid Muham~nadiyahp ada Seratus Tahun Pertarna",
dalam Mifedwil Jandra dan M. Safar Nasir (ed.), Tajdid Muhamnzadiyah
untuk Pencerahun Perndcrhun. Yogyaltarta: MT-I'PI I T Muhammadiyah
beltesja sanla dengall UAD Press, hlm. 83- 106.
al-Faruqi, Isma'il R. dan Lois La~nyaa l-F~r~lq(1i9 86). The CIIIILIIA-~t lIc ~of~ lslcin~.
New Yorlt: Macmillan Publisl~ingC ompany.
Kuntowijoyo (1997), Identitas Polifilc Ulna/ Islan7. Dandu~~gM: izan belterja sanla
dengan Majalah Urnmat.
(2000), "Pengantar: .Tala11 Baru Muham1l7ttdiyah", dalam Abdul Munir
Mulkhan, Islun7 ~MirnCi ~ C ~ ~ NII I~Z ~ C I S J IP~etcIrIn.i. Nl'o~g~yaIk~a rta: Bentang.
Mulkhan, Abdul Munir (2000), Isl~iriM~ tlrni dcilum Mc(.~yyaruk~Pret tani. Yogyakarta:
Bentang.
Sazali (2005), ~hl~lLmin~adi~&1 ah~d~7r .sj~al.uklrAl krtJarzi. Jaltasta: ?usat Studi Agalna
dan Peradahan (PSAP) Muhammadiyah.
Shobron, Sudarno (ed.) (2006), Suralcarta: Studi Kenzuhnmmadiyahan: Kajian
Historis, Ideologi dun Organisusi. Lembaga Penge~nbangan Ilmu-Ilmu Dasar
(LPID) Universitas Muhammadiyah Surakzrta.
Syamsuddin, Din (2008), "Stadi~un General Kololti~~mNa sional Pelniltiran Islam
PSIF UMM dan Al-Maun Institute".
http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?
optio~1=con~~cot1te~1t&tasl~=view&id=9OO&Iter11id=93.
.................................................................................................
Pert&embangan Pemifiran dal;zm Muhamrnadiyah - M.J, Futtah Santoso
Kajian Temati(II Lembaga m t a Q dun Infomrasi W %uhammadiyah

Jumat, 26 September 2008

PMB Berpeluang Curi Suara

Thursday, 11 September 2008

PENGAMAT politik dari The Akbar Tandjung Institute Alfan Alfian menilai Partai Matahari Bangsa (PMB) lebih berpeluang meraih suara Muhammadiyah karena secara simbolik lebih melekat di tubuh partai itu.

Menurut dia, secara politis, PMB diuntungkan karena ideologi PAN sudah berbeda dari awal berdirinya yang mengedepankan nilai kemuhammadiyahan berganti menjadi ideologi nasionalis. Sementara fungsi partai sebagai wadah aspirasi warga Muhammadiyah kini diperankan PMB.

”PMB akan lebih berpeluang ketimbang PAN. Suara untuk PAN dari Muhammadiyah akan turun dan mengalihkan dukungannya ke PMB,” kata Alfan kemarin. Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari.Dia mengatakan, partai pimpinan Soetrisno Bachir akan menghadapi rival yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Apalagi, secara terbuka,Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin sudah menyatakan dukungan pribadinya kepada partai yang berdiri pada 8 Januari 2006 itu. Menurut Qodari, PMB mendapat keuntungan secara psikologis atas deklarasi Din yang mendukung partainya. Jadi,PAN harus melirik basis massa lain dan tidak berharap banyak pada Muhammadiyah. ”Karena dukungan Din, suara untuk PAN dari Muhammadiyah akan menurun dan akan beralih mendukung PMB. Ini menjadi ancaman serius bagi PAN,” imbuh Qodari.

Menurut Alfan Alfian, partai Islam dan nasionalis yang berpotensi melirik kantong suara Muhammadiyah adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS),Partai Golkar, dan Partai Bulan Bintang (PBB). ”Massa Muhammadiyah tersebar dari partai yang dianggap paling sekuler sampai partai Islam yang basis massanya kuat,”tandasnya.

PKS dinilai berpotensi karena tidak sedikit petinggi partai itu adalah para aktivis Muhammadiyah. Sebut saja mantan Presiden PKS Hidayat Nur Wahid yang sekaligus menjabat sebagai Ketua MPR dan Sekjen DPP PKS Anis Matta. Keduanya adalah orang yang pernah duduk dalam kepengurusan pusat Muhammadiyah. Bahkan,Anis Matta mengklaim hingga kini masih memiliki jaringan komunikasi yang baik dengan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

”Ormas Islam akan sulit menyatakan dukungan secara struktural. Pemilih Muhammadiyah juga akan rasional. Jadi, partai mana yang dipilih, akan bergantung pada kinerja partai,” ungkap Anis Matta. Mantan Ketua PP Muhammadiyah yang sekarang menjadi politikus Partai Golkar, Hajriyanto Y Tohari,mengatakan, di organisasi tersebut ada pembagian tugas.

”Ada yang mengurusi Muhammadiyah seperti Pak Din dan ada yang terjun ke dunia politik seperti saya ini,”katanya. Anggota Komisi I DPR ini menyatakan, tersebarnya kader Muhammadiyah di beberapa parpol merupakan sebuah keuntungan tersendiri. Sebab, nantinya organisasi tersebut bisa memanfaatkan mereka untuk kepentingan Muhammadiyah. (rd kandi/rahmat sahid/ahmad baidowi)

Dien Syamsuddin Siap Jadi Capres atau Cawapres

Sabtu, 13 Sept 2008 17:02:18

Surabaya - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr Dien Syamsuddin menyatakan kesiapannya menjadi calon presiden maupun calon wakil presiden pada Pemilu 2009 mendatang.

"Saya kira sudah sering saya katakan kalau sekedar menjawab siap, maka saya sebagai pemimpin ormas besar seperti Muhammadiyah harus menyatakan siap, insyallah," ujar Dien kepada wartawan usai memberikan pengajian Ramadan yang diselenggarakan PW Muhammadiyah Jatim di Asrama Haji Sukolilo Surabaya, Sabtu.

Tetapi soal bagaimana kelanjutannya apakah tampil sebagai Capres atau Cawapres, ujar Dien, pihaknya masih menunggu perkembangan dan menunggu kesepakatan warga Muhammadiyah, karena itu dirinya masih menunggu waktu.

"Muhammadiyah akan memutuskan secara formal kalau sudah ada yang melamar secara resmi," katanya.

Sementara itu saat tanya jawab pengajian Ramadan, sejumlah peserta juga menanyakan kesiapan Dien dalam mengikuti Pilpres 2009.

Pada kesempatan tersebut Dien mengatakan kalau hasil pooling saat menunjukkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Megawati Soekarnoputri memperoleh dukungan terbanyak dengan perolehan pada kisaran 20 persen hingga 25 persen.

"Kombinasi yang bagus itu Islam - nasionalis, nggak mungkin Islam - Islam atau nasionalis - nasionalis. Ada juga tawaran saya diduetkan dengan Pak Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU). Saya selama dimasukkan sebagai representasi kelompok Islam," katanya.

Dien menegaskan pencalonan dirinya terserah kepada Muhammadiyah. "Saya terserah Muhammadiyah, kalau Muhammadiyah bilang ndak boleh ndak apa-apa. Saya terlalu meremehkan Muhammadiyah kalau dikatakan tidak siap," ujar mantan pengurus IPNU Mataram ini.

Sementara itu Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, Prof Dr Syafiq Mughni mengatakan keputusan pencalonan Dien sebagai Capres atau Cawapres masih menunggu keputusan muktamar atau tanwir Muhammadiyah.

"Pada prinsipnya kami senang saja kalau ada warga Muhammadiyah yang mengabdikan diri untuk kepentingan bangsa, namun kami akan berpartisipasi pada sidang tanwir dulu, kemudia bagaiamana keputusannya tunggu perkembangan," katanya.

Syafiq mengatakan pencalonan Dien masih banyak prosesnya dan belum tentu serius.

"Secara organisatoris PWM Jatim juga belum memutuskan karena ini masalah besar dan strategis karena itu akan diputuskan pada tanwir tahun depan di Sumatra," katanya.

Syafiq mengatakan dirinya tidak akan mempersoalkan partai manapun yang nantinya akan mencalonkan Dien. "Tidak ada masalah secara ideologis dasarnya sama yakni Pancasila, platform politik partai kurang lebih sama, jadi soal selera saja," katanya.

KANDASNYA IJTIHAD POLITIK AMIEN RAIS ?

Oleh : Imam Achmadi *)

Dengan modal Muhammadiyah sebagai basis dukungan, Mas Amien Rais sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah waktu itu mendirikan PAN. Ijtihad politiknya: tinggalkan asas Islam , Persatuan ummat Islam untuk perjuangan politik tidak lagi relevan Selamat tinggal Masyumi dan PPP. Maka tawaran memimpin Partai Bulan Bintang yang mengaku sebagai pewaris perjuangan Masyumi pun ditolaknya. Demikian pula tawaran yang sama dari PPP yang sejarahnya merupakan fusi Partai Partai Islam yang dipaksakan rezim Orde Baru. juga ditolaknya. PAN adalah Partai Nasional yang mencerminkan kemajemukan keber-agama- an sebagai realitas kehidupan bangsa PAN sebagaimana Partai Partai lain berdasarkan Pancasila,. Yang membedakan dengan Partai lain adalah platform yang diperjuangkannya.

Dalam kenyataan politiknya, PAN selama dua kali Pemilu pada era Reformasi tidak bisa menunjukkan nilai lebih apa apa dari segi pemilihnya. Pemilihnya tak lain ya warga Muhammadiyah sendiri, dikurangi mereka yang sebelum reformasi telah memilih Partai lain terutama Golkar dan PPP, kemudian PBB dan PKS bahkan ada pula yang memilih PDI. Bahkan pada Pemilu kedua prosentase pemilih PAN menurun karena lebih banyak lagi generasi mudanya yang hijrah ke PKS, Tanya kenapa ?

Politisi PAN yang kemudian terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pusat, Propinsi atau Daerah Kabupaten /kota bukan merupakan representasi dari pemilihnya. Mereka hanya mengandalkan warga Muhammadiyah yang umumnya hanya melihat PAN yang dipimpin bekas Ketua Pimpinan Pusatnya . Barangkali juga karena simbolnya yang juga matahari.. Dari PAN tak pernah ada usaha mencari anggota sebanyak-banyaknya apalagi mengadakan kaderisasi Partai. Numpang sajalah, kalau nomor urut diatas ‘kan terpilih juga. Untuk apa cari anggota, menciptakan kader ? Salah salah malah bisa menggusur mereka sendiri nanti.

Maka ijtihad Mas Amien Rais pun kandaslah. PAN tidak merambah kemana mana, Kalau Pemilu datang dan mau kampanye, mudah saja, toh ada struktur dan jajaran Muhammadiyah yang bisa ditumpangi. Ada sekolah, ada universitas ada rumah sakit ada Pimpinan Daerah, Cabang dan Ranting Muhammadiyah Dimana ada Muhammadiyah disitu tentu ada pemilih PAN. Para pimpinan PAN boleh majemuk, tapi masalah konstituen ya hanya orang Muhammadiyah. Pengurus Muhammadiyah biasanya ‘kan orang-orang ikhlas, tidak macam-macam keinginannya, apalagi kedudukan di bidang politik yang banyak godaannya ( sama dengan banyak duitnya).Siapa mau, silahkan. Pimpinan Muhammadiyah tidak pernah merekomendasi siapa-siapa untuk dicalonkan PAN. Mereka yang berambisi banyak kesempatan.

Entah bekal konsep pemikiran apa, apa yang harus diperjuangkan di bidang politik tak tahulah. Yang jelas kalau bisa berhasil jadi anggota Dewan. Perwakilan Rakyat di tingkat apapun, nasib pun berubahlah.Ah, masa iya ? Hal ini bukan berarti bahwa pimpinan PAN tidak berkualitas, apalagi DPP nya Mereka banyak yang berkualitas tetapi tidak punya garis ke massa. Maka tidak ada niatan ingin membesarkan Partai atau memandirikan Partai.

Mereka tak mau susah susah membuka ladang sendiri,merasa cukup saja dengan Ladang Muhammadiyah. Yang tinggal memanen saja. Lalu bagaimana mewujudkan ijtihad politik Amien Rais untuk merambah ke segenap daerah, agama dan lapisan masyarakat ? Itu urusan Pak Amien sendiri saja lah.

Maka ketika muncul Partai Matahari Bangsa yang diprakarsai angkatan Muda Muhammadiyah atau kongkritnya para mantan pimpinan dan aktivis organisasi otonom Muhammadiyah seperti Pemuda Muhammadiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar / Remaja Muhammadiyah, Nassyiatul ‘Aissyiah ( NA ) ,Tapak Suci Putra Muhammadiyah, pimpinan PAN nampak gelagapan sampai ramai ramai “mendemo” Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin. Kongkritnya, mereka meminta agar Pak Din Syamsuddin dalam setiap Da’wahnya jangan mengisyaratkan kedekatannya dengan Partai Matahari Bangsa ( PMB ). Ketua PAN Sutrisno Bachir meminta komitmen Muhammadiyah agar tidak memberi restu politik kepada PMB.

Nampaknya Din Syamsuddin pasca PAN dipimpin Amien Rais, merasa kurang dekat dengan PAN. Bahkan ulang tahun PAN yang notabene lahir dari rahim PP Muhammadiyah, tetapi PP Muhammadiyah sebagai ibu yang melahirkan kok tidak diundang. Malah malah Din sering menerima keluh kesah kader kader Muhammadiyah yang di terlantarkan di PAN.

Tetapi salah seorang kader Muhammadiyah di Jawa Timur yang pro dan menyambut antusias PMB berkata lantang.” Ijtihad politik Pak Amien telah kandas. Kami ingin kembali ke khittah Muhammadiyah tahun l97l yang diputuskan Mu’tamar Muhammadiyah di Ujung Pandang . Disitu dinyatakan bahwa Muhammadiyah berjuang dibidang da’wah kemasyarakatan, sedang di bidang politik perlu dibentuk satu partai politik.Dan satu partai politik itu sekarang telah terbentuk yaitu PMB, Partai Matahari Bangsa yang sepenuhnya digerakkan oleh kader-kader Muhammadiyah”

“ Dengan kepribadian yang utuh 100 % Muhammadiyah kami akan bekerjasama dengan segenap anak bangsa menegakkan kebenaran keadilan dan kejujuran berkhitmad untuk Indonesia Raya . Partai bagi kami bukan biro jasa urusan karir pribadi bagi yang berambisi kekuasaan. PMB adalah Partai bermisi da;wah, amar ma’ruf nahi mungkar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara . Muhammadiyah dan PMB adalah dua sisi mata uang yang sama “ Katanya bersemangat..

Wah, Pak Sutrisno Bachir dan kawan kawan bisa tambah sewot. Tetapi apa semudah itu PMB meiwujudkan konsep dan citranya tersebut kedalam kenyataan.? Di daerah daerah banyak orang Muhammadiyah yang merasa mapan karena duduk sebagai anggota DPRD mewakili PAN. Dengan kedudukannya itu tak mungkin mereka dengan mudah menerima PMB . Begitu pula yang di PBB, PPP dan PKS. Mungkinkah PAN yang paling besar menggaet pemilih dari Muhammadiyah akan terbelah , atau malah pemilih PAN bedol desa bergabung ke PMB ?

Hasil Pemilu 2009 yang akan menjawabnya..

*) Mantan Sekum dan Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar
Muhammadiyah periode l966-l969 dan periode 1969- 1972
Tim Ahli Majelis Kesehatan dan Kesejahteraan masyarakat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur 2005- 2010

BIODATA PENULIS
Nama : Drs. H. Imam Achmadi
Alamat : Jl. Rajawali 20 Rewin-Sidoarjo
Pekerjaan : Pensiunan Kakanwil Depsos Jawa Timur
Hoby : Menulis, Khotbah
Aktivitas : Koordinator Inisiator Partai Matahari Bangsa (PMB) Jawa Timur
Diposting oleh SYAFRUDIN BUDIMAN, SIP di 09:10

Senin, 15 September 2008

BAGIAN KEDUA TULISAN

BAGIAN KEDUA TULISAN

Kini, muncul gejala dan fakta dari akar-rumput yang mulai memprihatinkan. Masjid Muhammadiyah tidak terkelola dengan baik, cari imam dan khatib pun kesulitan. Terdapat pula masjid milik Persyarikatan yang pelaku dan isi kegiatannya justru dilakukan kalangan lain. Bahkan ada masjid Muhammadiyah yang kemudian pindah kelola ke tangan pihak lain, baik karena terlantar atau karena kelalaian. Gejala tersebut menurut sementara pendapat, menunjukan bahwa orang-orang Muhammadiyah kurang/tidak tekun, gigih, dan sungguh-sungguh mengelola masjid di lingkungannya.

Berita lain tak kalah mencemaskan atau bahkan memprihatinkan. Bahwa amal usaha Muhammadiyah di tingkat bawah mulai kalah saing oleh lembaga-lembaga sejenis baru milik organisasi lain. Ironisnya, terdapat pula orang-orang Muhammadiyah termasuk pimpinan atau yang berada di amal usaha, malah ikut mendirikan dan membesarkan amal usaha milik organisasi lain. Lebih ironis lagi apa yang disampaikan oleh dua bersaudara, K.H. Muhammad Muqoddas, M.Ag. yang juga Ketua PP Muhammadiyah dan Muhammad Busyro Muqoddas, SH. yang juga Ketua Komisi Yudisial, terdapat gejala orang-orang di amal usaha yang bersikap, ”amal usaha yes, Muhammadiyah no!”, lebih khusus lagi ”maisah di amal usaha yes, membesarkan Muhammadiyah no!”. Atau sikap yang mendua lainnya, baik dalam berorganisasi maupun sikap ideologis dan keagamaannya.

Baaimana menyikapi masalah tersebut. Secara internal atau ke dalam tentu saja merupakan bahan introspeksi bagi seluruh jajaran Muhammadiyah. Dari segi ini, semua itu terjadi karena kelemahan dan kelengahan internal Muhammadiyah sendiri. Kelemahan tersebut berkisar antara lain: (1) terlambat atau tidak meningkatkan kualitas dan intensitas pengelolaan masjid dan amal usaha secara optimal dan secara lebih baik; (2) abai atau lalai dalam menjaga milik sendiri; (3) tidak selektif dalam menerima anggota atau mereka yang bekerja di amal usaha dan kurang pembinaan; (4) kurang atau tidak memiliki militansi yang tinggi, berkiprah apa adanya, dan berbuat sendiri-sendiri atau sibuk sendiri tanpa terkait dengan kepentingan Muhammadiyah; (5) lebih tertarik pada urusan politik dan hal-hal yang bersifat mobilitas diri serta tidak peduli pada kepentingan dakwah dan menggerakkan Muhammadiyah; (6) kurang solid dan konsolidasi gerakan; (7) kurang/lemah komitmen, pemahaman, dan pengkhidmatan terhadap misi serta kepentingan Persyarikatan.

Karena itu diperlukan langkah-langkah peneguhan dan konsolidasi internal yang kokoh dan terprogram dari Muhammadiyah sendiri. Langkah internal tersebut antara lain: (a) menanamkan kembali kepada anggota mengenai hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam agar seluruh anggota Persyarikatan yakin dan paham betul akan kebenaran Islam yang menjadi misi utama Muhammadiyah, sehingga tidak ragu-ragu dan tidak memilih gerakan lain; (b) memahami dan menghayati secara mendalam mengenai hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid, sehingga mereka berada dalam posisi untuk menampilkan Islam yang bersifat pemurnian sekaligus pembaruann, tidak semata-mata pemurnian ala Wahabiyah atau Salafy yang rigid, juga sebaliknya tidak terjebak pada sekularisasi pemikiran Islam yang lepas dari sumbu dasar Islam; (c) Menggerakkan Muhammadiyah dalam melaksanakan dakwah dan tajdid melalui usaha-usahanya secara ikhlas, sungguh-sungguh, gigih, dan berkelanjutan; sehingga secara istiqamah dan militan menjadi kekuatan umat yang berjuang menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya; (d) Menggalang ukhuwah dan soliditas internal gerakan sehingga menjadi kekuatan yang kokoh; tidak tercerai-berai, dan tidak berpaling ke gerakan lain apapun bentuknya apalagi gerakan politik kendati bersayap dakwah sebab Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah yang sudah teruji dan tidak ada kepentingan politik kekuasaan; (e) Mengembangkan sistem gerakan melalui penguatan jama‘ah, jam‘iyah, dan imamah sehingga gerak Muhammadiyah berjalan secara terorganisasi dan kuat; memiliki disiplin organisasi yang tinggi, dan semuanya hanya bernaung dalam sistem Muhammadiyah secara utuh; (f) Menyiapkan sumberdaya manusia dan kader yang unggul, militan, cerdas, dan siap membela organisasi dengan istiqamah dan rasa memiliki dan berkomitmen yang tinggi; (g) Menata dan mengkonsolidasi kembali seluruh amal usaha sebagai alat/kepanjangan misi Persyarikatan sekaligus ajang kaderisasi Muhammadiyah, termasuk menyeleksi dan membina seluruh orang yang berkiprah di dalamnya, sehingga amal usaha itu benar-benar mengikatkan, memposisikan, dan memfungsikan diri sebagai milik Muhammadiyah, dan bukan milik mereka yang berada di amal usaha apalagi nilik organisasi lain; yang harus dikelola dengan sistem dan disiplin organisasi Muhammadiyah; (h) bersikap tegas terhadap organisasi manapun yang masuk dan dapat mengganggu tatanan serta kelangsungan Muhammadiyah, lebih-lebih terhadap partai politik apapun termasuk partai politik yang mengemban misi dakwah sebagai mereka adalah organisasi lain yang berada di luar; bahwa semuanya harus dibingkai ukhuwah tentu saja tetapi harus bersikap timbal-balik dan saling mengormati; (i) Melakukan langkah-langkah pembinaan anggota secara intensif dan sistematik dengan pendekatan-pendekatan klasik dan baru agar tumbuh sebagai anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyahh yang istiqamah dan membela sepenuh hati misi serta kepentingan Muhammadiyah, lebih-lebih di saat kritis dan harus memilih; (j) Mengembangkan usaha dan kemampuan-kemampuan kompetitif serta jaringan-jaringan kerjasama secara independen dengan pihak manapun sehingga Muhammadiyah menjadi gerakan yang unggul dan dirasakan kehadirannya sebagaimana layaknya gerakan Islam yang terbesar di negeri ini.

Segenap anggota Muhammadiyah, lebih-lebih pimpinannya harus sungguh-sungguh meyakini dan memahami bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan selalu berada dalam garis atau relnya yang benar. Jika kebetulan ada anggota Muhammadiyah termasuk yang berada di amal usaha diberi kelebihan harta, pikiran, tenaga, relasi, dan anugerah lainnya, kenapa tidak disalurkan dan dimanfaatkan untuk membesarkan dan mengembangkan amal usaha dan dakwah Muhammadiyah? Sikap seperti itu sungguh mulia dan menunjukkan komitmen yang tinggi erhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah juga bekerja tiada lain lil-‘izzat al-Islam wa al-muslimin. Bukan untuk Muhammadiyah, tetapi untuk umat dan bangsa, untuk menjadi rahmat bagi semesta kehidupan.

Setiap anggota Muhammadiyah dituntut untuk berhajat dan berkiprah sepenuh hati melalui Muhammadiyah. Bahwa merawat dan sadar akan miliki sendiri, baik dari penyakit internal maupun dari luar, sesungguhnya merupakan sikap menjaga ”marwah” (kehormatan) dan ”muru‘ah” (rasa malu) sebagaimana layaknya orang yang memiliki independensi dalam berorganisasi. Menjaga ghirah gerakan. Sikap yang demikian bukanlah sikap ekstrem atau keras, apalagi mengobarkan konflik. Kalau mau dikatakan fanatik, boleh juga, karena apalah arti berorganisasi manakala tak ada fanatisme. Soal fanatisme-buta, yang salah bukan fanatiknya, tetapi buta-nya. Setiap anggota Muhammadiyah berhak membela misi dan kepentingan Muhammadiyah, sebagaimana anggota gerakan Islam lainnya membela misi dan kepentingannya.

Dengan meminjam logika ”maqasid al-syari‘at” dalam tradisi Islam klasik, bahkan kita diajari untuk bersikap ”syaja‘ah” (berani karena benar) untuk melakukan proteksi diri berupa ”hifdl al-din” (memelihara agama), ”hifdl al-nafs” (memelihara jiwa), ”hifdl al-nasl” (memelihara keturunan), ”hifd al-mal” (memelihara harta), ”hifd al-‘aql” (memelihara akal pikiran), bahkan memelihara kehormatan (hifdl al-ardl). Orang Islam memang tidak boleh bersikap nekad (tahawwur, jangankan benar, salah pun berani). Namun juga dilarang bersikap ”jubun” (pengecut), jangankan salah, benar pun takut. Lalu, munculah sikap selalu mencari aman, mencari mudah, dan apapun yang terjadi dianggap baik. Bersikap tegas dianggap keras dan suka konflik, kendati untuk menjaga kehormatan dan keberadaan organisasi. Tenang-tenang saja, tapi juga tidak bertindak. Jangan gaduh dan harus cantik menyikapi, namun tidak pula muncul sikap yang tegas, sebatas retorika. Akhirnya, tidak terasa lama kelamaan Muhammadiyah melemah, amal usahanya pun satu persatu susut atau bahkan lepas.

Soal kita memiliki kelemahan? Introspeksi? Muhasabah diri. Pasti, itu memang dirasakan dan diakui, yang memerlukan perbaikan dan penyempurnaan tak kenal henti. Bahkan organisasi yang besar seperti Muhammadiyah kata Pak AR Fakhruddin (Allahu yarham), laksana gajah bengkak. Namun, sadar akan kelemahan diri kita, bukan berarti harus membutakan diri dari penyakit yang datang dari luar. Bukan berarti membiarkan pengeroposan organisasi berlangsung tanpa antisipasi dan penyikapan. Apalagi kemudian membiarkan organisasi Muhammadiyah menjadi kian rentan. Jika tahu ada kelemahan, kenapa tidak bergerak? Kenapa tidak segera berbuat? Jangan sampai, sikap mengakui kelemahan itu, pada saat yang sama karena tidak mau sungguh-sungguh berbuat memperbaikiki kelemahan sekaligus mau bersikap tegas dalam bebnetngi organisasi dari gangguan yang datang dari luar. Paling repot, sudak tidak berbuat dan bersikap, melemah-lemahkan diri sendiri sambil tidak melakukan penguatan, karena hati bimbang dan sulit bersikap tegas. Padahal, salah satu sikap kader dan pimpinan organisasi ialah bersikap tegas, dengan tetap cerdas dan arif.

(QS. Ash-Shaff/61: 4).

Mari kita jadikan semua peristiwa yang kurang bagus di tubuh Muhammadiyah itu sebagai ujian, cobaan, hikmah, dan tempaan untuk bangkit dan berbuat. Tapi, sebelum bangkit dan berbuat, mulailah dari kesadaran adanya masalah. Jangan membutakan diri dari masalah, sebab nanti lama kelamaan masalah kecil kian membesar, lalu setelah segala sesuatunya terlanjur kita tak mampu mengendalikan dan mencari pemecahan. Kata pepatah, sesal kemudian tak ada gunanya. Lagi pula, memang mana ada sesal yang datang di waktu awal, itu namanya sesal yang salah kaprah. Memecahkan masalah pun tentu tak harus ekstrem, tetapi juga harus jelas dan sistematik. Setahap demi setahap pun tak masalah, yang penting ada kesadaran, itikad, dan tindakan. Bukan helah, menghindar dari masalah. Sabda Nabi, ”khair al-’amal adwamu-ha wa in qala”. Amal yang baik ialah yang berkelanjutan, kendati sedikit. Apalagi jika amal itu besar dan sistematik, maka akan menjadi lebih baik lagi.

Dari mana memulai? Setelah sadar adanya masalah, lantas bangkitlah melakukan ikhtiar atau tindakan-tindakan tersistem secara terorganisasai, selain melalui jalur-jalur individu sebagai penguat dan pendukung. Bangkitkan etos gerakan dari dalam secara serius dan memiliki vitalitas tinggi. Gerakkan seluruh lini Persyarikatan, termasuk amal usahanya secara bersama-sama dan tersistem. Langkah organisasi, lebih-lebih yang bersifat penting dan strategis, sungguh memerlukan kesungguhan (jihad) dan sikap kolektif yang menyatu/bersinergi, tidak bercerai-berai, laksana sebuah barisan yang kokoh sebagaimana firman Allah SWT.:

”Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (QS. Ash-Shaff/61: 4). Semoga Allah melimpahkan ridla dan karunia-Nya kepada kita. Nashrun min Allah wa fathun qarib.

Membangkitkan Dinamika Internal Muhammadiyah

Oleh: Dr. Haedar Nashir

Muhammadiyah lahir dan mekar karena sebuah keyakinan, paham, dan tekad perjuangan yang fundamental dari pendirinya. Kyai Haji Ahmad Dahlan melahirkan Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai hasil dari suatu proses pergumulan yang penuh pertaruhan, baik dari segi pemikiran maupun perjuangannya. Jadi tidak sembarang lahir, tumbuh, dan berkembang secara kebetulan atau apa adanya. Menurut Nurcholish Madjid (1983: 310), Kyai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati, yang melahirkan pembaruan Islam, dan pembaruannya luar biasa karena tidak mengalami prakondisi sebelumnya (break-throught).
Dari rahim pergumulan yang mendasar itu lahirlah gerakan Muhammadiyah yang berjuang ”menyebarluaskan” dan ”memajukan” ajaran Islam, mula-mula di wilayah residensi Yogyakarta, kemudian meluas ke seluruh Indonesia. Dengan ruh dan pemahaman Islam yang demikian, maka berdirinya Muhammadiyah memiliki konteks ketika umat dalam keadaan jumud dan terbelakang, yang memerlukan sebuah gerakan Islam, yang menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama sebagaimana dipraktikkan oleh umat Islam selama ini, yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai ”a Way of Life in all Aspects”, suatu sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya (Djarnawi Hadikusuma, t.t: 68).
Muhammadiyah juga lahir dalam bentuk sebuah gerakan Islam, bukan sekadar pemikiran atau wacana. Menurut H. Djarnawi Hadikusuma, Kyai Dahlan mendirikan Muhammadiyah karena dalam sanubarinya tertanam dorongan Al-Quran Surat Ali Imran ayat 104, yang belakangan sering disebut ”ayat Muhammadiyah”, yakni:

Artinya: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung”.
Ayat Al-Quran tersebut, yang sering dikaitkan dengan ayat ke-110 pada Surat yang sama, merupakan ayat pergerakan. Belakangan, ayat tersebut juga sering dipakai dan menjadi ikon bagi gerakan-gerakan Islam di dunia Muslim kontemporer. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang ”hidup berorganisasi”. Maka tidak berlebihan jika dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, ”melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi”, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911 (Adaby Darban, 2000: 13). Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Di sini, organisasi pun diperlukan untuk memayungi dan mengendalikan lembaga-lembaga gerakan dalam Muhammadiyah. Lembaga-lembaga yang berada dalam Muhammadiyah pun, termasuk amal usahanya, harus menyatukan diri (berada dalam syarikat) Muhammadiyah, bukan sebagai ”kerajaan-kerajaan sendiri”.
Kyai Dahlan, dengan paham agamanya yang bersifat tajdid, juga melahirkan teologi ”praksisme” Al-Ma‘un, sebuah terobosan tipikal dan cerdas, mirip ”teologi pembebasan” dalam pemikiran dan gerakan kontemporer, yang kemudian dilembagakan menjadi PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) yang kini menjadi PKU (Pembina Kesejahteraan Umat). Kesimpulannya apa? Bahwa selain produk pemikiran, kelahiran amal usaha Muhammadiyah terikat dengan misi dan ikatan organisasi Muhammadiyah. Jadi, bukan sembarang amal usaha, dan dilepaskan tergantung siapa yang mengelolanya, tetapi milik dan menjadi bagian tidak terpisahkan dari Muhammadiyah. Karena itu, mempertahankan, membesarkan, dan mengembangkan amal usaha Muhammadiyah pun harus menjadi komitmen seluruh yang ada di dalam Persyarikatan. Lebih-lebih bagi mereka yang berada dalam lingkungan amal usaha Muhammadiyah.
Kyai Dahlan, yang diikuti para murid dan pelanjutnya, juga membesarkan Muhammadiyah dengan perjuangan yang gigih. Ketika dokter dan para sahabatnya, bahkan istri tercintanya meminta beliau untuk beristirahat karena sakit, Kyai bahkan menganggap anjuran itu sebagai ”bisikan syaitan”. Ketika diancam untuk tidak hadir ke Banyuwangi dan bila tetap memaksakan diri akan dibunuh, Kyai Dahlan bahkan mendatangi kota di ujung Jawa Timur itu, yang ternyata tak apa-apa bahkan akhirnya di sana berdiri Cabang Muhammadiyah. Kyai Dahlan tidak ingin menghentikan langkahnya, karena merupakan tonggak penentu keberadaan Muhammadiyah yang akan lebih memudahkan bagi generasi pelanjutnya. Di belakang hari, para penerus Muhammadiyah pun membesarkan gerakan Islam tercinta ini dengan semangat yang ikhlas, gigih, cerdas, dan penuh pengorbanan. Hingga Muhammadiyah mampu meretas usia jelang satu abad saat ini.
Muhammadiyah dalam praktik gerakannya juga tumbuh dari bawah. Ranting bahkan menjadi basis gerakan Muhammadiyah. Ranting berfungsi sebagai pembina jama‘ah. Keberadaan Ranting bahkan harus mensyaratkan adanya kegiatan, seperti pengajian, dan sebagainya. Jadi mendirikan Ranting bukanlah simbolik dan formalistik, tetapi harus menjadi bagian dan memenuhi persyaratan sebagai sebuah gerakan. Karena itu, Muhammadiyah menjadi gerakan yang terus bergerak. Menurut K.H. AR. Fakhruddin, jika Muhammadiyah tidak bergerak, maka bukan Gerakan Islam. Orang Muhammadiyah harus gigih, kreatif, dinamis, tidak ”mutungan” (mudah patah arang) dan ”wegahan” (malas), dan gerakannya harus dirasakan oleh semua orang (AR Fakhruddin, dalam Sujarwanto dan Haedar Nashir, 1900: 318-319). Jadi Muhammadiyah dan seluruh anggota Persyarikatan, tidak boleh diam dan statis, tetapi harus bergerak secara dinamis. Itulah etos gerakan Muhammadiyah yang harus dibangkitkan, yakni dinamika internal atau dinamika inti gerakan Muhammadiyah.

Peneguhan dan Pencerahan untuk Kemajuan Bangsa


Oleh : Din Samsudin,

Iftitah Tanwir Muhammadiyah 2007, Hotel Garuda Yogyakarta

Bismillahirrahmanirrahim

Hadirin Yang Terhormat,

Terlebih dahulu saya mengajak hadirin semua khususnya keluarga besar Muhammadiyah untuk mempersembahkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatNya bagi Bangsa Indonesia, khususnya bagi Parsyarikatan Muhammadiyah yang kini menjenjang usia satu abad. Sepanjang perjalanan hamper seabad itu Muhammadiyah mengalami pasang-surut, naik-turun dan suka-duka perjuangan dalam “menegakkan dan menjujung tingggi Agama Islam untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” di Bumi Nusantara yang kita cintai ini.

Suatu hal yang patut disyukuri bahwa Muhammadiyah masih tetap tegar bertahan menghadapi gelombang sejarah dan arus peradaban serta semaki menampilkan kiprahnya dalam ikut memajukan kehidapan bangsa menuju keunggulan dan kejayaan. Seiring dengan itu patut juga disyukuri bahwa Muhammadiyah kini tidak hanya menjadi fenomena Nasional Indonesia tapi telah mampu go International, yaitu dengan terbentuknya sejumlah cabang Istimewa di Kairo, Damaskus, Khourtu, Teheran, Riyadh, Kuala Lumpur, Belanda, Jerman, dan Inggri; selain juga berdirinya “organisasi sadara” (sister organization), yang walaupun tida memiliki hubungan organisatoris dengan Muhammadiyah Indonesia, tetapi mengembangkan nilai-nilai, khittah perjuangan dan lambing yang sama dengan Muhammadiyah Indonesia, di Singapura, Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Laos.

Alhamdulillah, sepanjang perjalanan sejarahnya, cukup banyak yang telah disumbangkan Muhammadiyah kepada bangsa Indonesia, melalui gerakan pencerdasan, peningkatan kualitas kesehatan, dan kehidupan social, pemberdayaan tarap kehidupan ekonomi masyarakat, selain tentu pencerahan kehidupan keberagamaan umat Islam. Semua usaha itu dilakukan Muhammadiyah dengan semangat dan untuk kepentingan dakwah Islamiyah, yaitu ajakan kepada kebaikan dan keterbaikan (al-da`wah ila al-khyar). Dengan semangat al-da`wah ila al-khyar inilah Muhammadiyah berjuang mengusung Islam yang berkemajuan melakukan pencerahan kebudayaan dan peradaban. Tiadalah berlebihan kiranya untuk dikatakan bahwa Muhammadiyah, sebagai kekuatan masyarakat madani, telah ikut tampil sebagai problem solver atau penyelesai masalah yang dihadapi bangsa Indonesia.

Namun, disamping kesyukuran tadi, segenap warga Persyarikatan Muhammadiyah perlu juga melakukan muhasabah, yaitu evaluasi dan introspeksi, terhadap segala kekuarangan, kelalaian dan kealpaan, sehingga umat Islam di Indonesia belum dapat menjadi factor efektif atau determinan dalam kehidupan masyarakat dan kebangsaan Indonesia., spereti ditunjukkan oleh masih adanya fenomena kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, yang beriringan dengan masih merebaknya fenomena kemusrikan, kemungkaran dan kemaksiatan di tengah masyarakat. Dalam konteks muhasabah, perlu diakui secara jujur bahwa keterpurukan yang dialami bangsa selama ini dan kebelummampuannya untuk bangkit menuju kemajuan dan keunggulan adalah indicator nyata bahwa umat Islam sebagai bagian terbesar dari bangsa ini belum mampu menampilkan kebesaran kualitatif sebagai penggerak kemajuan dan keunggulan bangsa.

Dengan semangat bermuhasabah itu, warga Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya perlu menyadari bahwa perjuangan dakwah masih pannjang, masih banyak bengkalai yang belum usai, sementara itu banyak tantangan yang menghadang, namun kita tidak boleh berpantang, karena sekali layer terkembang kita harus sampai ke seberang.

Hadirin Yang Terhormat,

Sebagai bagian terbesar dari bangsa, umat Islam harus merasa memiliki tanggung jawab terbesar pula, sebagai gerakan Islam tertua di Indonesia, Muhammadiyah harus merasa untuk menunaikan tanggung jawab itu paling pertama. Bagi Muhammadiyah, penunaian tanggung jawab ini adalah refleksi keimanan dan sekaligus komitmen kebangsaan. Bertolak dari komeitmen kebangsaan inilah maka Tanwir kali ini mengangkat tema “Peneguhan dan pencerahan Untuk Kemajuan Bangsa”. Dengan tema ini Muhammadiyah melalui peneguhan jatidirinya, ingin meneguhkan jatidiri bagsa; melalui pencerahan dirinya ingin mencerahkan kehidupan bangsa; dan dengan peneguhan dan pencerahan itu Muhammadiyah ingin ikut mendorong kemajuan bangsa. Pemajuan kehidupan bangsa ini adalah aktualisasi dari “Islam yang berkemajuan” yang sejak dulu menjadi orientasi gerakan Muhammadiyah.

Dalam pandangan Muhammadiyah, Islam adalah agama kemajuan (din al-hadarah), maka berkeislaman sejati adalah keberagaman yang mendorong kemajuan kebudayaan dan peradaban. Kemunduran dan apalagi keterpurukan peradaban adalah bertentangan dengan watak Islam dan tidak mencerminkan keberIslaman sejati itu. Makan oleh karena itu, Muhammadiyah merasa terpanggil untuk mencerahkan kebudayaan dan peradaban bangsa Indonesia yang harus diakui belum mencerminkan kemajuan yang dignifikan.

Memang sejak era reformasi tidak dapat dipungkiri cukup banyak kemajuan yang dicapai bangsa Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan nasional. Reformasi itu sendiri menunjukkan kebangkitan bangsa dari otoriterianisme politik dan budaya yang membelenggu lebih dari tiga dasawarsa. Namun, momentum perubahan yang disediakan era reformasi telah tidak termanfaatkan dengan baik selama beberapa tahun hingga 2004 dengan terbentuiknya pemerintahan baru yang memperoleh amanat langsung dari rakyat dan legitimasi dan aksepbilitas yang tinggi. Sungguh besar harapan rakyat akan perubahan dan perbaikan tarap kehidupan. Sungguh besar dan mulia tanggung jawab para pemegang amanat kepemimpinan. Bangsa ini patut bersyukur akan kerja keras pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan. Cukup banyak capaian yang layak mendapat pujian dan penghargaan, seperti terciptanya perdamaian di tubuh keluarga besar bangsa, meningkatnya citra dan pesona bangsa di mancanegara, tersedianya ruang kebebasan beragama dan berekspresi, terbangunnya ifrastruktur dan system demokrasi yang menjadikan Indonesia buah bibir akan lahirnya negeri mayoritas Muslim demokratis pertama dan utama di dinia, untuk sekedar menyebut beberapa bukti.

Sayang harapan-harapan baru itu terhalangi oleh bencana demi bencana alam yang menimpa bangsa, yang tentu menguras segala daya, pikiran dan perhatian baik pemerintah maupun masyarakat. Dan lebih penting kita semua tidak kehilangan asa dan tetap pada keyakinan bahwa dengan kebersamaan kita akan bisa mengatasi keadaan. Memang, kita harus menyadari bencana-bencana alam yang yang menimpa bangsa ini adalah musibah yang mengandung ujian dan cobaan dari Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa. Bukanlah Rosul ada mengatakan bahwa “jika Allah menyayangi suatu bangsa, maka Dia datangkan kepada bangsa itu ujian dan cobaanNya”. Maka oleh karena itu, dibalik semua musibah pasti ada hikma; seperto pernyataan al-Quran: “Sesungguhnya bersamaan dan kesusahan itu ada kemudahan, dan, sekali lagi, beriringan dengan kesukaran itu ada kelapangan”.

Hadirin Yang Terhormat

Kemampuan untuk mengambil hikmah dari balik musibah dan kemampuan untuk emnciptakan kemudahan di tengah kesusahan adalah apa yang harus dilakukan bangsa Indonesia saat ini. Kemampuan itu menuntut kesediaan, yaitu kesediaan untuk berikhtiar sungguh-sungguh secara kolektif untuk membangun diri dan mengembalikan jatidiri. Jatidiri bangsa adalah permata yang nyaris hilang sekarang ini. Sebagai akibatnya, citra diri kita sebagai bangsa yang ramah-tamah tergantikan oleh kecenderungan baru sebagian anak bangsa yang sering marah-marah; kegotongroyongan yang dulu menjadi watak bangsa telah berubah menjadi kegontok-gontokan; kejuangan yang dulu menjadi nafas bangsa kini terengah-engah dalam daya saing yang rendah; kepercayaan diri sebagai bangsa dengan modal social dan budaya kaya hilang bersamaan dengan munculnya kemiskinan harga diri; dan lebih parah lagi, kepercayaan diri akan Sang Maha Pencipta tertimbun oleh kepercayaan terhadap makhluk ciptaanNya.

Koni, bangsa nyaris kehilangan jatidiri dan kepercayaan diri. Sebagai bangsa, kita acapkali terpesona oleh apa yang datang dari luar negeri. Maka, Indonesia menjadi lahan subur bagi arus liberalisasi, baik ekonomi, politik maupun budaya yang dewasa ini melanda kehidupan bangsa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan kebangsaan kita. Liberalisasi ekonomi telah menciptakan berbagai sindrom kapitalisme global tidak hanya di kota-kota tapi juga di desa-desa. Sebagai akibatnya, sentra-sentra ekonomi rakyat, termasuk di kalangan umat Islam, hancur lebur tidak kuasa menghalangi arus deras ekonomi kalpitalistik yang digdaya. Para petani banyak yag terjerembab dalam ketidak berdayaan terhadap kaum kapitalis lokal yaitu para rentenir yang menjerat mereka dengan hutang, sehingga mereka menjerit sebagai buruh tani. Para buruh belum cukup beruntung karena sempitnya lapangan kerja di negeri sendiri, sementara di negeri orang para TKI?TKW masih kurang memdapat perhatian sebagai pahlawan devisa.

Muhammadiyah mendukung kebijakan pemerintah yang bertekad mewujudkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi bagi rakyat. Khususnya mereka yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Datu hal yang patut dihargai adalah kebijakan pemerintah untuk menciptakan akses memperoleh pengobatan gratis melalui program askes bagi rakyat miskin. Penerapan system ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil adalah solusi terhadap keadaan bangsa. Karenanya, pemberdayaan pengusaha kecil menengah serta koperasi perlu ditingkatkan sebagai factor indtrumental bagi pemberdayaan ekonomi rakyat. System ekonomi berbasis prisip-prinsip Islam mungkin bisa menjadi alternative bagi pemecahan masalah perekonomian nasional. System yang mulai diterapkan di beberapa Negara berpenduduk mayoritas bukan Islam tentu cukup relevan untuk diterapkan di negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim ini. Untuk itu diperlukan keinginan politik pemerintah untuk menciptakan iklim kondusif bagi perkembangan system ini, khususnya perkembangan lembaga keuangan syariah.

Reformasi politik adalah keniscayaan dalam kehidupanbangsa untuk mencapai cita-citanya. System demokrasi memang diyakini sebagai bentu ideal dari pengaturan diri manusia, tetapi demokrasi bukanlah segala-galanya dan bukan tanpa sisi buruk. Proses demokrasi yang berlangsung di Indonesia dewasa ini memang patut dipuji, terutama pada pengembangan dan penguatan lembaga-lembaga demokrasi. Namun, proses demokrasi yang berlangsung, khususnya dalam pemilihan kepala daerah, barulah bersifat procedural dan belum cukup bersifat subtantif. Subtansi demokrasi yang antara lain terletak pada perluasan ruang partisipasi rakyat untuk secara bersama-sama mewujudkan kebaikan bersama sering terkendala oleh bias buruk demokrasi itu snediri, terutama jika paradigma demokrasi liberal yang menjadi pilihan.

Dan inilah yang dapat dicermati terjadi selama ini. Demi demokrasi dan hak-hak asasi manusia rakyat memiliki hak-hak social dan politik untuk bebas berserikat dalam partai politik yang bebas pula bersaing di pentas nasional. Maka tak pelak politik sering sering tampil dan ditampilkan sebagai sarana merebut kekuasaan dan wahana mempertahankan kekuasaan. Terjadilah distorsi makna politik. Politik yang seharusnya dijalankan sebagai factor instrumental untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, kini terjebak ke dalam pragmatisme dan bahkan oportunisme kekuasaan. Cita-cita politik untuk kesejahteraan bergeser menjadi politik untuk kekuasaan.

Sebagai akibatnya, kekuasaan politik sering tidak efektif menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dalam bidang-bidang nonpolitik, seperti ekonomi, social maupun budaya. Masalah-masalah seperti iyu sering hanya mendapat tanggapan politis, bukan penyelesaian kategoris, sehingga bukan solusi yang terjadi tapi tragedy dan ironi. Itulah yang harus dikataka telah terjadi. Sebagai missal, masalah persebaran pornografi dan pornoaksi, baik di mesia maupun di masyarakat yang jelas-jelas merupakan kendala besar dalam proses pembentukan watak dan akhlak bangsa, telah tidak memperoleh bahkan penanggulangan politik itu sendiri, yaitu terkatung-katungnya pembahasan RUU tentang Antipornografi dan Pornoaksi di DPR dan lemahnya penegakkan hokum terhadap pelanggaran yang terjadi. Apa yang terjadi adalah tragedy dan ironi, yakni kita membangun pada satu sisi tapi dari sisi lain kita merubuhkan bangunan itu sendiri.

Demokrasi yang memutlakkan kebebasan tela mendorong euphoria politik kebablasan. Kita memang tidak perlu memutar arah jarum jam sejarah, tetapi arus kebebasan yang kebablasan harus dikendalikan, karena kalau tidak dimensi waktu justeru mempercepat peluncuran bangsa ke titik nadir keberadaannya. Bangsa Indonesia memerlukan keseimbangan baru dalam gerak peradaban dan ketersediaan landasan budaya jitu bagi proses perubahan. Politik sebagai menejemen nasional dalam mengendalikan perubahan perlu diarahkan kepada pencapaian cita-cita kolektif bangsa. Oleh karena itudip[erlukan adanya strategi kebudayaan yang disepakati bersama oleh berbagai elemen bangsa, yang kemudian dijalankan dengan menggalang segala potensi yang ada dalam masyarakat. Pemerintah tentu tidak berpretensi dapat mengatasi semua permasalahan dan tantangan yang kian berat dengan sendirinya tanpa dukungan kekuatan-kekuata masyarakat madani. Saatnya bagi pemerintah untuk lebih meningkatkan kerjasama dan kemitraan strategis dengan organiosasi masyarakat, tidak hanya dnegan partai politik, terutama organisasi masyarakat yang merupakan kelompok aspiran riil dan yang telah berperan empiris berperan bagi negara bahkan sejak negara itu belum ada.

Hadirin yang terhormat,

Dalam perspektif demikianlah ingin meneguhkan hati dan jatidiri untuk dapat ikut mengambil bagian bersama pemerintah dan kelompok-kelompok lain mencerahkan kehidupoan bangsa menuju kemajuan dan keunggulan. Sebagai unsur masyarakat madani yang mengalami hiruk pikuk perjuangan menegakkan kemerdekaan Indonesia, Muhammadiyah memandang bahwa keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah tanggung awab untuk dipertahankan. Bagi Muhammadiyah NKRI adalah bentuk ideal dari kehidupan bernegara Bangsa Indonesia yang majemuk atas dasar agama, suku, bahasa dan buidaya. Sebagai kelompok yang pada awal kemerdekaan lewat ketuanya Ki Bagus Hadi Kusumo mengusulkan perumusan sila pertama pancasila seperti yang ada sekarang ini, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka bagi Muhammadiyah Negara Pancasila adalah final sebagai alat pemersatu bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ketuhanan Yang Maha Esa, sesuai ajaran tauhid, merupakan nafas dari kehidupan berbangsa dan bernegara Bangsa Indonesia. Komitmen terhadap Pancasila ini menolak segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan kepada sikap dan pandangan yang anti Tuhan dan Agama.

Sebagai wujud dari komimen kebangsaan itu, maka menjelang masuk ke abad kedua dari kelahirannya, Muhammadiyah ingin meningkatkan peran pencerahannya terhadap kehidupan bangsa. Karenanya, Muhammadiyahmerasa perlu untuk melakukan konsolidasi, baik wawasan (fikrah), maupun organisasi (jama’ah) dan usaha (`amaliah). Ketiga faktor ini merupakan kekuatan gerakan Muhammadiyah sejak awak kelahirannya. Konsolidasi wawasan atau paham kegamaan tersebut mengambil bentuk peneguhan identitas Muhammadiyah sebagai kekuatan arus tengah Islam yang senantiasa memelihara keseimbangan (tawazun) antara pemurnian akidah dan pembaruan muamalat, atau antara reformasi dan modernisasi kehidupan beragama. Pengamalan teologi tengahan (al-`aqidah al-wasithiyah) ini tidak menghalangi Muhammadiyah untuk menjadi tenda besar bagi berbagai kelompok di tubuh umat Islam dan Bangsa Indonesia. Konsolidasi organisasi perlu dilakukan dengan memperkuat jamaah sebagai komunitas basis yang selama ini menjadi ujung tombak gerakan dakwah Muhammadiyah. Revitalisasi cabang dan ranting haruis segera dimulai, karena ranting itu penting dan capang itu terpandang. Dan konsolidasi usaha/program dilakukan dengan mulai berorientasi pada pengembangan kualitas amal usaha milik Muhammadiyah untuk menjadi pusat keunggulan publik, disamping berusaha untuk meningkatkan kuantitas amal usaha. Sesuai tema Muktamar Malang tahun 2005, ”Tajdid Gerakan Untuk Pencerahan Peradaban” maka gerakan Muhammadiyah pada periode ini harus menapilkan nuansa inovatif dan kreatif, serta efek positif dan kontruktif terhadap kehidupan bangsa. Sesuai amanat Muktamar untuk revitalisasi gerakan maka perlu mendapat prioritas upaya menemukan vitalitas Persyarikatan untuk diaktualisasikan kedalam dinamika zaman. Dengan melakukan konsolidasi pada ketiga gatra gerakan, maka Muhammadiyah akan dapat mempertahankan keberadaan dan kesiapannya untuk menjadi kekuatan efektif bangsa merebut kemajuan dan keunggulan.

Penguatan masyarakat madani adalah tuntunan dalam kehidupan modern rakyat warga negara sebagai stakehoders negara memiliki tanggung jawab dan pera menentukan. Muhammadiyah mengajak kepada seluruh unsur masyarakat madani di Indonesia, khususnya di kalangan umat Islam, untuk bergandengan tangan, bahu membahu menjadi penyelasi masalah bangsa (problem solver), bukan menjadi bagian dari masalah (part of the problem) dan apalagi menjadi pencipta masalah (problrm maker).

Sebagai bangsa yang majemuk Bangsa Indonesia perlu menghargai pluralitas (kemajemukan) dan pluralisme (paham tentang kemajemukan). Islam sangat mengakui dan menghargai pluralitas dan pluralisme, baik atas dasar keyakinan agama, maupun kebangsaan dan kesukuan. Menurut al-Quran, perbedaan warna kulit dan bahasa adalah manifestasi huum alam kehidupan, yang kesemuanya perlu dijalin dalam hubungan toleransi (ta’aruf maupuan tasamuh). Namun, toleransi bukanlah menyamakan perbedaan baik dalam bentuk sistesisme (pensenyawaan) maupun sinkretidme (pencampuran), tetapi toleransi adalah menghargai perbedaan disertai sikap siap hidup berdampingan secara damai membangun mozaik yang indah dalam konfigurasi kemajemukan dan keragaman.

Semangat toleransi seperti itu diperlukan Bangsa Indonesia sekarang ini. Karena harus diakui kemajemukan dan keragaman bangsa ini, baik dalam agama, suku, budaya, bahasa dan orientasi politik, masih sering tampil sebagai faktor kelemahan tinimbang faktor kekuatan. Egoisme dan fanatisme kelompok adalah pemicu utama pertentangan bdan konflik dalam masyarakat. Saatnya energi konflik di tubuh bangsa ditransformasikan menjadi energi solidaritas . maka bangsa ini mendambakan hadirnya para negarawan yang bertindak sebagai pencipta solidaritas (solidarity maker), yang dengan kearifan den kebijaksanaan mereka menghimpun kebersamaan dan kekuatan bangsa, saatnya kearifan dan kebijaksanaan membimbing bangsa ini. Saatnya kaum arif-bijaksana bersekutu untuk menjadi Pelita Bangsa. Dengan pelita-pelita itulah mata hati bangsa akan tersinari dan menyinari perjalanan bangsa. Sang Surya Muhammadiyah ingin tetap bersinar dan menyinari kemajuan bangsa di masa depa

Strategi Dakwah Muhammadiyah

(Masa Lalu, Kini dan Masa Depan dalam Prespektif Kebudayaan)

Oleh : Ahmad Syafi’i Ma’arif


Pendahuluan
Muhammadiyah lahir di tengah tengah kebudayaan sinkretik Jawa yang kental pada permulaan decade kedua abad ini. Mungkin karena wataknya yang non-politis, baik Belanda maupun kesultanan Yogyakarta, tampakny atidak terlalu curiga terhadap gerakan Islam puritan ini. Dengan kata lain, Muhammadiyah bukanlah gerakan “OSlam Fanatik” yang telah diracuni oleh Pan-Islam yang ditakuti itu. Musuh Belanda seperti yang dirumuskan oleh C. Snouk Hurgronje bukanlah Islam sebagai Agama, tetapi Islam sebagai doktrin politik . Dengan sedikit pendahuyluan ini seterusny aakan kita tengok strategi dakwah Muhammadiyah dalam prespektuif sejarah dan cultural.

Muhammadiyah : Antara cetakan Jawa dan cetakan sabrang

Di mata Belanda kelahiran Muhammadiyah pada tahun 1912 tidaklah akan menggoyahkan rust en orde, suatu ungkapan yang strategis demi menjaga kelangsungan kekuasaan colonial di Hindia Belanda. Menurut penelitian Dr. Alfian, dalam arsip arsip kolonial, seperti dalam Inlandsche Zaken, tidak ditemukan catatan yang serius tentang K.H.A. Dahlan, baik tentang pribadinya maupun tentang doktrin agama yang diajarkan. KEadaannya akan berlainan samasekali dengan Tjokroaminoto, Salim, dan tokoh tokoh SI lainnya . Tapi murid Kyai Dahlan, H. Fahrudin adalah tokoh Muhammadiyah yang diawasi Belanda. Mereka ini semua adalah insane –insan politik yang militan.

Fokus perhatian Dahlan tampaknya memang lebih tertuju kepada usaha pencerahan dan pencerdasan ummat, suatu strategi sosio-budaya yang berdampak sangat jauh dalam arti yang sangat positif. Karena tukik perhatian dipusatkan pada transformasi mental, sosial dan budaya, perlawanan justru datang dari kalangan ulama dan ummat Islam sendiri. Dahlan menghadapi ini semua dengan sikap tegar dan tidak pernah goyah. Djarnawi Hadikusumo menulis tentang pola perjuangan Dahlan yang non-politis : “Menilik segala tindakan dan amal yang telah dikerjakan oleh K.H.A. Dahlan dengan Muhammadiyahnya ternyata bahwa pendiri Muhammadiyah itu telah memilih jalan yang ditempuh oleh Muhammad ‘Abduh.” Sedangkan pola SI bisa dikaitkan dengan Pan Isalam. Daerah pengaruh Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Dahlan (1912-1923) baru terbatas di karisidenan Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan , dan Pekajangan. Cabang cabang Muhammadiyah berdiri di kota kota tersebut (selain Yogyakarta) pada tahun 1922, yaitu di akhir periode kepemimpinan Dahlan. Menjelang tahun 1938 barulah Muhammadiyah tersebar di seluruh Nusantara Dengan demikian sekitar 14 tahun sepeninggal Dahlan, Muhammadiyah sudah mengindonesia.

Dilihat dari sudut pandang budaya, karakteristik da’wah Muhammadiyah sampai batas batas tertentu juga diwarnai oleh warna cetakan local, khususnya cetakan sabrang. Kita ambil contoh kasus Aceh dan Minangkabau. Di Aceh misalnya Muhammadiyah gagal memasuki lingkaran budaya para teungku, sebuah lingkaran yang dipandang punya kesadaran politik yang cukup tinggi,. Kegagalan ini, menurut Alfian, sebagian disebabkan oleh kenyataan karena Muhammadiyah telah lebih dahulu dimasuki oleh elit tradisional para teuku, saingan berat para teungku.Lantaran keduluan para teuku, golongan teungku punya alasan kuat untuk tidak memasuki Muhammadiyah, kalau bukan telah larut menghalangi gerak lajunya di daerah Aceh. Alasan lain ialah seperti kita ketahui para elit tradisional punya hubungan yang dekat dengan pihak Belanda. Jadi bila gerak Muhammadiyh dirasakan kurang militant di Aceh, salah satu faktor pentingnya adalah karena budaya para teuku ini lebih dominant mempengaruhi Muhammadiyah. Barangkali setelah kemerdekaan mungkin teleh mengalami perubahan demi perubahan. Tetapi yang jelas, Muhammadiyah belumberhasil menciptakan benteng cultural yang kokoh di Aceh, bahkan sampai hari ini. Apakah nanti setelah muktamar tahun 1995, lingkaran teungku di Aceh akan lebih bersikap apresiatif terhadap Muhammadiyah, belum dapat kita katakana sekarang. Warga Muhammadiyah Aceh diharapkan agar memahami betul peta-bumi sosio-budaya masyarakat Aceh ini untuk keberhasilan da’wah Islam yang digerakkan Muhammadiyah.

Sub sub budaya lain di Indonesia yang tidak mudah ditembus Muhammadiyah selain Aceh, juga budaya Sunda, budaya Melayu Medan dan Jambi, budaya Betawi, dan sub –sub budaya suku bangsa lainnya di berbagai bagian nusantara. Fenomena yang hamper serupa kita jumpai di kalangan budaya Melayu Malaysia dan Brunei. Orang Brunei kabarnya malah menganggap Muhammadiyah bukan merupakan gerakan Islam yang patut dihormati, kalaulah bukan dinilai sebagai sudah berada diluar bingkau Islam. Fenomena semacam ini mengingatkan kita kepada situasi Islam di Indonesia pada waktu Muhammadiyah baru mulai mengorak bumi Mataram, sekitar 80 tahun yang lalu. Akan halnya di Malaysia, keadaannya lebih memberi harapan, sekalipun memerlukan waktu dan perjuangan yang panjang. Seperti kita kenal dari catatan sejarah, gerakan pembaruan Islam di Indonesia dan di semenanjung Tanah Melayu dan Singapura sama sama mulai menapak awal abad ini. Bedanya bila di Indonesia gerakan pembaruan itu relatif berjaya, sementara di Semenanjung mengalami kegagalan. Barangkali salah satu sebab kegagalan ini adalah karena di sana Islam sudah terlalu lama dipasung dalam bingkai feodalisme Melayu yang cukup kental plus mazhab al –Syafi’i yang secara formal menjadi mahzab persekutuan. Maka adalah logis bila kedatangan arus pembaruan Islam harus ditolak karena ia membawa pesan liberal dan egaliter, sesuatu yang dapat menjadi ancaman dalam jangka panjang bagi struktur feodalisme Melayu yang tampaknya kini sudah semakin lapuk. Gebrakan Mahatir-Anwar Ibrahim terhadap kedudukan raja –raja akan membawa perubahan kea rah yang lebih positif bagi hari depan arus faham pembaruan Islam di negeri jiran itu. Anwar Ibrahim sudah lama punya hubungan spiritual yang lekat dengan gerakan pembarua Islam di Indonesia.

Pertanyaan yang kemudian mungkin sedikit menggoda adalah : mengapa Keraton Yogya tidak terasa terancam oleh Muhammadiyah sementara aliran serupa cukup ditakuti oleh di Malaysia ? Dilihat dari sudut proses Islamisasi kualitatif, kraton Yogya baru permukaan formalnya saja yang sudah disentuh Islam. Raja raja Mataram tampaknya rtidak mencurigai gerakan pembaruan Islam yang justru dipelopori oleh abdi dalem kesultanan. Setidak-tidaknya ada dua sebab mengapa kecurigaan itu tidak muncul. Pertama, pengetahuan kraton tentag Islam itu sangat terbatas. Para elitenya tidak pernah berfikir bahwa gerakan seperti Muhammadiyah akan menjadi ancaman bagi feodalisme Jawa. Kedua, ini berkaitan erat dengan yang pertama, Muhammadiyah sendiri memang tidak pernah membidikkan pelornya ke kraton, pusat budaya Jawa yang baru terislamkan secara superfisial. Yang lebih unik lagi adalah bahwa ulama Muhammadiyah bahkan punya kedudukan tinggi di lingkungan kraton. Sebuah panorama yang cukup menarik dikaji. Salah satu indikasi superfisialitas keislaman di lingkungan kraton dapat dilihat misalnya pada fenomena masih kentalnya dipertahankan kepercayaan kepercayaan dan adat adapt lama dengan muatan Hindu bercampuyr unsure Jawa Kuno yang sudah ada sebelum kedatangan pengaruh India itu.

Situasi Malaysia jauh berbeda. Sekalipun Islam disana masih dibungkus dalam feodalisme Melayu, kultur Melayu relatif bercorak Islam dibandinghkan kultur Jawa Mataram. Bekar bekas pengaruh Hindu yang kental hamper hamper tidak dikenal lagi dalam kultur Melayu Malaysia. Oleh sebab itu bila orang Melayu Malaysia melihat bayak sekali patung Hindu dan Budha di Jawa, mereka heran setengah mati. Pertanyaan yang muncul biasanya berbunyi : mengapapatung patung ini masih ”mencongok” di berbagai tempat di lingkungan masyarakat masyarakat Muslim Jawa ? Mereka yang paham sejarah Islam di Jawa, pertanyaan yang serupa itu tidak akan muncul karena mereka tahu betul bahwa proses islamisasi kualitatif masih akan berlangsung, mungkin lebih hebat lagi, pada masa –masa yang akan datang. Tetapi sampai sekarang, hubungan Muhammadiyah dengan pihak kraton tampaknya cukup aman aman saja. Bukankah strategi dakwah Muhammadiyah di Jawa, khususnya Yogyakarta, belum pernah diarahkan secara serisu untuk mengislamkan kraton, pusat kejawen yang masih berwibawa ? Dakwah Muhammadiyah untuk memberantas syirik, bid’ah, khurofat dan yang sejenis lebih ditujukan kepada rakyat yang berada di luar kraton. Mungkin diharapkan pada suatu hari nanti, entah kapan, bilamana rakyat diluar kraton sudah terislamkan menurut versi Muhammadiyah , dengan sendirinya nanti demi eksistensi kraton, para bangsawan akan turut dalam arus itu. Sebuah teori yang agak mirip dengan teori ”penguasaan desa untuk menguasai kota”. Tapi mohon dicatat bahwa Muhammadiyah belum pernah menciptakan teori yang macam macam itu. Untuk sebagian orang, cukuplah kiranya bila kita berjalan menurut gaya alam saja.

Kita bicarakan selanjutnya Muhammadiyah di Sumatera Barat. Mungkin tidak ada kawasan budaya di nusantara yang sangat reseptif dan responsif terhadap paham dan gerakan Muhammadiyah melebihi budaya Minang. Gejala ini sebenarnya tidaklah terlalu mengherankan, karena pada abad ke -19 gerakana Padri telah berhasil ”mengobrak abrik” adat minang ”yang tak lekang deh paneh, tak lapuak dak hujan” itu. Sekalipun secara politik gerakan Padri pada akhirnya dilumpuhkan Belanda bersama kaum adat., secara sosio-kultural paham wahabi yang dibawaPadri itu sudah tertancap kuat dalam budaya Minang. Oleh sebab itu pada waktu Haji Rasul, sahabat Dahlan, membawa paham Muhammadiyah ke sana pada 1925, yaitu dengan terbentuknya cabang Muhammadiyah yang pertama di Sungai Batang Tanjung Sani, Maninjau. Dr. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dapat disebut sebagai Bapak Spiritual Muhammadiyah Minangkabau, tapi uniknya adalah bahwa beliau sendiri tidak pernah menjadi anggota gerakan ini. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menggenangi hampir seluruh Minangkabau, dan dari daerah inilah kemudian radius Muhammadiyah itu bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.

Berbeda dengan di Yogyakarta, di mana Muhammadiyah dirasakan ”jinak” secara politik, di Minangkabau karena tuntutan situasi, keadaan sedikit lain. Naluri politik jelas terlihat di kalangan tokoh tokoh Muhammadiyah Minangkabau. Sarjana Belanda C.C. Berg jug amencatat bahwa Muhammadiyah di Minangkabau tidak semata mata sebagai gerakan sosial, tapi juga terlibat dalam kegiatan politik Dalam peta sosiologis Minangkabau, sebuah negari (semacam republik kecil) dipayungi oleh empat golongan yang dominan : ninik –mamak, alim –ulama, cerdik –pandai, dan manti-dubalang. Hamka mencatat bahwa manakala cabang Muhammadiyah berdiri di suatu negari, keempat unsur itu pasti terlibat di dalamnya. Pada masa awal terlihat bahwa ” …. di seluruh Minangkabau ketika Muhammadiyah mulai berdiri tidak seorang juapun pegawai negeri yang masuk” Denga kata lain, pada periode formatif itu Muhammadiyah dipimpin oleh ”orang orang merdeka.” Keadaan sesudah kemerdekaan sudah sangat berubah. Budaya pegawai negeri lebih dirasakan pengaruhnya dalam gerak Muhammadiyah ketimbang budaya ”orang merdeka” dengan segala sisi yang positif dan negatif. Sebelum [ergolakan daerah tahun 1950-an, Muhammadiyah di Minangkabau bukan saja didukung oleh pegfawai negeri, bahkan perpolitikan propinsi Sumatera Barat tealh berada di bawah pengaruh kuat dari Muhammadiyah. Masyumi dan Muhammadiyah sukar sekali dibedakan disana. Maka tidaklah mengherankan pada saat Masyumi kalah secara politik, Muhammadiyah Sumatera Barat menjadi babak belur selama hampir dua dekade. Proses pemulihannya belum sepenuhnya berjaya sampai sekarang. Inilah sebuah beaya yang harus dibayar oleh Muhammadiyah cetakan sabrang. Dakwah dengan kendaraan politik praktis dalam pengalaman Muhammadiyah lebih banyak merugikan, sekalipun hal itu bukan sesuatu yang mutlak harus demikian. Pada masa orde baru , terutama tahun 1980 –an, peran politik Muhammadiyah lebih banyak dilakukan oleh lobi lobi perorangan seperti yang ditunjukkan oleh kegiatan Lukman Harun, Ismail Sunny dll, pada saat menghadapi proses pembicaraan RUU Pendidikan Nasional dan RUU Pengadilan Agama. Lobi lobi semacam ini tidak jarang memberikan hasil positif menguntungkan.

Dakwah di masa depan : perlunya strategi budaya yang mantap
Baik Muhammadiyah cetakan Jawa maupun Muhammadiyah cetakan sabrang sama sama dihadapkan kepada tantangan dakwah yang dahsyat. Proses industrialisasi yang akan dimulai secara besar besaran mulai april 1993 ini akan memberikan pekerjaan rumah (PR) yang sangat berat kepada semua gerakan Islam, khususnya Muhammadiyah, yang menyatakan dirinya sebagai gerakan modern Islam. Kita belum mempunyai contoh kira kira bagaimana nasib Islam di suatu negara Industri. Pada suatu kesempatan pernah saya katakan : apakah pada saat ini kita masih punya peluang untuk beriman ? Beriman dengan segala atribut dan implikasinya bukan beriman semata mata percaya kepada Tuhan. Iman dalam Islam adalah Iman yang dapat memberikan suatu keamanan ontologis kepada manusia, dan diatas dasar itu ditegakkan sebuah peradaban yang berwajah ramah.

Mari kita tengok sebentar keadaan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan. Bila pengamatan Kuntowijoyo dapat disetujui, maka gambaran tentang Muhammadiyah adalah sebagai berikut :

Sesungguhnya dewasa ini Muhammadiyah sudah harus merumuskan kembali konsep gerakan sosialnya. Saya beranggapan bahwa selama ini Muhammadiyah belum mendasarkan program dan strategi kegiatan sosialnya atas dasar elaboratif. Akibatnya adalah bahwa Muhammadiyah tidak pernah siap merespon tantangan-tantangan perubahan sosial yang empiris yangterjadi di masyarakat atas dasar konsep, teori dan strategi yang jelas. Selama ini umpamanya Muhammadiyah masih belum dapat menerjemahkan siapa yang secara sosial-objektif dapat dikelompokkan sebagai kaum duafa, masakin, fuqoro dan mustadh’afin. Pertanyaan tentang siapakah yang dimaksud dengan kelompok kelompok itu dalam konteks sosialnya yang objektif, belum pernah diaktualisasikan secara jelas

Proses industrialisasi bukan saja akan mengubah kawasan agraris menjadi kawasan industri, tapi pada waktu yang sama akan menciptakan sosok manusia “liar” kompetitif yang jarang punya kesempatan untuk tersenyum. Ini jika kita melihat fenomena sosial di beberapa negara Industri :barat dan Jepang. Kita belum dapat memperkirakan secar apasti tentang bagaimana situasinya sekarang sebuah negeri Muslim menjadi negeri Industri. Jika keadaaanya tidak berbeda negeri negeri industri diatas, maka sejak dini kita katakan bahwa Islam pada waktu itu sudah tergusur mejadi kekuatan marginal yang tidak bermakna. Muhammadiyah sampai hari ini belum siap secar amantap dengan strategi budaya untuk menghadapi serba kemungkinan itu. Kendalanya adalah sumberdaya manusia yang ada sedikit sekali punya peluang untuk merenung dan merumuskan strategi itu. Komitmen Islam mereka tidak diragukan lagi. Yang sulit adalah menari peluang yang cukup untuk berfikir serius dan mendalam mengenai maslah Islam dan ummatnya. Sebagian besar kita berada dalam pasungan kesibukan yang non-kontemplatif itu .Saya pribadi tidak tahu bagaimana caranya keluar dari himpitan kesibukan yang amat melelahkan ini.

Apakah Muhammadiyah pernah keluar dari kultur kampung sepanjang sejarahnya ? menurut Kuntowijoyo, jawabannya adalah negatif. Dia menulis :

Secara Historis Muhammadiyah sesugguhnya terbentuk dari kultur kampung. Kalau dulu saya pernah mengatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah mempunyai hubungan erat dengan lingkungan sosio ekonomi dan kultural masyarakat kiota., pernyataan ini benar dalam hal perbedaanya dengan latar belakang NU yang berbasis pada kultur agraris –desa. Tapi pernyataan itu harus direvisi, karena ternyata pada awal abad ke -20, saat ketika Muhammadiyah didirkian di Yogyakarta, kehidupan kota sesungguhnya lebih dikuasai oleh kaum priyayi, komunitas Belanda, dan komunitas Cina. Di Malioboro ada tempat peribadatan Cina, juga tempat peribadatan Free Mansory dari ‘Societeit’ Belanda, tapi tidak ada Masjid. Masjid Besar yang ada di keraton, sementara itu cenderung berada di bawah pengawasan kultural kejawen. Kita melihat bahwa Islam ketika itu merupakan fenomena pinggiran, berada di kampung-kampung

Dengan demikian sebenarnya basis sosial Muhammadiyah dan NU tidak banyak berbeda yaitu sam sama basis sosial wong cilik. Keadaan ini secara substansial menurut pengamatan saya belum banyak mengalami perubahan, bukan saja di Yogyakarta dan di Jombang, tempat kelahiran kedua gerakan Islam yang dipandang mewakili arus besar Islam di Indeonesia, tapi juga di seluruh nusantara. Kita masih belum beranjak jauh dari kawasan wong cilik. Bagaimana keadaannya 25 tahun mendatang, saya tidak tahu.

Penutup
Kalau strategi dakwah Muhammadiyah bertujuan hendak menggarami kehidupan budaya bangsa dengan nilai nilai Islam yang handal dan berkualitas tinggi, maka saatnya sudah teramat tinggi bagi kita sekarang untuk melakukan kaji ulang terhadap keberadaan, kiprah dan car apandang dubi dari gerakan yang didirikan oleh KHA Dahlan ini. Posisi sebagai wong cilik tidak pernah efektif menentukan nasibmasa depang suatu bangsa. Bagaimana mengubah posisi demikian itu agar menjadi posisi yang berwibawa dalam sejarah merupakan kerja dakwah dalam makna yang benar dan komprehensif.