Senin, 28 Juli 2008

Membebaskan Pikiran Bukan Membebaskan Kelakuan


Oleh arifnur 

Ada perdebatan dalam khasanah pemikiran Islam. Seakan sejarah terus berulang, perdebatan antara fihak-fihak yang mengaku liberal dengan yang mengklaim sebagai penjaga syari’at, fihak-fihak yang mengaku modern dengan orang-orang yang menjaga tradisi dan sebagainya.

Namun apa sebenarnya yang terjadi. Benarkah pergulatan pemikiran itu murni sebagai sebuah pergulatan pemikiran semata ? Tidak ! Dalam realita sejarah pergulatan pemikiran itu sering disertai oleh banyak hal yang kemudian menimbulkan konflik. Sebut saja ketika sekelompok orang menyebut saudaranya sesama muslim sebagai kaum jumud, terbelakang atau ‘ndeso. Tentu saja yang disebut akan menjadi marah, paling tidak tersinggung. Jadi kalau yang terjadi seperti itu siapa yang salah ? Bisa jadi pemikiran kaum yang mengaku modern tersebut memang benar, tetapi ketika menyampaikan kepada saudaranya dengan cara yang ‘kasar’ seperti tersebut di atas bisa-bisa pesan yang ingin disampaikan tidak tersampai.

Konflik di atas ternyata bukan konflik pemikiran semata, tetapi konflik akhlaq. Ada kekurangtepatan memandang saudaranya, bila memang ada gap dalam pendidikan tentu saja tidak mungkin kita menggunakan bahasa lugas seperti kehidupan di kampus.

Ketika ada konflik antara mu’tazilah, sunni dan syi’ah ternyata banyak dibumbui masalah politik. Akhirnya terjadi saling bantai dan saling mengkafirkan yang berimbas pada perebutan kekuasaan. Memang, penyakit manusia sepanjang zaman itu sama. Gengsi, berebut Kekuasaan dan Harta ternyata sering menumpang pada perdebatan pemikiran.

Ketegasan membela kebenaran adalah sebuah keharusan. Namun bila ada seseorang yang memiliki perbedaan pemahaman tentang kebenaran tersebut haruskan kita hina, kita kafirkan, atau kita telikung melalui konflik politk bahkan kekerasan ? Sejarah membuktikan, model di atas tidak ada dalam kamus Rasulullah SAW. Nabi Muhammad berperang dengan orang kafir ketika orang kafir tersebut memulai permusuhan. Nabi Muhammad mengusir kaum Yahudi di Madinah setelah mereka berkhianat. Bahkan kepada kaum kafir seperti di Tha’if pun Beliau tidak meminta azab, namun meminta agar mereka di sadarkan.

Model perdebatan memang harus hati-hati. Perdebatan di depan khalayak di negeri seperti di Indonesia tentunya berbeda dengan model perdebatan di Damaskus model Ibnu Taimiyah. Di Indonesia, tidak perlu memilih kata-kata lugas dan cukup dengan sindiran-sindiran tajam untuk menyampaikan pesan. Para pendakwah tidak perlu mengatakan kepada pengikutnya dengan memilih kata “ Si A itu Sesat, jangan baca bukunya “ Cukup katakan “Si A itu menurut saya salah, bila mau membaca bukunya hati-hati”. Karena pada prinsipnya membaca buku apapun, termasuk buku sang pendakwah tadi, seseorang harus hati-hati (baca: kritis).

Mungkin masyarakat kita perlu didik tentang hakekat ilmu dan pemikiran manusia. Pada hakekatnya setiap yang ada di otak manusia, itu adalah hasil olah fikir manusia. Yang mutlak benar adalah Kalam Allah baik dalam bentuk Alam dan tatanan sosial maupun Teks dalam Al Qur’an. Selanjutnya semuanya adalah tafsir. Sunnah Rasulullah SAW oleh Al Qur’an memang menjadi sumber hukum juga. Namun hadist-hadist yang dikumpulkan oleh para ilmuan hadist tetaplah merupakan produk ilmiah yang cara pengumpulan serta pengklasifikasiannya menggunakan pendekatan ilmiah.

Metode ilmiah memang akan menjadi penengah yang cukup obyektif bila kita sedang berada dalam arena perbedaan pendapat. Setiap orang berhak (bahkan wajib) mendakwahkan apa yang dia yakini benar. Namun tidak perlu melakukan pemaksaan-pemaksaan, karena kewajiban kita tentang kebenaran adalah menyampaikan dengan baik, mendialogkan dengan santun dan mencontohkan aplikasinya dengan baik.

Seharusnya Kerahmatan Menjadi Ukuran Ke- Islaman Gerakan


Arif Nur Kholis  

 

Yogyakarta- Dr. Hamim Ilyas dari Majelis Tarjih PP Muhammadiyah menyatakan bahwa saat ini perlu dikembangkan pemahaman bahwa seharusnya tingkat kerahmatan dan kemanfaatan sebuah gerakan atau organisasi Islam yang menjadi ukuran ke-Islaman gerakan Islam tersebut, karena menurutnya, adalah sebuah keanehan bila khalayak mengganggap derajat kesalehan seorang pengebom yang membunuh banyak orang sama dengan dengan mereka yang bekerja untuk kemanfaatan masyarakat. Menurut Hamim yang juga pengajar UIN Sunan Kalijaga dalam Seminar Nasional Pemeranan Majelis Taklim/ Pengajian dalam Menanamkan nilai-nilai multikulturalisme 12 Juli 2008 di gedung Muhammadiyah Cik ditiro tersebut, sayangnya hingga saat ini tidak banyak yang mengeksplorasi konsep wamaa arsalnaka illa rahmatan lil alamin sebagai parameter ke-Islaman sebuah gerakan. Menurut Hamim, dengan menjadi menjadi rahmat sebesar besarnya kepada alam, berarti Islam mengakui nilai-nilia Multikultural dalam ajarannya.

Hamim lebih lanjut menyatakan dalam Seminar yang diselenggarakan PP Aisyiyah dan DEPAG RI tersebut, bahwa saat ini kesadaran multikultural tidak seharusnya berhenti pada pengakuan adanya perbedaan semata, namun sudah harus menjadi sebuah kesadaran yang saling memberdayakan diantara perbedaan tersebut. Menurutnya, Muhammadiyah dalam ranah praksis sudah memasuki kesadaran tersebut, terbukti dengan fenomena Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Indonesia Timur yang sebagian besar mahasiswanya dari kalangan non- Muslim. Artinya, Muhammadiyah tidak sekedar mengakui adanya perbedaan, namun juga memberi kesempatan kepada mereka yang non-Muslim untuk berkembang dalam hidupnya melalui pendidikan. Kemauan untuk memberi kesempatan mendapat pendidikan kepada orang non Muslim inilah yang bisa disebut sebagai wujud kerahmatan Muhammadiyah kepada mereka yang berbeda agama.

Hamim menyatakan bahwa pada masa kolonial, konsep Multikultural ini berhenti pada pengakuan adanya perbedaan semata. Setelah kemerdekaan Indonesia, kesadaran multikultural sudah berkembang hingga dimasa orde lama. Namun sayang, menurutnya setelah berdirinya orde baru, kesadaran multikultural ini berubah menjadi sekedar toleransi dimana berhenti pada sekedar mengakui dan menghormati perbedaan semata, sehingga kesadaran untuk saling memberdayakan sangat kurang.

Dalam kesempatan tersebut Hamim juga menyitir Ayat 148 Al Qur’an dari Surat Al Baqoroh yang telah menjadi trade merk Muhammadiyah yaitu fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Dari ayat tersebut menurut Hamim, kesadaran multikultural bukan merupakan sesuatu yang sama sekali baru bagi Muhammadiyah, karena di ayat tersebut dinyatakan bahwa masing-masing komunitas memiliki orientasi budaya yang dituju dan dalam meresponnya umat Islam diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. (arif).

Membaca ‘Manivesto’ Muhammadiyah Terhadap Globalisasi


Oleh arifnur 

Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang kemarin menghasilkan sebuah dokumen yang dikenal sebagai Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn (Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad). Dokumen tersebut tampaknya meneruskan tradisi Muhammadiyah yang menghasilkan manifesto demi manifesto di setiap periode sejarahnya. Manifesto-manifesto tersebut kemudian dikenal dengan nama resmi : Kepribadian Muhammadiyah (Keputusan Muktamar ke 35,1956), Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo), Khittah Perjuangan Muhammadiyah ( Muktamar ke-40 Surabaya, 197 dan Khitah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Tanwir Bali 2002 ).

Selain dokumen-dokumen diatas, ada juga dokumen-dokumen formal sejarah Muhammadiyah yang layak disebut sebagai manifesto Muhammadiyah seperti Langkah 12 yang dicetuskan oleh KH Mas Mansyur di masa Pra Kemerdekaan juga Muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang digagas Ki Bagus Hadikusumo di awal Kemerdekaan Indonesia, disamping ada sebuah ‘manifesto praksis’ hasil Muktamar ke 44 tahun 2000 di Jakarta yang dikenal dengan sebutan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.

Tradisi ini memang bukan tradisi yang dimulai oleh KH Ahmad Dahlan, dimana dimasa KH Ahmad Dahlan hidup tidak ada satupun bentuk teks yang kemudian diakui sebagai dokumen organisasi layaknya sebuah manifesto. Mungkin sosok KH A.Dahlan-lah yang dianggap sebagai ‘manifesto hidup’ dimana di awal perintisan Muhammadiyah itu. Dengan keluarnya bentuk manifesto-manifesto yang keseluruhannya merupakan produk pasca KH Dahlan ini, bisa diartikan sebagian missi KH Ahmad Dahlan telah berhasil ruh tajdid (pembaharuan) di dalam Muhammadiyah secara kelembagaan masih terus bergelora.

Namun yang kemudian perlu di kritisi adalah seberapa besar pengaruh dokumen-dokumen sejarah Muhammadiyah ini dalam perjalanan persyarikatan Muhammadiyah ke depan ? Efektifkah manivesto terbaru berjuluk Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn ini dalam perjalanan Muhammadiyah kedepan ?

Nilai Strategis Zhawãhir al-Afkãr

Keluarnya Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn ( kemudian disebut sebagai Zhawãhir al-Afkãr saja) tampaknya bukanlah semata-mata layaknya pidato peringatan ulang tahun Muhammadiyah yang sudah berusia hampir satu abad ini. Zhawãhir al-Afkãr ini keluar dalam waktu yang strategis di tengah krisis peradaban Modern ummat manusia. Muhammadiyah mungkin merujuk prediksi para penafsir arah peradaban yang sepakat bahwa saat ini adalah detik-detik akhir dari peradaban modern dan merupakan awal dari munculnya konstruksi peradaban baru, walaupun kemudian para penafisr arah peradaban itu memiliki perbedaan membaca kecenderungan jaman dengan rumusan-rumusan yang beragam. Dimana perbedaan-perbedaan itu memunculkan beberapa varian seperti konsep Post Modern Derida dan kawan-kawan, The End of History nya Fukuyama, Toynbee dalam The Study of History, Turning Point-nya Fritjof Capra, atau Peradaban Gelombang Ketiganya Alvin Tofler. 

Bila dilihat dari teks Zhawãhir al-Afkãr tampak ada perbedaan mendasar dibandingkan dengan isi manifesto-manifesto sebelumnya, dimana selain merupakan sebuah manivesto terpanjang sepanjang sejarah, Zhawãhir al-Afkã ini juga merupakan sebuah manivesto yang menganut pola fikir baru, walaupun tetap berpijak dalam tradisi ar-ruju’ ila al –Qur’an wa as-Sunnah dan tajdid. Di dalam dokumen Zhawãhir al-Afkãr inilah pertama kali di cantumkan secara jelas tafsir bentuk Masyarakat Islam yang Sebenar-Benarnya sebagai tujuan Muhammadiyah dalam 5 pokok pikiran. Dan Zhawãhir al-Afkãr tidak sekedar menganut bentuk penegasan ulang identitas persyarikatan yang lebih bersifat nasional seperti manifesto-manifesto sebelumnya, namun juga merupakan sebuah bentuk rumusan visi kedepan Persyarikatan Muhammadiyah dalam menyambut zaman baru yang ditandai dengan Globalisasi. 

Mungkin Muhammadiyah dengan Zhawãhir al-Afkãr ini ingin menghadirkan kembali ‘sosok’ KH A Dahlan yang ijtihadnya telah terbukti mampu mengatasi peliknya relasi Islam dengan modernisme selama kurun waktu hampir satu abad ini. Pendek kata, Zhawãhir al-Afkãr ini mencoba mentajdid kembali bentuk Muhammadiyahnya KHA Dahlan seabad yang lalu dalam sebuah konstruksi relasi Islam dengan tata peradaban baru pasca runtuhnya modernisme. Atau bahkan dengan Zhawãhir al-Afkãr ini Muhammadiyah ingin menghadirkan kembali spirit Piagam Madinah yang telah berhasil ‘melampaui jamannya’ di tengah peradaban baru yang akan datang . 

Peta Globalisasi Versi Muhammadiyah

Bentuk kesadaran baru tersebut terlihat pada dimasukannya masalah globalisasi dan tata kehidupan dunia di dalam rumusan Zhawãhir al-Afkãr. Di dalam point demi point di dalam Zhawãhir al-Afkãr ini, secara gamblang tergambar peta kondisi masa depan versi Muhammadiyah, tanggung jawab Muhammadiyah sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan Kemanusiaan, serta agenda antisipatif Muhammadiyah kedepan dalam rangka menyongsong era baru tersebut. 

Khususnya pada pernyataan kedua point Pandangan Muhammadiyah tentang Kehidupan, Muhammadiyah telah menyadari dan memetakan sebuah era baru yang tak mungkin ditolak lagi yang kemudian disebut sebagai era Globalisasi. Era yang memang belum pernah secara nyata dirasakan oleh pendahulu-pendahulu ummat manusia ini disadari Muhammadiyah sebagai pisau bermata dua, dimana bisa bernilai positif dan juga tidak menutup kemungkinan bernilai negatif. 

Seperti dibahas oleh para penafsir arah peradaban, di era Globalisasi ini ummat manusia akan dihadapkan dengan setting global yang menjadikan mereka terkumpul dalam sebuah ‘global village’. Dimana dengan daya dukung revolusi teknologi informasi yang benar-benar memiliki akselerasi yang belum pernah dialami ummat manusia sebelumnya, sekat-sekat geografis dan politis akan tidak banyak berarti lagi, faktor produksi yang utama adalah modal intelektual dan manajemen informasi yang kemudian memungkinkan meningkatnya intensitas kehidupan yang berpijak pada kemerdekaan individu dan persaingan bebas dalam berbagai bidang. Apalagi ketika era pasar bebas yang menjadi puncak dari ‘hantu’ Globalisasi itu sudah berlaku efektif di seluruh dunia. 

Meminjam cerita sejarah permusuhan Ibrahim a.s dengan para pemuja berhala, di dalam rumusan Zhawãhir al-Afkãr tersebut Muhammadiyah mencoba mengidentifikasi ‘berhala-berhala’ baru di era Globalisasi. Berhala pertama berupa egoisme (ta’bid al-nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al-mawãd), penghambaan terhadap nafsu seksual (ta’bid al-syahawãt), dan penghambaan terhadap kekuasaan (ta’bid al-siyasiyyah) yang sebenarnya merupakan musuh risalah tauhid sepanjang sejarah ummat manusia. Berhala lainnya adalah timbulnya ekstrimisme baru berupa lahirnya fanatisma primordial agama, etnik, dan kedaerahan yang bersifat lokal sehingga membangun sekat-sekat baru dalam kehidupan. Dan berhala yang lain adalah lahirnya ketidak-adilan global yang baru akibat pesatnya pengaruh Neo-liberalisme yang semakin mengokohkan dominasi Kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan berjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah (dhu’afã) dan tertindas (mustadh’afin).

Namun kemudian Muhammadiyah juga memetakan nilai positif zaman Globalisasi ini dalam rumusan : 

Globalisasi dan alam kehidupan modern yang serba maju saat ini juga dapat dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan Islam seperti Muhammadiyah untuk memperluas solidaritas umat manusia sejagad baik sesama umat Islam (ukhuwah islamiyyah) maupun dengan kelompok lain (‘alãqah insãniyyah), yang lebih manusiawi dan berkeadaban tinggi

Dari pernyataan terakhir diatas tampak bahwa Muhammadiyah ingin menumbuhkan optimisme dalam menghadapi zaman baru yang akan datang. Namun sayang, ternyata Muhammadiyah hanya bisa melihat nilai positif Globalisasi baru sebatas rumusan di atas, sehingga terkesan Muhammadiyah masih belum bisa menangkap sisi positif lain seperti layaknya KHA Dahlan melihat berbagai sisi positif Modernisme di tengah kejamnya modernisme. Sepertinya perlu di kemudian hari untuk lebih jeli memetakan peluang-peluang positif yang lain yang sebenaranya bisa lebih banyak dipetakan, bila tidak spirit baru yang terkandung didalam Zhawãhir al-Afkãr ini masih kalah futuristis dibanding visi futuristis KHA Dahlan hampir se-abad yang lalu . 

Karena seperti layaknya kelahiran peradaban modern di akhir abad-17, rumus peradaban berlaku: siapa yang menyadari dan berhasil mendefinisikan diri kususnya posisi politik dan ekonomi secara tepat dan cepat, memenangkan tafsir atas konstruksi budaya baru serta mampu menginjeksi nilai-nilai fundamental yang diyakini di dalam paradigma universal, dan menguasai perangkat-perangkat peradaban baru sampai tingkatan expert dialah yang mampu bersaing di dalam peradaban baru itu. Dalam rumusan teologi positif, persaingan Global di era Globalisai harus dimaknai juga sebagai wujud fastabiqul khairat antar seluruh penduduk dunia dalam arti sebenar-benarnya. Karena sebenarnya yang mengerikan bukan Globaisasi itu sendiri, namun bagaimana kita bisa melewati proses transisi ke memasuki Globalisasi. Karena seperti ketakuatan para penentang Globalisasi, bila kalah maka siaplah menjadi budak-budak baru di era Globalisasi, inilah yang disebut sebagai neo-imperialisme. Walaupun bila berhasil melewati transisi dengan sukses tidak berarti akan menjadi penguasa tunggal Globalisasi itu sendiri, namun akan terus bersaing dengan para pemain lain yang berhasil melewati masa transisi ini. 

Globalisasi dan Realitas Ummat Islam Saat Ini

Seperti kebanyakan ummat Islam di dunia dan juga di Indonesia, kesadaran akan datangnya jaman baru yang di kenal dengan Globalisasi ini masih sangat kurang. Hal ini terjadi karena adanya lemahnya pengetahuan dan akselerasi pemikiran mayoritas ummat Islam, minimnya kompetensi dan keterbatasan akses ummat terhadap perangkat-perangkat Globalisasi, Serta masih banyaknya ummat Islam yang masih hidup dalam alam ‘manusia kalah’ yang tidak berhasil melewati transisi dari zaman pra modern ke jaman modern. Sehingga Globalisasi difahami hanya sebatas ‘hantu’ di siang hari yang sulit mereka fahami bentuknya karena selalu datang dalam wujud abstrak seperti di dalam khutbah para khatib muda, dan tulisan-tulisan kolom para ahli di surat kabar. Tidak heran bila muncul plesetan dari para mubaligh ummat yang frustasi dengan munculnya kosa kata ‘Gombalisasi’.

Hal yang sangat strategis adalah Muhammadiyah perlu sekali mencoba menerjemahkan gejala baru ini dalam bahasa ‘ummatnya’, tentunya tetap dalam paradigma Islam yang selalu posistif memandang perubahan. Sehingga proses pembangunan kearifan global ‘ummatnya’ itu dengan tetap bersandar pada etika Islam bisa dilakukan. Upaya strategis yang lain adalah mendorong meningkatnya upgradding kompetensi warga dan obyek dakwahnya serta pengenalan kepada warga dan obyek dakwahnya tentang perangkat-perangkat jaman baru yang lebih mengedepankan modal intelektual dan penggunaan teknologi informasi. Dengan demikian pembacaan peluang yang terumuskan dalam pernyataan tentang sisi positif Globalisasi di atas bisa menjadi kenyataan atau bahkan lebih dari sekedar itu.

Mungkin bila semua hal diatas bisa berjalan efektif, tidak mustahil pengulangan sejarah sukses perkenalan Islam dengan peradaban Yunani, Persia, India, Cina yang kemudian menjadi fondasi bentuk peradaban ‘Orang Islam’ di abad pertengahan yang lalu bisa terjadi lagi. Tentunya dengan tafsir baru yang berlaku di era Globalisasi yang menjadikan seluruh bumi, hingga ‘pojokan-pojokan’-nya, sebagai surganya seluruh ummat manusia.

Globalisasi dan Kesadaran Peradaban Ummat Islam

Merujuk dari pemetaan fase peradaban Alvin Tofler dengan tiga fase peradaban : Peradaban Agraris, Peradaban Industri dan Peradaban Informasi, dalam kenyataannya sebagian besar ummat Islam, termasuk yang berada di Indonesia baru saja memasuki peradaban Industri, bahkan masih banyak yang masih hidup dalam alam kesadaran agraris. Dengan demikian, akan menjadi persoalan besar bagi Muhammadiyah dalam melakukan advokasi terhadap peluang Indonesia yang disinyalir di dalam Zhawãhir al-Afkãr akan menjadi lahan paling subur dan tempat pembuangan limbah yang sangat mudah dari globalisasi dan pasar bebas yang berwatak neo-liberal. 

Dengan keinginan Muhammadiyah untuk terus aktif memainkan peran kerisalahannya agar umat manusia sedunia tidak terseret pada kehancuran oleh keganasan globalisasi dan neo-liberal, sepertinya membutuhkan kerja yang super keras. Pekerjaan super keras itu bahkan bisa terjadi ketika menghadapi anggotanya sendiri yang sebagian besar adalah pribadi-pribadi yang mapan dan nyaman dengan bentuk peradaban industri ‘cerobong asap’ dalam status buruh baik ‘buruh negara’ (PNS), maupun buruh industri. Belum lagi persoalan ketika menghadapi sebagian warga dan obyek dakwahnya yang dimungkinkan masih banyak yang berpola fikir agraris dan juga feodal.

Menurut Alvin dan Heidy Tofler, bentuk The Clash of Civilitation itu sejatinya bisa terjadi bukan dalam bentuk peperangan antara barat dan Islam (serta Cina) seperti gambaran Hutington, namun dalam bentuk peperangan antara generasi berkesadaran baru melawan generasi dengan kesadaran lama. Pertentangan itu terjadi karena sifat dasar manusia yang merasa terancam ketika ada arus baru timbul, sehingga sentimen-sentimen gengsi dan sombong akan mengubur kebijaksanaan dan kearifan di dalam dialog antar dua kesadaran tersebut. 

Bila potensi konflik ini tidak bisa dikelola dengan baik, bisa-bisa didalam tubuh Muhammadiyah sendiri akan terjadi pertarungan sengit antara dua wakil kesadaran peradaban di atas. Dimana generasi baru yang memiliki kesadaran global, bergerak lintas bangsa dan negara, memiliki relasi multikultural dan memiliki definisi kecepatan waktu dan kedetailan analisis yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya akan menghadapi perlawanan sengit, karena ‘tidak nyambung’, dengan generasi lama yang memang tidak pernah merasakan bentuk kehidupan baru tersebut dalam kenyataan hidupnya. Ini karena generasi baru ini memiliki akses terhadap artefak peradaban baru seperti referensi yang jauh lebih variatif (bahkan bisa dikatakan tidak terbatas), komputer dengan aplikasi yang semakin memanjakan penggunanya, internet dengan kecepatan tinggi, TV satelit, hingga teknologi pemetaan DNA serta berbagai perangkat yang membutuhkan keahlian spesifik lainnya dalam kapasitas expert. Sekali lagi bukan karena perbedaan aqidah atau keyakinan, namun hanya perbedaan pengalaman akan zaman yang ternyata sangat mempengaruhi perbedaan akan presepsi terhadap kenyataan baru. Para futurolog sering mengibaratkan sulitnya menjelaskan era baru ini kepada generasi berkesadaran lama seperti sulitnya menjelaskan wujud seekor gajah kepada lima orang buta yang memegang lima macam organ tubuh gadjah.

Namun yang lebih berbahaya lagi bila ternyata pertentangan tersebut terjadi karena adanya fihak-fihak yang merasa terancam kekuasaan politik ekonominya akibat timbulnya arus baru. Mungkin kita bisa merujuk gambaran melalui penjelasan di Al Qur’an mengapa Fir’aun menolak risalah Musa, atau bangsawan Makkah menolak risalah Muhammad SAW, bukan karena mereka menolak kebenaran itu sendiri, selain karena kesombongannya juga karena mereka merasa terusik ‘zona nyamannya’ yang sebelumnya sudah mereka anggap sebagai sebuah puncak kenyamanan. Dialog antar dua kesadaran tidak terjadi, karena salah satu fihak terus menerus membuat ‘noise’ dalam proses dialog dalam bentuk kekerasan fisik, pemboikotan akses politik dan ekonomi, intimidasi, kecurigaan berlebih dan bahkan teror yang kesemuanya itu menandakan adanya sifat paranoid dan inferiority complex yang akut. Jangankan saling nasehat-menasehati dalam kebenaran, kesabaran saja sudah menjadi harga yang sangat mahal di dalam dialog ini. 

Nasib Minoritas Kreatif Sebagai Kader Penerus di Era Baru

Kesadaran secara normatif akan Globalisasi mungkin memang sudah didapatkan oleh Muhammadiyah, walaupun masih terbatas di tingkatan elitnya. Namun yang kemudian perlu menjadi perhatian lebih adalah bagaimana menyiapkan kader-kader penerus yang mampu mengaplikasikan kesadaran baru itu dalam perjalanan selanjutnya, taruhlah seratus tahun ke depan dahulu. Hal ini harus menjadi perhatian karena saat ini tampaknya ada masalah yang cukup memprihatinkan di dalam hubungan antara generasi tua yang sebagian mungkin telah menyadari perubahan kondisi jaman ini dengan kader-kader mudanya yang mencoba berfikir dan membangun batu-bata peradaban selanjutnya dalam prespektif Muhammadiyah. Tentu saja ini terlepas dari kesalahan beberapa anak muda yang memang kurang santun dalam menyampaikan ide-ide pembaharuannya yang seharusnya dimaknai sebagai proses anak muda yang kadang juga ada yang masih ‘Shock’ dengan kenyataan baru yang tidak disadari generasi sebelumnya .

Seharusnya bila Muhammadiyah ingin tetap memiliki peran lebih dan tidak akan ikut hancur bersama hancurnya modernisme, Muhammadiyah harus menyadari pula tentang bagaimana memelihara monoritas kreatif (mujadid, pembaharu) yang menyiapkan diri untuk memasuki zaman baru nanti. Ini mencoba merujuk konsep Toynbee tentang kelahiran minoritas kreatif di tengah transisi peradaban. 

Budaya runtuh karena kehilangan Fleksibilitas. Pada waktu struktur sosial dan pola perilaku telah menjadi kaku sedangkan masyarakat tidak lagi mampu menyesuaikan diri dengan situasi yang berubah, peradaban itu tidak akan mampu melanjutkan proses kreatif evolusi budayanya. Dia akan hancur dan secara berangsur mengalami disintegrasi.

Sementara peradaban-peradaban yang sedang berkembang menunjukan keberagaman dan kepandaian yang tak pernah berhenti, peradaban-peradaban yang berada dalam proses disintegrasi menunjukkan keseragaman dan kurangnya daya temu. Hilangnya flesibilitas dalam masyarakat yang mengalami disintegrasi ini disertai dengan hilangnya harmoni secara umum pada elemen-elemennya, yang mau tak mau mengarah pada meletusnya perpecahan dan kekacauan sosial.

Namun demikian, selama proses disintegrasi yang menyakitkan itu, kreativitas masyarakat -kemampuannya untuk menghadapi tantangan – tidak hilang sama sekali. Meskipun arus budaya telah menjadi beku dengan melekatkan diri pada pemikiran-pemikiran mapan dan pola-pola perilaku yang kaku, minoritas kreatif akan tetap muncul ke permukaan dan melanjutkan proses tantangan dan tanggapan itu. Lembaga–lembaga sosial yang dominan akan menolak menyerahkan peran-peran utama kepada kekuatan-kekuatan budaya baru ini, tetapi mereka mau tak mau akan tetap runtuh dan mengalami disintegrasi, dan kelompok minoritas kreatif itu mungkin akan mampu mentransformasikan beberapa elemen lama menjadi konfigurasi baru. Proses evolusi budaya ini akan terus berlanjut, tetapi berada dalam kondisi-kondisi baru dan dengan tokoh-tokoh baru pula. (dari Titik Balik Perdaban, Fritjof Capra, 1981). 

Adalah sebuah prestasi yang membanggakan bila Muhammadiyah ternyata bisa survive bahkan berperan aktif dalam bentuk peradaban baru yangakan datang. Bahkan bila ini terjadi, Muhammadiyah akan membuktikan lebih cerdas dibanding bentuk masyarakat Islam pasca abad pertengahan yang terbukti tidak berhasil mempertahankan diri ketika arus peradaban dunia berubah karena ternyata tidak bisa melahirkan minoritas kreatif yang mampu survive dan bersaing dengan minoritas kreatif dari komunitas lain, dalam hal ini barat. 

Mungkin saja sebagian kalangan di Muhammadiyah masih hidup didalam alam mitos tentang kelahiran para Mujadid ini layaknya keyakinan tentang datangnya Ratu Adil atau Satria Piningit di dalam kepercayaan jawa tradisional-agraris-pra modern, sehingga hingga saat ini masih banyak kalangan di Muhammadiyah yang tidak memiliki perhatian mendalam tentang proses perkaderan para mujadid tadi. ‘Pembaharu yang dijanjikan’ yang akan menjadi nahkoda Muhammadiyah di kemudian hari itu hanya di tunggu, bukan diusahakan. Hal ini terbukti dengan rendahnya kualitas perkaderan hasil dari Angkatan Muda Muhamadiyah, terutama yang mampu mengantisipasi perubahan zaman. Yaitu lahirnya kader-kader yang memiliki kesadaran akan jaman baru, mampu berperan dalam proses evolusi kreatif untuk mengkonstruksi kebudayaan baru, memiliki kompetensi yang memungkinkan mengakses artefak-artefak zaman baru, dan sekaligus bisa memaknainya dan menginjeksi nilai-nilai yang diyakininya, disamping kompetensi normatif seperti kedalaman pengetahuan tentang Islam dalam arti luas dan sempit. 

Yang sangat tidak kita harapkan adalah bila banyak ‘Kalangan Mapan’ di Muhammadiyah, sadar atau tidak, sedang berada dalam posisi yang digambarkan Toynbee sebagai bagian dari “Lembaga–lembaga sosial yang dominan akan menolak menyerahkan peran-peran utama kepada kekuatan-kekuatan budaya baru ini..” karena bila benar begitu akan berlaku asumsi Toynbee selanjutnya “…mereka mau tak mau akan tetap runtuh dan mengalami disintegrasi, dan kelompok minoritas kreatif itu mungkin akan mampu mentransformasikan beberapa elemen lama menjadi konfigurasi baru..” Akan sangat menyedihkan bukan bila kelompok minoritas kreatif di dalam rumusan Toynbee di atas adalah berasal dari golongan lain di luar Muhammadiyah. Pendek kata bila asumsi Toynbee di atas benar, Muhammadiyah berarti cepat atau lambat juga akan mengalami keruntuhan dan mengalami disintegrasi. 

Gambaran kemungkinan ‘keruntuhan’ Muhammadiyah di atas, walaupun tidak bisa diartikan sebagai keruntuhan Islam walaupun berarti keruntuhan sebuah aset ummat Islam yang besar , secara logis akan sangat mungkin terhindar bila Muhammadiyah konsisten dengan kalimat terakhir dari point ketiga komitment Muhamamdiyah di dalam naskah Zhawãhir al-Afkãr yang berbunyi “Karena itu Muhammadiyah akan melaksanakan tajdid (pembaruan) dalam gerakannya sehingga di era kehidupan modern abad ke-21 yang kompleks ini, sesuai dengan Keyakinan dan Kepribadiannya, dapat tampil sebagai pilar kekuatan gerakan pencerahan peradaban di berbagai lingkungan kehidupan ” . Tentu saja wujud konsistensi itu ketika Muhammadiyah mampu menerjemahkannya dalam gerakan riilnya, khususnya dalam memformat kelahiran mujadid-mujadid yang akan hidup di jaman baru nanti.

Sayang bila lahirnya dokumen sejarah yang (seharusnya) fenomenal ini harus tenggelam oleh hiruk pikuk pemilihan Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan kontroversi pertarungan kekanak-kanakan para pemikir golongan ‘tua’ dan ‘muda’ Muhammmadiyah di Muktamar lalu. Dengan lahirnya Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn, saat ini warga Muhammadiyah sudah seharusnya berbangga bahwa mereka sudah memiliki pijakan normatif untuk menyongsong era baru yang akan datang sehingga salah satu tafsir bentuk masyarakat utama yang tercantum di dalam naskah Zhawãhir al-Afkãr berupa masyarakat yang : bercorak ”madaniyah” , senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya (dalam keunggulan) kemampuan penguasaan atas nilai-nilai dasar dan kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban umat manusia, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif berperilaku (hukum), dan nilai-nilai kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas” bisa terealisasikan. 

Insya Allah Muhammadiyah akan mampu meneladani konsep berfikir para generasi shalaf yang percaya diri karena ke-Islaman, ke-imanan, dan ke-ihsanannya menghadapi segala bentuk perubahan dan segala macam peradaban dengan fikiran sikap positifi. Terbukti mereka mampu menjinakkan produk-produk peradaban lain darui Cina, India, Persia, Yunani, Mesir dan mampu menjadikannya sebagai fondasi bentuk peradaban baru. Kita yang hidup di ujung peradaban lama dan di awal peradaban baru ini memang berada dalam kondisi krisis dan bahkan menjadi mengerikan. Namun ada baiknya kita belajar dari konsep ‘krisis’ dalam kearifan Cina yang menggunakan kata weiji yang terdiri dari huruf-huruf yang berarti “ bahaya” dan “kesempatan” yang bisa diartikan bahwa krisis muncul karena adanya proses transformasi. Hal ini selaras dengan konsep ‘sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan’ di dalam Al Qur’an. Tantangan kongkritnya, mampukah kita menjinakkan Globalisasi ? Karena bila tidak maka kemungkinan kita akan terjebak dalam frustasi berat dengan menghadapai Globalisasi dengan pikiran negatif seperti yang dialami saudara-saudara kita yang terpaksa memilih jalan teror untuk menghadapi perubahan. Tentunya ini bertentangan dengan substansi missi Islam yang ingin berkonstribusi dalam bangunan peradaban ( rahmatan lil alamin) yang tidak mungkin dibangun dengan teologi negatif seperti teror.

Mampukah kemudian PP Muhammadiyah dan jajaran pimpinannya hingga ranting bisa menerjemahkan idealisme Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn secara efektif menjadi pemahaman warga, dan obyek dakwahnya terutama dalam program-program praksis ? Ujian selama hampir seratus tahun ini akan membuktikan bagaimana Muhammadiyah membuktikan bahwa mereka sudah lebih daripada dewasa. Wallahu ‘Alam Bissawab.

Ditulis di Yogyakarta, Februari 2006

Generasi Dahlan Tidak Perlu Alergi Pemikiran Liberal


*Astar Hadi, S.Sos.

Muktamar Muhammadiyah sebentar lagi akan melahirkan seorang pimpinan baru untuk periode 2005-2009. Kebanyakan isu-isu yang berkembang dalam Muktamar 45 Muhammadiyah yang digelar di Malang kali ini. Seperti diungkapkan Mutohharun Jinan dalam artikel berjudul Pimpinan Muhammadiyah, Ulama atau Intelektual? (Kompas, 4 Juli 2005), pesan yang banyak berkembang sebatas mencuatnya kembali fenomena pemunculan kembali figur ulama yang dalam satu dasa warsa terakhir cukup “terpinggirkan” dengan gaung kepemimpinan dari kalangan intelektual.
Benar tidaknya fenomena ini, sejumlah kalangan bisa saja menilai asumsi yang disodorkan Mutohharun itu tidak cukup relevan jika menilik pada dua sosok kandidat terkuat pimpinan Muhammadiyah yang justeru datang dari kaum intelektual, Malik Fadjar dan Dien Syamsuddin.
Apapun hasilnya, permasalahan atau substansi utama Muktamar kali ini tidak serta merta mengalihkan dirinya dari jargon Tajdid “kembali ke pelukan al-Qur’an dan al-Sunnah”, yang sejauh ini selalu menjadi seruan moralnya. Tentu saja jargon ini yang tidak boleh dilepas oleh para kandidat an sich.
Walaupun demikian, apa yang dikatakan Mutohharun itu menjadi semakin menarik ketika melontarkan penolakan warga/aktivis terhadap JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) dan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang dianggap penganut paham liberalisme. Lebih-lebih, dengan menjamurnya kembali faham “salafisme” baru di Muhammadiyah yang begitu getol malakukan aksi penolakan terhadap kehadiran pemimpin dari kalangan intelektual yang nobane dianggap penyebar virus ilmu-ilmu dari Barat yang bukan bersumber dari al_qur’an dan al-Sunnah
Bahwa sejak awal, seperti yang digaungkan sendiri oleh KH. Ahmad Dahlan –selanjutnya disebut Dahlan, Muhammadiyah secara terus-menerus mendobrak pola pikir yang jumud dari tokoh-tokoh Islam waktu itu dengan alam pikir yang serba modern dan rasional. Sehingga citra sebagai pengusung islam modern dan rasional inheren pada persyarikatan tersebut hingga kini.
Tidak salah, bila kemudian Muhammadiyah memiliki citra dan arti yang sangat penting dalam pergulatannya dengan Negara. Bisa dibayangkan, perubahan yang dialami masyarakat (baca: Islam) Indonesia dari transisi feodalistik menuju modernitas, tidak akan lahir “tanpa” peran besar pemikiran-pemikiran serba modern dari tokoh-tokoh Muhammadiyah sejak awal. Lantas bagaimana posisi tajdid dan ijtihad itu sesungguhnya bila dikaitkan dengan Muhammadiyah saat ini dan esok?
Pemikiran Liberal Itu Manusiawi
Pada hari Senin Sore (4 Juli), beberapa hari yang lalu, iseng-iseng saya jalan-jalan di seputar bazar muktamar yang berlokasi di Lapangan Sepak Bola Universitas Muhammadiyah Malang. Di sana saya kemudian memasuki sebuah stan bertuliskan Pojok Anti Liberal, yang menjual sebagian besar buku-buku yang bermuara pada ketidak berpihakan terhadap (pemikiran) Islam Liberal. Bisa jadi ini adalah sebuah sikap dan semangat penolakan terhadap urgensi pemikiran liberal yang kini mulai menjangkiti sebagian generasi muda Muhammadiyah, yang salah satunya ditopang oleh JIMM. Apakah ini lantas merupakan inti dari semangat tajdid pada muktamar Muhammadiyah ke 45 seperti yang ditulis Mutohharun? 
Babakan baru sejarah telah menunjukkan betapa Muhammadiyah telah mencapai puncak keemasannya saat ini. Sejumlah banyak –untuk tidak mengatakan keseluruhan— tokoh Nasional lahir dari rahim ormas bernama Muhammadiyah ini. Seorang Amien Rais menjadi contoh konkretnya.
Sebagian kalangan menilai sebuah transisi modernitas kembali ke Khittah berarti mengembalikan orientasi Muhammadiyah dari kemelut (pemikiran) liberalisme menuju setting Arab zaman Muhammad Abduh dan atau Jamaluddin Al-Afghani yang notabene “guru” bagi sang Pendiri. Dan dengan segala keistimewaan yang dimiliki oleh Abduh, Al-Afghani ataupun Dahlan sendiri, maka aspek indoktrinasi Islam yang melekat pada ketiganya menjadi klaim “kebenaran” yang niscaya jika Muhammadiyah dilihat pada tataran lokal dan kekinian.
Bukan dalam arti mempersempit nilai-nilai yang telah diusung Muhammadiyah di awal pendiriannya, bahwa Konsekuensi logis yang paling niscaya jika saja Muhammadiyad bersikap taken for granted terhadap pemikiran keislaman Abduh atau Afghani, maka tidak saja kita telah “mengebiri” hasrat tajdid dan ijtihad yang juga telah sejak lama diproklamirkan Ahmad Dahlan sendiri melalui pemikiran-pemikirannya yang pada saat itu masih terlalu modern –dan juga “kontroversial”— bagi masyarakat Islam di masanya. Artinya, logika pemikiran mereka seharusnya diletakkan sebagai seutas benang merah yang untuk dirajut kembali dalam simpul saat ini.
Persoalan di atas adalah sebuah dialektika sejarah yang dalam ungkapan hermeneutis dianggap sebagai semangat emansipatoris Dahlan terhadap pembacaan teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah ke dalam bingkai kontekstual, yaitu apa makna yang terkandung di balikk teks. Lebih jauh, dalam logika Hermeneutika Heidegger, Muhammadiyah yang inheren dengan Dahlan-isme, berarti memposisikan al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai rumah (house of being) untuk dan tempat menjadi segala bentuk penciptaan Allah. Hal ini menunjukkan al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan sebuah ajang gaul kompleksitas pemikiran keagamaan (baca: Islam) baik yang menamakan dirinya Wahabiyah, Mu’tazilah, Sunni, Syiah dan –yang terakhir— faham Liberal sekalipun, untuk kemudian dinterpretasikan dengan semangat al-Qur’an dan al-Sunnah dan mencari maknanya secara bersama-sama tanpa sikap yang cenderung tendensius.
Sebuah tendensi “bengis” bila kemudian Muhammadiyah yang terkenal modern menganak-tirikan generasi muda yang coba merefleksikan kehendak “hati” Dahlan dalam bentuk dan pengungkapannya yang paling liberal sekalipun. Karena seharusnya diketahui, rasa alergi atau phobia terhadap virus yang dianggap menyesatkan Islam seperti JIMM-nya Pradana Boy atau JIL-nya Ulil Abshar Abdallah, bisa jadi merupakan bentuk Islamophobia jilid baru yang sering dilekatkan pada cendekiawan Muslim didikan Barat atau yang serupa dengannya. Apakah ini sebuah contoh ketakutan naïf pergulatan Islam VS Islam?
Artinya, Muhammadiyah tidak perlu takut dengan pluralisme pemahaman dalam persyarikatannya. Kecil atau besar pengaruh yang ditimbulkan nantinya tetap saja memiliki makna positif untuk “kedewasaan” berpikir dan beraksi untuk umat Islam Indonesia ke depan. Karena Dahlan masa kini adalah Dahlan masa lalu yang mendambakan pembaharuan ke depan yang berpretensi pada Islam Kaffah. Dan tentunya, Muhammadiyah harus siap dengan kejutan-kejutan impulsif multipemahaman islam yang di setiap kemunculannya selalu berbau kontroversial dan “menyesatkan” bagi pemegang status quo kekuasaan.
Patut kita simak jawaban seorang Jalaluddin Rakhmat saat ditanya seorang Mahasiswa soal citra Syiah-nya, ia menjawab bahwa dealektika sejarah membuktikan sesuatu yang pada awalnya devian (kecil, terpinggirkan) dan selalu diobok-obok oleh rezim (baca: pemikiran) mayoritas, bisa mengambil alih yang mayoritas ke posisi devian, dan begitu seterusnya.
Akhirnya, siapapun pemimpin baru hasil Muktamar nantinya, sensivitas terhadap beraneka ragam pemikiraan tetap diletakkan pada posisi tawar sebuah peradaban Islam yang oleh Dahlan sendiri dilakukan pada saat masyarakat (Islam) Indonesia masih dalam kondisi “jahiliah”. Thus, apakah di saat usia menjelang satu abad ini, Muhammadiyah yang begitu besar dan dewasa itu malah menjadi seperti seorang Bapak yang egois dan pemarah hanya gara-gara pemikiran agak berbeda dari segelintir anak-anak mudanya yang lahir di tengah “kemelut” gairah tajdid dan ijtihad yang justeru semangatnya telah dikrarkan Dahlan pada awal berdirinya Muhammadiyah, 18 November 1912 silam? Wa Allahu A’lam.
*Astar Hadi, S.Sos., Mantan Wartawan dan mahasiswa baru Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang 
Posted by astar hadi at 10:44 AM 

SYAHRUL DIDAULAT PIDATO DI MILAD KE-98 MUHAMMADIYAH

 
 LAPORAN : ESTY


MAKASSAR - SURABAYAWEBS.COM

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Dr Din Syamsuddin, mendaulat Gubenur Sulawesi Selatan (Sulsel) terpilih, Syahrul Yasin Limpo, berpidato di acara puncak Milad Ke-98 Muhammadiyah di gedung Celebes Convention Center (CCC), Makassar, Minggu (6/4) kemarin.”Saya memohon kepada Gubernur Sulsel yang akan dilantik dua hari lagi agar berpidato di sini sebelum pidato kenikmatan saat pelantikan,” kata Din saat memberikan sambutan di acara puncak Milad Muhammadiyah.
Syahrul dan pasangannya, Agus Arifin Nu’mang, akan dilantik di halaman Gubernuran, Selasa (8/4). Pasangan Syahrul-Agus (Sayang) akan ditetapkan sebagai Kepala Daerah Sulsel periode 2008-2013 melalui Sidang Peripurn Istimewa DPRD Sulsel. Penjabat Gubernur Sulsel, A Tanribali Lamo, tidak hadir dalam acara tersebut.


Dia diawakili oleh Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Andi Baso Gani. Tanri mendadak ke Jakarta karena harus menghidiri pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jakarta, hari ini.
Sejumlah tokoh penting hadir di acara ini. Di antaranya, Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel KH Sanusi Baco (Ketua MUI Sulsel), anggota DPR RI dari PAN And Hadi Djamal, anggota DPRD Silsel Adil Patu dan Ramli Haba, serta Ketua DPC PAN Makassar, Busrah Abdullah.

Keluarga Muhammadiyah
Syahrul yang awalnya tidak masuk dalam daftar pemberi sambutan, naik ke atas panggung dan memberikan sambutan di depan sekitar 20 ribu jamaah Muhammadiyah yang memadati gedung CCC.
Syahrul menyatakan bangga karena masuk dalam keluarga besar Muhammadiyah.”Sejak kecil orangtua saya selalu mengajari saya dengan ajaran Muhammadiyah. Muhammadiyah mengajari saya cara beragama Islam yang tidak simbolik, tapi ajaran yang esensial,” kata Syahrul.
Syahrul menyebut ayahnya, Yasin Limpo, pernah menjadi pengurus Muhammadiyah dan dibesarkan dalam keluarga Muhammadiyah.
Syahrul juga meminta doa dan dukungan kepada jamaah yang hadir agar diberi kelancaran saat acara pelantikannya.
Syahrul berpidato hanya sekita 10 menit. Selasai acara, Syahrul, terlihat sibuk melayani jamaah yang ingin mengabadikan gambarnya dengan berfoto bersama Syahrul
Visi Dakwah
Din mengimbau kader Muhammadiyah agar kembali mempertegas visi perjuangan dakwah Muhammadiyah untuk amr ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
“Muhammadiyah harus tetap menjadi gerakan dakwah, gerakan kultural, gerakan budaya, dan bukan gerakan politik,” kata alumnus Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur ini.
Din mengulas keberhasilan yang dicpai Muhammadiyah di usianya yang hampir satu abad. Din mengajak semua jamaah agar tahaddust bin ni’mah (menyebut kenikmatan) atas keberhasilan yang sudah dicapai Muhammadiyah.
“Tahaddust bin ni’mah pertama dengan mewartakan semua keberhasilan Muhammadiyah, lalu memperbarui dengan merenovasi kenikmatan tersebut untuk meraihnya lagi dengan kualitas yang lebih bagus. Muhammadiyah tidak boleh unggul hanya dari segi kuantitas saja,” kata Din.
Dia menambahkan, sejak berdiri 98 tahun silam, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan bangsa.
Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, pernah menjadi pelopor kemerdekaan Republik Indonesia dan peran Muhammadiyah setelah kemerdekaan juga tidak kalah besarnya.
Muhammadiyah yang lahir sebelum Indonesia merdeka, telah memiliki andil besar terhadap pembangunan bangsa terutama dalam aspek pendidikan, kesehatan dan ekonomi ummat. Ribuan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit dan lembaga ekonomi menjadi karya nyata ormas Islam ini.
“Muhammadiyah selalu menjadi pemecah permasalahan bangsa dengan solusi-solusi yang ditawarkannya. Kontribusi Muhammadiyah terhadap bangsa ini akan terus ditingkatkan,” kata Din.
Di tengah-tengah isu miring terhadap Muslim akhir-akhir ini dengan munculnya isu teroris dan lain-lain, Din mengimbau agar kader Muhammadiyah selalu menjadi pemecah masalah dan bukan menjadi penambah masalah tersebut.

Luar Negeri
Dalam kesempatan tersebut, Din juga menyinggung perkembangan Muhammadiyah di luar negeri. Alumnus Harvard University Amerika ini menyebutkan perkembangan Muhammadiyah di luar negeri sangat pesat.
“Jadwal undangan peresmian cabang istimewa di luar negeri mulai padat. Dalam waktu dekat akan diresmikan cabang istimewa di Australia, Kamboja, dan Singapura. Kalau yang di Amerika sudah lama diresmikan,” kata Din.
Dalam setiap kesempatan undangan ke luar negeri, menurut Din, Muhammadiyah selalu menjadi idola orang asing karena Muhammadiyah selalu dilekatkan dengan organisasi Muslim terbesar yang modern. Mereka menyebut Muhammadiyah dengan istilah the largest modern Moslem organization.
“Saya juga bangga di luar negeri, saya dipanggil dengan sebutan The President of Muhammadiyah of Indonesia,” kata Din sambil tertawa.
Di akhir sambutannya, Din, memuji pelaksanaan milad di Makassar yang menurutnya sangat meriah.”Saya sudah paham dengan Muhammadiyah Makassar. Kalau mereka bikin acara pasti besar dan tidak mau tanggung- tanggung,” kata Din yang juga mengaku kagum dengan kemegahan gedung CCC.

Bertemu SBY
Soal ketidakhadiran Tanribali di acara puncak milad Muhammadiyah, Ketua Panitia Milad Abd Rahmat Noer mengatakan, pihaknya sudah mendapat konfirmasi.
“Pak Tanri sudah memberitahukan kepada kami saat donor darah di Universitas Muhammadiyah (Unismuh). Beliau hari ini (kemarin) ke Jakarta menghadap Presiden,” kata Rahmat.
Sehari sebelumnya, Tanribali ikut menyumbangkan darah dalam acara donor tersebut. Mantan Asisten Personel Mabes TNI akan menghadiri pertemuan Presiden SBY dengan seluruh gubernur di Istana Negara, Jakarta, hari ini.
Ini adalah acara resmi Tanribali sebelum menyerahkan jabatannya ke Syahrul yang akan dilantik oleh Manteri Dalam Negeri Mardiyanto, besok.

Diteken
Dari Jakarta dikabarkan, keputusan presiden (keppres) tentang pelantikan Sayang sudah diteken presiden, kemarin.
“Keppresnya baru ditandatangani presiden tadi (kemarin). Pelantikan sudah pasti dilaksanakan tanggal 8 Aprill,” kata sumber Tribun di Jakarta.
Panitian pelantikan Sayang dari unsur DPRD Sulsel dan tim Sayang terus berkoordinasi untuk mempersiapkan acara pelantikan di halaman gubernuran.
Puluhan pekerja masih memasang tenda raksasa yang akan digunakan untuk sidang paripurna istimewa. “Karena ada sidang, maka harus ada ruangan tertutup yang digunakan oleh anggota DPRD Sulsel dan pejabat terkait,” kata Irman Yasin Limpo, tim Sayang yang ditugasi untuk persiapan pelantikan.
Sementara Sekretaris DPRD Sulsel, Abd Kadir Marsali, mengatakan, proses persiapan pelantikan berjalan aman dan lancar.TT

NGILMU IKU KALAKONE KANTHI LAKU


Menjernihkan Pemikiran Muhammadiyah 
Jum'at, 27/04/2007 



BENNI SETIAWAN, Praktisi Pendidikan di Jember 

Tidak terasa usia Muhammadiyah sudah 96 tahun.Tepatnya 8 Zulhijah 1426 H (8 Zulhijah 1330 H–8 Zulhijah 1426 H).Usia 96 tahun adalah usia senja. Artinya, Muhammadiyah sudah saatnya introspeksi diri dalam mengembangkan dan membangun dirinya menatap masa depan. 

Jika diibaratkan Muhammadiyah adalah manusia,usia 96 tahun tentunya sudah tutup tahun.Muhammadiyah seharusnya telah mati dan hanya dikenang oleh anak cucu.Akan tetapi, takdir berkehendak lain.Umur Muhammadiyah masih lama dan insya Allah akan tetap bertahan dalam 100 tahun bahkan 1000 tahun yang akan datang.Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara atau strategi guna menjaga kebugaran Muhammadiyah agar tetap eksis? 

Tampaknya,di masa sekarang Muhammadiyah harus mampu memosisikan dirinya sebagai sebuah lembaga terbuka.Artinya,sebuah lembaga yang mau dan mampu menerima kritik dan saran,baik dalam diri Muhammadiyah atau orang lain.Dengan demikian, Muhammadiyah akan tetap diperhitungkan dan dianggap sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan yang bersumber dari kekuatan masyarakat Indonesia. 

Akan tetapi,apa yang terjadi di Muhammadiyah? Muhammadiyah sekarang ini tak ubahnya seperti gajah gemuk.Muhammadiyah kehilangan elan vitalnya sebagai gerakan sosial keagamaan. Ambil contoh,masuknya ideologi lain dalam tubuh Muhammadiyah. Ironisnya, ideologi ini dibawa langsung oleh pimpinan Muhammadiyah sendiri. Artinya, ideologi tersebut sengaja ditancapkan dalam tubuh 

Muhammadiyah dan menjadi benalu di kemudian hari.Dia telah masuk secara rapi dalam tubuh organisasi yang di dirikan Ahmad Dahlan di Yogyakarta 96 tahun yang lalu. Maka,tidak aneh jika akhir-akhir ini ada suara yang mengatasnamakan Muhammadiyah menyerukan adanya daulah islamiyah (negara Islam), syariah Islam,dan seterusnya. Di pihak lain,semakin meredupnya suara-suara agenda pengentasan kemiskinan, pendampingan warga korban lumpur Lapindo Sidoarjo, penolakan penjarahan terbuka aset nasional di Freeport, Blok Cepu, dan ekspor pasir ke Singapura.

Pimpinan Muhammadiyah terlihat asyik masuk menikmati proyek dari pemerintah, yakni penanganan flu burung dan rehabilitasi korban bencana gempa. Tidak hanya itu, pergolakan pemikiran atas pemahaman teks keagamaan baru masih sulit diterima oleh warga Muhammadiyah. P

emikiran yang agak nyeneh dianggap menyebarkan aliran sesat. Karena itu,organisasi tersebut harus dienyahkan dari bumi Muhammadiyah. Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) misalnya,harus mau menerima perlakukan “kasar”dari warga Muhammadiyah sendiri. 

Kemudian, kasus dikeluarkannya Dawam Rahardjo dan dipecatnya Muh Shofwan dari staf pengajar Universitas Muhammadiyah Gresik,karena menulis artikel ucapan selamat Natal beberapa waktu yang lalu. Contoh lain,ketika JIMM melakukan workshop di Kota Bengawan Solo awal 2005 yang lalu.Workshop tersebut harus dibubarkan oleh Komando Kesiapsiagaan dan Keamanan Muhammadiyah (Kokam) dan Pimpinan Cabang setempat. 

Di lain pihak, Muhammadiyah dengan bangga mengelus dan mengeluelukan gerakan ”pembusukan”di dalam tubuh perserikatan dengan amal usaha terbesar di dunia ini.Mereka malah membenarkan kalau tidak mau disebut mengklaim sebagai gerakan Muhammadiyah, Ahmad Dahlan meminjam istilah Munir Mulkhan dalam penelitiannya. 

Mereka mengesampingkan gerakan-gerakan pemikiran yang aneh,tanpa berpikir bahwa Ahmad Dahlan dahulu adalah orang yang suka aneh-aneh dengan menafsirkan Surat Al Maun menjadi sekolah modern,rumah sakit dan panti jompo. Keadaan seperti di atas sungguh memprihatinkan,apabila dibiarkan begitu saja,tentunya Muhammadiyah tidak akan bertahan lama. 

Ke depan, Muhammadiyah setidaknya dapat mengakomodir seluruh elemen yang ada dalam tubuh perserikatan terbesar kedua setelah NU tersebut. Beberapa hal yang sekiranya dapat dilakukan oleh Muhammadiyah dalam menghadapi problem masyarakat yang semakin kompleks ini adalah sebagai berikut. 

Pertama,Muhammadiyah harus terbuka terhadap kritikan,masukan dan saran yang membangun, baik dari dalam maupun dari luar.Dengan demikian,Muhammadiyah akan memantapkan dirinya sebagai gerakan amar ma’ruf nahi munkaryang inklusif. Keinklusifan Muhammadiyah ini tentunya akan sangat membantu dalam dinamika dan perkembangan perserikatan yang telah mempunyai ranting yang tidak kurang dari 3000 buah. 

Kedua, Muhammadiyah harus mau menerima dinamika pemikiran dalam tubuh Muhammadiyah.Tentu kita masih ingat wejangan KH Dahlan, ’’Muhammadiyah sekarang tentunya sangat berbeda dengan Muhammadiyah di masa yang akan datang.Maka,jadilah insinyur, kembalilah kepada Muhammadiyah; jadilah dokter,kembali kepada Muhammadiyah; dan seterusnya.’’ 

Sinyalemen yang dikumandangkan oleh Kiai Dahlan ini menunjukkan bahwa dinamika pemikiran di dalam tubuh Muhammadiyah harus tetap terjaga dan selalu menemukan hal baru.Tanpa adanya pembaruan (gerakan tajdid),Muhammadiyah akan tetap terpuruk dan ketinggalan zaman. 

Ketiga, guna menjernihkan Muhammadiyah dari gejala pembusukan ideologi lain, pemurnian ajaran Muhammadiyah dan penyatuan visi dan misi Muhammadiyah harus segera diagendakan. Pilihan Muhammadiyah untuk terjun pada wilayah politik praktis sebagaimana saudara tua (NU), atau hanya ditunggangi oleh kepentingan politik yang menyeret Muhammadiyah dalam kesesatan,tentunya menjadi pilihan. 

Wilayah abu-abu Muhammadiyah sudah saatnya diagendakan menjadi sebuah gerakan nyata.Artinya,guna membersihkan Muhammadiyah dari pembusukan ideologi dan kepentingankepentingan yang mengganggu, Muhammadiyah harus segera sadar dan melakukan amputasi massal (cut generation). 
Semoga,dengan adanya Tanwir kali ini,pimpinan Muhammadiyah dapat menghasilkan agenda besar penyelamatan.Hal yang pada akhirnya dapat dijadikan pedoman bagi warga Muhammadiyah dalam melakukan dan mengemban amanah kemanusiaan.(*) 
Diposting oleh Benni Setiawan di 04:28 
0 komentar: 

Rabu, 16 Juli 2008

Mentalitas Bisnis Umat Islam

Senin, 19 Mei 2008
Drs. M. Fahri*

Ketika gagal dan kurang berhasil dalam bisnis. Ungkapan yang seringkali muncul adalah; kurangnya
modal, tidak berbakat, tidak ada darah pedagang, kurang pengalaman, dan tak ada keberpihakan pemerintah pada
umat. Ungkapan-ungkapan ini tidak lebih dari sekedar mencari-cari alasan pembenaran atas ketidakmampuan dalam
berbisnis. Padahal ikhtiarnya belum maksimal. Akibatnya mudah putus asa, cepat menyerah, dan suka menyalahkan
pihak lain. Pendek kata kurang militan dalam berbisnis.
Kondisi tersebut juga menghinggapi para pebisnis Islam. Di negeri yang 85% penduduknya Muslim, ternyata hanya
mampu menguasai 36% ekonomi nasional. Lainnya digerakkan para pengusaha non-Muslim yang populasinya hanya
15%. Salah satu faktor (di antara sekian faktor lainnya) adalah rendahnya mentalitas bisnis para pebisnis Islam.
Mentalitas bisnis memegang peranan penting menuju kesuksesan ekonomi umat. Mentalitas bisnis merupakan aset
berharga yang ada pada diri umat. Merupakan karunia Allah Swt yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Allah Swt
berfirman, ”Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang diusahakannya dan bahwa
usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. (Q.s. An-Najm:39). Siapapun yang berusaha pasti akan diberi balasan
(rizki) sesuai dengan besarnya kontribusi dan pengorbanannya. Abdurrahman bin Auf misalnya, perniagaan yang
dijalankannya sudah lintas negara. Lebih dari 700 ekor unta dikerahkan untuk mengangkut barang dagangannya. Misal
1 ekor unta mampu mengangkut 500 Kg, berarti barang total dagangan Abdurrahman bin Auf seberat 350 ribu Kg atau
350 ton. Bila 1 Kg barang dagangannya seharga Rp 10 ribu, berarti transaksi perdagangannya senilai Rp 3,5 milyar.
Suatu jumlah yang amat besar dan sangat fantastis. (lihat: Swuwaru min Hayatis shahabah). Mentalitas bisnis
Rasulullah dan para sahabatnya sungguh luar biasa dan sangat militan. Dikatakan Afzalurrahman (Muhammad as A
Trader: 1997) bila siang hari mereka tak ubahnya seperti serigala yang kelaparan (dalam bekerja), bila malam hari
mereka seperti hamba sahaya yang bersimpuh lemah (karena kekhusyukannya) di hadapan sang Pencipta jagad Raya.
Mereka mewarisi sya’ir Arab, ”I’mal Lidunyaka kaannaka ta’isyu abadan ghadan
wa’mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan”, (bekerjalah engkau untuk duniamu seakan-akan kamu
hidup selamanya. Dan beribadahlah untuk akheratmu seakan-akan engkau mati besok). Kiat Sukses Bisnis
Rasulullah Ada 7 kiat sukses bisnis yang dijalankan Rasulullah dan para sahabatnya. Ketujuh kiat sukses ini bersumber
dari mentalitas bisnis yang kuat dan kokoh, yaitu: Pertama; tidak mudah menyerah. Sesulit dan seberat apapun keadaan
yang dihadapi, mereka tidak menerima begitu saja (berpangku tangan), apalagi berputus asa. Kedua, bekerja keras.
Rasulullah adalah tipe hamba Allah yang tak kenal letih dan lelah dalam mencari rizki. Dalam usia yang belum 40 tahun,
Rasulullah berkali-kali memimpin ekspedisi perdagangan ke Aylah, Jerussalem dan Damaskus. Kadangkala beliau
menghabiskan waktu 3-6 bulan di perjalanan. Rasulullah bersabda, ”Tiada suatu makanan yang lebih baik
daripada yang dimakan dari hasil keringatnya sendiri”. (HR. Bukhari). Tidak menggantungkan pada orang lain.
Ketiga, mencintai pekerjaan. Bagian terpenting kesuksesan Rasulullah dan para sahabat adalah kecintaan mereka pada
profesinya (bisnis). Rasa cinta ini ditunjukkan dengan tidak meninggalkan profesi bisnis pasca memeluk Islam. Yang
terjadi justru sebaliknya, semakin bersemangat. Profesi ini mereka sandang sampai akhir hayatnya. Keempat, kualitas
pelayanan prima. Bagi Rasulullah dan para sahabat, customers (pelanggan) adalah segala-galanya. Mereka
memperlakukannya dengan sebaik-baiknya. Dalam berniaga Rasulullah selalu mengedapankan nilai-nilai kejujuran,
amanah, sopan dan santun serta menjunjung tingi prinsip-prinsip persahabatan dan kekeluargaan. Di mata customers,
bahkan juga dari pesaing-pesaingnya, reputasi Rasulullah sangat baik. Rasulullah bersabda, ”pedagang yang
jujur dan dapat dipercaya kelak akan mendapat kedudukan yang mulia bersama para Nabi, shadiqin, dan
syuhada”. (HR. Turmudzi). Kelima, memperbanyak mitr kerja. Relasi atau rekanan bisnis memegang peranan
penting menuju kesuksesan seseorang. Rasulullah selalu membangun jaringan bisnis yang sehat, bermoral, dan
beradab. Jauh sebelum kenabian, ia telah membangun jaringanbisnis dengan niagawan-niagawan yang berasal dari
Negeri Hijaz (perbatasan Syiria), Hijar (Bahrain), zuhar (Oman) yang banyak didatangi para pedagang dari India dan
Cina, serta Rabiyah (Hadramaut). Dalam bermitra Rasulullah selalu menekankan prinsip saling menguntungkan. Abdul
Qais seorang niagawan asal Jordania (saat itu belum memeluk Islam) mengatakan, ”Saya senang dan
mendapatkan keuntungan selama berniaga bersama Muhammad bin Abdullah”. Keenam, istiqamah menekuni
karir. Ciri keprofesionalan seseorang dapat ditunjukkan dengan ke-istiqomahan dalam menekuni suatu pekerjaan.
Konsistensi ini dibuktikan Rasulullah Saw. Karir niaganya dimulai dari bawah. Awalnya ikut ekspedisi perdagangan
(umur 12 tahun), kemudian menjalankan barang dagangan saudagar-saudagar Makkah (salah satunya milik Siti
Khadijah), dan memimpin ekspedisi perdagangan. Setelah memiliki kemampuan, ketrampilan dan jaringan bisnis yang
luas serta modal yang cukup, barulah Rasulullah berniaga secara mandiri (pasca pernikahan dengan Siti Khadijah)
sampai akhir hayatnya. Ketujuh, suka berderma. Harta benda dan kekayaan yang dihasilkan dari berbisnis dikeluarkan
untuk zakat, infak dan shadaqah. Harta itu digunakan untuk dakwah Islam, demi tegaknya izzul Islam wal Muslimin. Profil
Rasulullah dan para sahabatnya seperti Abu Bakar ash-shiddiq, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf dapat
dijadikan contoh. Ketika umat Islam di Madinah harus membayar setiap kali berwudlu di perigi milik seorang Yahudi,
maka dengan kekayaan yang dimiliki Utsman bin Affan, perigi itu dibeli dan umat Islam terbebas dari komersialisasi air
orang Yahudi itu. Harga pergi itu, kalau dirupiahkan sekarang, tak kurang dari Rp 15 milyar. Suatu jumlah yang cukup
besar. Di tengah terpuruknya ekonomi umat Islam Indonesia, sungguh tepat kiranya bila mentalitas bisnis umat Islam
dibangkitkan, sehingga umat tidak mudah putus asa, frustasi dan menerima keadaan begitu saja. Terlebih memasuki era
perdagangan bebas dunia seperti WTO, GATT, APEC, AFTA, dan NAFTA. Kejayaan ekonomi umat Islam bisa diraih
bila umat memilih perdagangan (bisnis) sebagai profesinya. Agar peran ini tidak lagi diambil alih orang lain. Penulis
Kantor Berita Ekonomi Syariah
http://www.pkesinteraktif.com
Menggunakan Joomla!
Generated: 20 May, 2008, 10:28Page 2

adalah Dosen Mata kuliah Ekonomi Islam di Universitas Muhammadiyah Malang Sumber: Suara Muhammadiyah

Kepemimpinan dalam Muhammadiyah

Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogjakarta pada 8 Zulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 M. Pendirinya KH Ahmad Dahlan. Jadi, usia Muhammadiyah telah hampir satu abad. Maksud dan tujuan persyarikatan Muhammadiyah adalah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Adapun usaha-usaha yang dilakukan Muhammadiyah untuk mencapai maksud dan tujuannya antara lain dengan bertabligh, pengkajian Islam, mempergiat ibadah, mempertinggi akhlak, memajukan pendidikan dan ilmu pengetahuan, mengembangkan ekonomi masyarakat, menumbuhkan ukhuwah Islamiyah, memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, dan usaha-usaha lain. Usaha-usaha yang dikemukakan tersebut merupakan bagian dari apa yang tertera di dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah. Secara mendasar dapat dikemukakan bahwa Muhammadiyah didirikan untuk kejayaan Islam dan kemaslahatan masyarakat bangsa dan negara.

Dalam perjalanan Muhammadiyah yang hampir satu abad tentu banyak mengalami pasang surut, banyak tantangan yang dihadapi. Alhamdulillah, hingga kini Muhammadiyah tetap eksis, tetap menjadi salah satu kekuatan ummt dan bangsa. Salah satu faktor penentu dari kuat-lemahnya keberadaan Muhammadiyah adalah karena unsur kepemimpinannya, yaitu keberadaan para pemimpinnya. Oleh karena itu, kepemimpinan dalam Muhammadiyah sangat perlu mendapat perhatian oleh segenap warga Muhammadiyah di semua tingkatan, mulai dari tingkat pimpinan pusat, pimpinan wilayah, pimpinan daerah, pimpinan cabang, dan pimpinan ranting. Memang, sistem organisasi (khususnya administrasi Muhammadiyah) cukup rapi, struktur kepemimpinannya jelas, walaupun jalan kepemimpinannya bervariasi dan penuh dinamika, sesuai situasi di mana Muhammadiyah itu berada.

Pada awal-awal berdirinya pimpinan Muhammadiyah lebih banyak yang berpredikat ulama, mereka yang cukup mumpuni ilmu agama. Baru setelah 10 atau 15 tahun terakhir yang menjadi pimpinan Muhammadiyah sangat bervariasi, tidak didominasi oleh ulama, tetapi sudah menyatu dengan mereka yang berlatar belakang pendidikan umum. Jika dahulu pimpinan Muhammadiyah cukup banyak dimotori oleh pedagang, sekarang sedikitnya sudah bergeser. HAl-hal seperti ini juga berlaku di Muhammadiyah Kalimantan Selatan.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar melakukan berbagai amal usaha. Amal usahanya berupa panti asuhan, balai pengobatan dan rumah sakit, lembaga pendidikan (dari TK hingga Perguruan Tinggi, termasuk pesantren), masjid dan mushalla, koperasi atau lembaga ekonomi lainnya. Semuanya itu memerlukan pimpinan yang handal, pimpinan yang arif, pimpinan yang sabar dan ikhlas, pimpinan yang jujur, tentu saja pimpinan yang mengerti maksud kepemimpinan atau menejemen dalam arti ilmu dan gaya. Kiranya gaya kolegial atau kebersamaan menjadi kekhasan dalam organisasi Muhammadiyah.

Sekarang, bagaimanakah kepemimpinan Muhammadiyah di Kalimantan Selatan ? Kita berharap Musywil Muhammadiyah Kalsel di Amuntai akan melahirkan "tim" pemimpin yang lebih kuat, yang lebih berperan dalam memajukan warga persyarikatan dan ummat, juga yang memberi andil bagi kemantapan atau jalannya otonomi daerah. Artinya, Muhammadiyah Kalsel sepantasnya aktif dalam mengisi (sesuai bidang garapannya) dalam kaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah.

Unsur ulama dalam kepemimpinan Muhammadiyah tidak bisa ditinggalkan. Muhammadiyah itu berdiri atau didirikan oleh seorang ulama kharismatik, KH Ahmad Dahlan. Dalam kondisi sekarang, tentu saja diharapkan ulama yang duduk di pimpinan Muhammadiyah Kalsel adalah mereka yang sedikit-banyak mengetahui dan dapat menerapkan strategi memimpin. Hal ini sangat penting karena sebuah organisasi juga harus memanfaatkan ilmu kepemimpinan. Dengan organisasi diharapkan secara maksimal dapat bergerak untuk mencapai maksud dan tujuannya. Seseorang yang dipilih sebagai pimpinan hendaknya disesuaikan dengan bidang keahliannya - walaupun tidak mutlak, bisa saja sambil bekerja, sambil belajar dan menyesuaikan diri.

Kepemimpinan dalam Muhammadiyah juga sebaiknya memperhatikan kekuatan dan kecepatan kerja. Karena itu, peran generasi muda perlu dimunculkan dalam Muhammadiyah. Jadi, perlu adanya semacam pemaduan antara ‘tua dan muda’. Hal ini dimaksudkan untuk menyongsong alih generasi dan penyegaran. Hal ini juga dapat dianggap sebagai bentuk penghargaan dan kepercayaan dari orangtua kepada anaknya.

Menjadi pimpinan di Muhammadiyah berarti ikhlas berkorban, siap berpikir dan siap bekerja. Hal ini terkait dengan keberadaan amal usaha yang harus dijalankan oleh Muhammadiyah, terkait dengan Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah, terkait dengan organisasi pembaharu. Sebagai pimpinan di Muhammadiyah dituntut untuk dapat menjadi teladan atau panutan bagi warganya dan masyarakat sekitarnya, yang mampu memelihara citra Muhammadiyah, memelihara pandangan masyarakat terhadap Muhammadiyah. Menjadi pimpinan Muhammadiyah sepatutnya dapat menambah bilangan kebaikan bagi masyarakatnya, menambah kesejukan di mana ia bertempat tinggal, dapat menjadi penggerak bagi ukhuwah Islamiyah. Sebagai pimpinan Muhammadiyah harus dapat berpandangan luas dan objektif dalam menyikapi segala persoalan organisasi, termasuk pula dalam menyikapi dinamika masyarakat. Betapapun juga organisasi Muhammadiyah merupakan lapangan buat beramal saleh, buat bekerja untuk kepentingan ummat, buat menjalankan dakwah Islamiyah. Hal ini perlu dicamkan oleh setiap pimpinan pada setiap tingkatan. Dengan demikian seorang pimpinan tidak akan muyak atau bosan dalam menjalankan organisasi, apalagi harus putus asa.

Salah satu kekhasan kepemimpinan dalam Muhammadiyah adalah adanya nuansa keagamaan yang cukup kuat. Dalam kegiatan apapun, Muhammadiyah berusaha menciptakan suasana relegius. Setiap kegiatan senantiasa sangat memperhatikan pelaksanaan ibadah sholat, sehingga jadwal yang disusun diatur sedemikian rupa agar tidak melanggar/ menyulitkan anggota untuk sholat. Dalam kegiatan kepanduan (pramuka), persepakbolaan (HW) juga menempatkan nuansa pengabdian kepada Allah sebagai sesuatu yang teramat penting. Hal-hal ini juga merupakan pelajaran berharga yang senantiasa diperhatikan oleh segenap pimpinan.

Pimpinan Muhammadiyah hendaknya dapat secara peka memberikan masukan bagi masyarakat, termasuk dalam rangka pemberdayaan ekonomi ummat. Hal ini amat penting dalam menyongsong keadaan masyarakat sekarang dan akan datang. Dalam kaitan ini, kiranya Muhammadiyah di Kalsel dapat menciptakan upaya pemberdayaan ekonomi ummat, walaupun hanya melalui satu usaha ekonomi, yaitu berupa koperasi yang dapat diandalkan. Sekarang, memang telah berdiri beberapa koperasi, namun geraknya masih belum seperti yang diharapkan, masih ‘tertatih-tatih’.

Untuk mendirikan dan menggerakan koperasi, maka diperlukan sumber daya manusia yang memadai, tentunya juga dukungan para ‘orang kaya’ Muhammadiyah. Di sinilah, diperlukan adanya unsur pimpinan yang termasuk ‘kuat kantong’ untuk mendorong bagi pelaksanaan peran Muhammadiyah dalam meningkatkan ekonomi ummat.

Sebenarnya, banyak hal yang perlu diangkat dalam kaitan dengan kepemimpinan dalam Muhammadiyah, khususnya dalam lingkup Muhammadiyah Kalimantan Selatan, namun yang juga cukup menentukan adalah cara pandang warga Muhammadiyah itu sendiri terhadap kepemimpinan dan bagaimana harusnya ber-Muhammadiyah, bagaimana harusnya ber-masyarakat atau berinteraksi dengan lingkungannya.

Drs H Zulkifli Musaba, MPd, ketua Pemuda Muhammadiyah Kalsel

Prof Drs A. Malik Fajar, MSc, Wakil Ketua PP Muhammadiyah

Kamis, 28 April 2005


Seharusnya Lepas dari Politik Praktis

Nama Prof Drs A. Malik Fadjar, MSc, masuk dalam daftar usulan calon anggota Pengurus Pusat Muhammadiyah masa jabatan 2005-2010. Dalam daftar yang diusulkan 134 anggota Tanwir Muhammadiyah sampai pekan ini, mantan Menteri Pendidikan Nasional ini "lebih unggul" daripada Prof Dr H M. Amien Rais, mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional, yang juga mantan Ketua PP Muhammadiyah.

Malik, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang--yang akan menjadi tuan rumah muktamar ke-45, Juli nanti--mengaku belum memutuskan apakah akan maju menjadi calon Ketua PP Muhammadiyah. "Nanti akhir Mei baru bisa memberi jawaban," katanya kepada Yudha Setiawan dari Tempo kemarin di rumahnya, kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Berikut ini petikan wawancaranya.

Perubahan apa yang Anda berikan jika nanti memimpin Muhammadiyah?
Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan harus lebih responsif dan cepat tanggap terhadap perubahan-perubahan di masyarakat. Saat ini Muhammadiyah sangat lambat dalam melakukan terobosan. Muhammadiyah juga harus bisa mengembangkan usaha yang ada saat ini untuk lebih berkembang lagi, mempertegas lagi dalam bentuk nyata pemikiran Muhammadiyah bagi masyarakat, membuat Muhammadiyah lebih mengakar dengan mengembalikan cabang pada tingkat kecamatan dan wilayah pada level kabupaten. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dikembalikan pada basis kampus, bukan daerah.


Tentang kehidupan berpolitik, bagaimana seharusnya Muhammadiyah bersikap?
Memang tidak bisa dimungkiri banyak anggota yang terjun di partai politik dan di Muhammadiyah. Itu sah-sah saja. Muhammadiyah memberi keluasan dan keluwesan bagi anggotanya untuk berkiprah di partai. Organisasi ini sangat terbuka dan plural, jadi sangat mendukung setiap aktivitas anggotanya. Mungkin bagi yang bukan pengurus agak mudah. Tapi bagi pengurus Muhammadiyah, ada rambu-rambu yang harus ditaati. Peraturan di Muhammadiyah sudah cukup bisa mengatur. Banyak anggota yang memilih PAN, tapi kami juga tetap menerima yang tidak memilih PAN. Mas Hajriyanto (Hajriyanto Y. Tohari) itu dari Golkar dan di sini sebagai wakil sekretaris. Tapi seharusnya Muhammadiyah bisa lepas dari politik praktis agar bisa berkiprah dan masuk ke jalan yang besar, bukan gang-gang kecil, karena terikat partai.


Bagaimana dengan aspirasi politik anak mudanya yang ingin Muhammadiyah punya partai sendiri?
Saya agak kaget dengan munculnya ide Perhimpunan Amanat Muhammadiyah (PAM) dan hampir menimbulkan perpecahan. Sebenarnya itu muncul karena kurang puas saja. Muhammadiyah selalu menonjolkan kekeluargaan dalam menyelesaikan masalah. Mungkin kami juga terbawa dalam ritme ini seperti yang dialami oleh partai atau ormas lain yang pecah. Tapi ke depan peran anak muda dan aspirasinya harus diberi porsi dan diterima ke hal yang lebih luas lagi. Karena Muhammadiyah sangat terbuka akan hal itu. Paling tidak ke depan Muhammadiyah harus jelas dalam berpolitik, maksudnya untuk tetap menjadi organisasi saja.


Apa kekurangan Muhammadiyah menurut Anda?
Itu tadi, bisa dibilang Muhammadiyah kurang tanggap terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat dan tidak dapat memberi solusi yang tepat akan hal itu. Saat ini juga Muhammadiyah kurang mencerdaskan bangsa. Dulu, dalam berdakwah Muhammadiyah bisa melalui tulisan-tulisan yang sangat kritis dan bagus. Muhammadiyah juga terlalu eksklusif, dalam arti pada golongan tertentu saja, di level menengah dan berpendidikan. Muhammadiyah harus bisa lebih terbuka lagi dengan semua.


Banyak yang mengatakan, kapasitas manajerial Anda lebih menonjol ketimbang keulamaan?
Ya, memang benar, akan lebih baik jika Muhammadiyah dipimpin orang yang lebih alim. Tapi ukuran kealiman dan keimanan kan kurang jelas. Untuk itu, saya berpikir berulang kali untuk memimpin Muhammadiyah, karena tindakan, pikiran, dan ide harus sesuai dengan kenyataan yang ada.


Apa yang membedakan Muhammadiyah dengan ormas lainnya?
Kepemimpinan di Muhammadiyah itu kolektif dan sangat tidak setuju dengan pengultusan seseorang. Kalau bicara dengan Syafi'i Ma'arif, misalnya, Anda akan merasa lebih santai daripada bicara dengan ulama lain. Kami juga tidak menggunakan kiai haji untuk menyebut nama seseorang, cukup namanya. Mas Moeslim Abdurrahman itu sangat pandai dalam bidang agama, dan kami juga punya banyak ahli tafsir, tapi mereka tidak mau menonjolkan diri.


Jadi Anda bersedia dipilih memimpin Muhammadiyah pada periode mendatang?
Sampai hari ini saya belum bisa memutuskan. Saya melihat Pak Safi'i Ma'arif merupakan sosok yang tepat untuk kembali memimpin Muhammadiyah. Cukup berat memimpin Muhammadiyah, jadi perlu pemikiran yang panjang. Kira-kira akhir Mei saya baru bisa memberi jawaban.

Tantangan Muhammadiyah, Bertajdid Menuju Dahlan

Tantangan Muhammadiyah, Bertajdid Menuju Dahlan
Contributed by Zaki Fachrul Hadi - Last Updated (Mar 30, 2007 at 02:18 PM)


MENYOAL tentang Muhammadiyah berarti menghidupkan K.H. Ahmad Dahlan. Bukan berarti hari kelahiran beliau
dirayakan dalam bentuk haul. Bukan pula berarti menginstitusionalisasikan peninggalan beliau, yang konsekuensinya
membekukan Muhammadiyah dalam penjara spatio-temporal. Akan tetapi, menghidupkan Ahmad Dachlan bermakna
merekonstruksikan hidup dan pemikirannya untuk dijadikan preskripsi aksi.
Darinya kita bisa menimba pelajaran:
Pertama, beradalah di luar dunia politik, tapi tetap berpolitik.
Muhammadiyah tidak pernah menjadi partai politik atau terlibat dalam
politik sebagai satu organisasi, walau secara individual maupun
faksional para kadernya terlibat dalam banyak kegiatan dan partai
politik, dari Masyumi sampai PAN. Dalam satu masa, bahkan
kekurangberpolitikan Muhammadiyah membuat begawan Islam politik
Indonesia, Muhammad Natsir, memilih mendirikan basis organisasi baru
sebagai topangan untuk menghidupkan kembali Masyumi di awal Orde Baru.
Bahkan bila ditilik kembali ke awal masa kolonialisme, kegiatannya
semata pada aktivitas sosial-budaya, dan kesibukannya pada periferi
politik membuat Muhammadiyah berada dalam kondisi yang memungkinkan ia
menerima subsidi bagi sekolah-sekolah modern kembangannya. Bukan
berarti Muhammadiyah bersepakat dengan penjajah Belanda dan menerima
imbalan kolaborasi itu. Berpolitik tidak harus dengan yang kasat-mata,
cepat-hasil, dan konfrontasional.
Pada masanya, perlawanan yang paling tepat adalah penciptaan kesadaran
kolektif tentang kekejian kolonialisme. Kesadaran ini takkan lahir
tanpa kecerdasan generasi muda yang akan berjuang di masa depan.
Pedagogi adalah bentuk perjuangan yang mengedepankan political wisdom.
Saat berpolitik meliputi semua aktivitas, dan kepanjangan dari etika,
maka Muhammadiyah menawarkan bentuk berpolitik baru dan memberikan
saham dalam perjuangan berjangka panjang yang notabene suatu bentuk
berpolitik dari pinggir.
Di sisi lain, dengan ber-khittah pada 1912, Muhammadiyah
sudah sedari awal sadar bahwa perubahan paling bermakna adalah
pergerakan dari pinggir ke pusat; perubahan melalui jalur sosial dan
budaya. Jauh sebelum Nurcholish Majid menyerukan sokongan pada
pembentukan Islam kultural, Muhammadiyah sudah memikirkan dan
melaksanakannya. Hanya sayang kadang tidak disadari bahwa keputusan
strategis yang dirancang oleh pendiri Muhammadiyah tidak diapresiasai
semestinya.
http://senikriya.com/neptune - We Neptune arround You!
Powered by Mambo
Generated:12 July, 2008, 00:38Page 2

Visi yang dikedepankan oleh Dahlan adalah sebuah visi berorientasi
substansi untuk memberikan sumbangan hakiki. Jika jalan Muhammadiyah
dibelokkan menuju politik praktis, bukan hanya akan mencederai catatan
sejarahnya yang bersih dari kekisruhan, juga akan menjadi sebuah
lompatan besar menuju daerah tak bertuan. Formalisme kemudian merupakan
kosa kata aksi, dan aksi akan menjadi sekadar seremoni.
Kedua, sebagai produk urban, tetaplah memperhatikan masalah urban.
Biarpun memiliki banyak cabang hingga ke desa-desa, Muhammadiyah
adalah bagian dari fenomena urban. Organisasi yang terlahir melalui
tangan kaum pedagang Muslim urban ini memberikan warna Islam berbeda:
bersahabat dengan modernitas, mengutamakan kemandirian belajar
ketimbang figur, terbuka, egaliter, berorientasi keadilan ekonomi.
Karenanya, terbentuklah sebuah pendekatan Islam perkotaan berbicara
dengan kosa kata urban dan mengatasi masalah urban.
Kita tahu urbanisasi memunculkan dislokasi pemikiran dan komunitas, yang berakhir dengan, salah satunya, kaum
mustadhafin perkotaan. Buruh berpenghasilan rendah yang dieksploitasi perusahaan asing adalah hal jamak didengar.
Keluarganya kembang kempis
memenuhi kebutuhan dapur maupun pendidikan juga kerap kita simak. Namun
usaha membela dari kaum yang secara historis merupakan bagian dari
mereka, masih sayup-sayup terdengar.
Mungkin etika protestanisme yang sering dikaitkan secara rancu dengan
Muhammadiyah, berkonsekuensi juga pada kohesi dan kolektivisme etis
para kadernya. Semangat komunitarianisme yang mempunyai saham besar
dalam Islam seperti terpinggirkan oleh individualisme bentukan
kapitalisme sebagai produk protestanisme.
Ketiga, berpikir global, dan beraksi lokal.
Dilahirkan dari rahim urban, tidak terelakkan bila Muhammadiyah
terimbas oleh globalisasi. Bahkan bila mau dirunut, Ahmad Dahlan
sendiri adalah produk globalisasi karena proses belajar di Mekah dan
pertemuannya dengan Rasyid Ridha maupun terpengaruhinya oleh pemikiran
tokoh-tokoh global pan-Islamisme masa itu seperti al-Afghani dan Abduh.
Sepulangnya ke tanah air, alih-alih mempromosikan apa yang dia dapatkan
di luar, Dachlan berusaha menerjemahkan apa yang ia pahami dari
perjalanan belajarnya ke dalam konteks Indonesia. Solusi yang ia
tawarkan memiliki kekhasan pengaruh globalisme seperti menerima
modernisme, memahami geopolitik internasional melalui kolonialisme, dan
http://senikriya.com/neptune - We Neptune arround You!
Powered by Mambo
Generated:12 July, 2008, 00:38Page 3

melihat umat dari wawasan lebih luas. Namun aplikasinya benar-benar
berhubungan dengan kebutuhan dan kepentingan lokal.
Walau globalisasi merupakan bagian integral Muhammadiyah secara
historis, tidak lantas berarti ia harus menelannya. Kemampuan kader
untuk beranjak dari sekadar mengimpor pemikiran dari luar --berbentuk pengentalan maupun pencairan Muhammadiyah,
baik itu dari Barat maupun dunia Islam--sesungguhnya
menunjukkan kemajuan berijtihad dan kedewasaan epistemik. Melihat
permasalahan bangsa secara lebih luas masih merupakan tantangan
tersendiri bagi Muhammadiyah.
Keempat, layanan sosial adalah kekuatan dan keutamaan Muhammadiyah.
Muhammadiyah ditilik secara historis dipandang sebagai suatu modal
sosial bangsa ini. Ia hakikatnya merupakan aset dan instrumen penting
untuk realisasi dan artikulasi ide-ide pedagogikal, egalitarianisme
sosial, dan amal ekumenikal.
Apa yang dulu dikhawatirkan di pertengahan 1980-an oleh Ahmad Syafii
Maarif tentang kemandekan intelektualisme dalam Muhammadiyah karena
terlalu terlibat dalam amaliah sosial, kini berbalik. Stagnasi
intelektual sudah relatif berkurang karena Muhammadiyah sampai tingkat
tertentu memiliki kemampuan dan sumber daya dalam memberi kontribusi
gagasan alternatif bagi problematika sosial, ekonomi, dan religius.
Justru kini terjadi kemandekan atau malah kemerosotan fungsi
Muhammadiyah sebagai pemberdaya ekonomi dan pemberi layanan sosial.
Beberapa aset pendidikan dan sosial Muhammadiyah dalam keadaan yang
memprihatinkan. Kepekaan organisasi ini terhadap masalah-masalah
sosial, seperti kelangkaan pendidikan bagi warga miskin tak berpunya
atau kekurangan gizi, masih dirasakan kurang dari semestinya atau
bahkan bila dibandingkan beberapa organisasi lain.
Boleh jadi, intelektual Muhammadiyah sekarang, seperti organisasi besar Islam lain di Indonesia, fasih (well-versed)
dalam diskursus pluralisme, liberalisme, atau demokrasi (dan memang ini
diperlukan); tapi kefasihan mereka berpraksis Tauhid sosial, memaknakan
diri sebagai ikatan etis terhadap yang lain, terasa masih tertinggal di
belakang. Abstraksi terlahir dari praksis, hikmah sebagai ekstraksi
dari amaliah atau dikenal dalam khazanah Yunani kuno sebagai phronesis, seperti mendapat tempat yang
termarginalkan dalam pemikiran maupun ruang publik Muhammadiyah.
Sebab itu, aktivitas amaliah sosial tidak mesti selalu
didikotomisasikan dengan pengayaan intelektual. Pemahaman ini bersifat
universal seperti yang dicerminkan oleh Francis Asisi, dan K.H. Ahmad
http://senikriya.com/neptune - We Neptune arround You!
Powered by Mambo
Generated:12 July, 2008, 00:38Page 4

Dahlan juga memberikan teladannya. Ia tidak sekadar berdiri menceramahi
dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan Budi Utomo, tapi juga mendirikan
fasilitas layanan sosial seperti panti asuhan dan klinik di masanya.
Problem kemasyarakatan adalah problem Muhammadiyah yang tidak melulu
mesti disikapi dengan memprioritaskan penyelesaian intelektual. Aksi
berbicara lebih dari sejuta suara.
Kelima, bertahan dengan kelenturan dan posisi di tengah.
Muhammadiyah lahir sebagai resistensi terhadap kolonialisme dalam
upaya mengintegrasikan kekuatan dan persatuan Islam dengan menggunakan
strategi apropriasi. Bentuk perlawanan yang ditawarkan oleh
Muhammadiyah bukan berbalik pada nativisme (jangan pakai produk Barat)
malah pada hibdritas (lawan Barat dengan produk Barat). Proses ini bisa
terjadi melalui mekanisme khas Muhammadiyah: tajdid.
Ahmad Dahlan sendiri adalah produk dari proses ini. Hidup di lingkungan
kauman di Yogya, dia membuka diri bagi pengaruh pendidikan Barat, juga
belajar huruf latin dan khazanah ilmu modern dari rekan-rekannya di
Budi Utomo. Hasilnya, melalui organisasi yang didirikannya, ditelurkan
publikasi rutin melalui mesin cetak modern dan didirikan sekolah
persilangan antara sekolah model kolonial dan pesantren.
Ia termasuk mereka yang pertama-tama memperkenalkan bangku dan papan
tulis (sebuah tanda modernitas seperti komputer sekarang). Komunitas
epistemik yang dibentuk melalui pengenalan rasionalisme, kurikulum, dan
perangkat modern Barat ini merupakan pembadanan loncatan historis.
Sehingga, walau terlihat sebagai seorang puritan yang menghebohkan
Masjid Kesultanan, jauh di dalam diri Dahlan bersemayam kelenturan dan
kemoderatan. Jauh dari menolak Barat, juga jauh dari memeluknya; dekat
dengan tradisionalisme tapi tidak menjadi tradisionalis. Ahmad Dahlan
adalah tokoh muslim liminal,
seorang yang berdiri di jalan tengah, mengawinkan tradisi dan inovasi.
Keseimbangan adalah kunci yang menjaga kelenturan dan kemoderatan
Dahlan. Ber-tajdid menjadi upaya menjaga keseimbangan itu. Tanpa
keseimbangan, semua akan runtuh.
Singkatnya, Muhammadiyah yang melupakan Dahlan adalah Muhammadiyah yang kehilangan arah.
* Penulis adalah Wakil Rektor Universitas Paramadina, dan
Direktur Eksekutif Reform Institute Jakarta, Alumni Australian National
University (ANU) Canberra dan Fikom Unpa

Asa Ekonomi Bagi Ormas Islam

Oleh Ahmad Suaedy*

Kritik Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) terhadap Muhammadiyah pada pembukaan Tanwir organisasi Islam itu di Yogyakarta (26/4) menarik disimak, bukan hanya oleh Muhammadiyah sendiri tetapi juga oleh organisasi massa Islam lainnya seperti Nahdlatul Ulama (Jurnal Nasional, 27/4).

Menurut Presiden, meskipun Muhammadiyah banyak sumbangannya dalam pendidikan dan kesehatan tetapi belum maksimal dalam peningkatan ekonomi rakyat. Yang menarik pula dari kritik itu, Presiden tidak hanya menempatkan peningkatan ekonomi sebagai tantangan untuk keluar dari kemiskinan melainkan juga agar Indonesia bisa lepas dari dominasi kapitalisme global.

Membaca kritik itu, ingatan kita segera melayang ke latar belakang munculnya ormas-ormas Islam awal abad yang lalu. Semua organisasi itu pada awal kemunculannya diinspirasi oleh di samping kondisi kemiskinan juga untuk memerdekakan diri dari kolonialisme.

Dimulai dari Serikat Dagang Islam (SDI), sebuah organisasi dagang yang dipelopori kalangan saudagar Islam di Surakarta awal abad yang lalu. Ia dilatari politik kolonial yang lebih memberikan kesempatan kepada Belanda dan etnis China dengan serta merta mempersulit – menutup - peluang pedagang pribumi. Langkah SDI ini ternyata mengobarkan semangat kalangan saudagar pribumi untuk merebut kesempatan dan menuntut antidiskriminasi bagi semua sektor perdagangan.

NU pada mulanya dirintis dari sayap ekonomi, yaitu Nahdlatul Tujjar (NT) sekitar tahun 1915-an sebagai usaha meningkatkan kemampuan usaha bagi ummatnya dan bersaing dengan pedagang kulit putih dan etnis China. Akan halnya Muhammadiyah, meskipun ia dirintis dari pendidikan dan kesehatan tetapi usaha meningkatkan ekonomi tidak diabaikan sama sekali. Berbagai industri batik di Pekalongan dan pengecoran besi di Klaten tidak lepas dari campur tangan kalangan Muhammadiyah dan NU.

Masalahnya, meskipun Indonesia telah merdeka lebih dari setengah abad tetapi kini tantangan jauh lebih berat dari dulu dalam dua konteks tersebut, meningkatkan ekonomi rakyat dan lepas dari kungkungan kapitalisme global.

Kontradiksi politik industrialisasi
Industrialisasi memang tidak bisa dipungkiri bagi sebuah bangsa yang ingin maju, demikian pula Indonesia. Tetapi industrialisasi tanpa politik keperpihakan kepada rakyat akan membuat mereka terhimpit dan kehilangan napas.

Dalam acara berkumpul seperti arisan dan tahlilan, dan bahkan untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari, kita akan menemukan air meneral, makanan kecil, kopi, teh, semua dalam kemasan pabrik. Rakyat dimanjakan dengan produk serba instan.

Kita tidak menentang model-model kemasan yang menarik dan praktis supaya lebih efisien, bersih, tetapi apa peran masyarakat dalam industrialisasi. Praktis, mereka adalah konsumen semata. Sementara harga hasil pertanian yang menjadi tulang punggung penghidupan mereka terus menurun dari segi nilai tukar, pada saat yang sama mereka dipaksa melakukan pengeluaran ekstra untuk kemasan hasil produksi pabrikan.

Kalau peluang ekonomi yang paling dekat dengan mereka saja, yaitu makanan, tidak lagi ada peluang akses untuk ikut dalam proses guna peningkatan nilai tambah ekonomi, apalagi yang lebih jauh seperti industri garmen, mesin dan industri berat.

Industri Rumahan
Berbagai inisiatif telah dilakukan masyarakat sebagai kiat menghindari ganasnya industrialisasi yang tanpa keperpihakan, seperti industri kecil dengan memanfaatkan alam di sekitar mereka, seperti tapas (kulit serabut) pohon kelapa, kulit kelapa, kulit pohon pisang, lidi, kayu dan sebagainya.

Namun sebagian besar mereka, sangat tergantung pada pasar ekspor. Ini karena pasar dalam negeri tidak mampu menyerap industri kecil yang berorientasi hobi dan kelangenan dengan marjin yang menjamin kelanjutan usaha.

Para industriawan kerajinan ini pun banyak mengeluhkan ketergantungan mereka pada trading atau pihak pengepul untuk ekspor karena keterbatasan kemampuan mereka untuk bisa berhubungan langsung dengan pembeli (buyer) dan pengguna (user) di luar negeri. Menurut mereka, sangat sedikit yang dilakukan pemerintah, misalnya, memfasilitasi mereka untuk tujuan itu. Banyak birokrat justru memberi peluang monopoli kepada para trading yang sudah mapan sehingga mempersulit munculnya para industriawan kerajinan kecil berhubungan langsung dengan pemberli dan pengguna.

Hemat saya, ada dua tantangan pokok peningkatkan ekonomi rakyat dan melindungi mereka dari kapitalisme global. Pertama, secara politik harus ada keperpihakan dalam industrialisasi yang memberikan akses dan kesempatan kepada rakyat untuk ikut dalam proses industrialisasi. Kedua, harus ada usaha mencari jalan atas kreativitas masyarakat dalam industri kerajinan maupun hasil pertanian bagi peluang ekspor, sehingga mereka memperoleh marjin yang cukup untuk hidup berkelanjutan. Orientasi yang terlalu besar pada penyediaan modal tanpa diimbangi peluang pasar, justeru berisiko menjebak mereka pada hutang yang tak terbayar.

Ini saatnya ormas Islam untuk menempatkan diri kembali dalam usaha meningkatkan ekonomi rakyat dan merebut kesempatan dari monopoli kapitalisme global. Kritik presiden mestinya menjadi asa bagi ormas Islam untuk ini.

Penulis adalah Direktur Eksekutif the WAHID Institute.

Muhammadiyah Menjawab Tantangan Global

Selasa, 28-Juni-2005, 01:34:26 239 klik


Stagnasi pemikiran tidak selayaknya terjadi pada Muhammadiyah yang telah lama menyatakan diri atau dicap orang lain sebagai gerakan tajdid.


DALAM catatan sejarah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan bukan sekadar untuk tempat berkumpul, tetapi mengemban misi mulia. Muhammadiyah bukan satu organisasi yang fokus pada persoalan-persoalan parsial, tetapi Dahlan menginginkan Muhammadiyah senantiasa memadukan dua kekuatan utama dalam menjalankan roda organisasinya, yaitu antara aktivisme dan intelektualisme.

Dua kekuatan ini senantiasa menjadi spirit berjuang para kader dalam persyarikatan. Dari sisi aktivisme, Muhammadiyah membakukannya dalam sebuah tata aturan organisasi (AD/ART) yang melandasi terbentuknya sebuah ranting atau cabang Muhammadiyah baru. Cara ini ditempuh untuk mengantisipasi para kader yang mendirikan level pimpinan baru tanpa diimbangi dengan sebuah amal saleh yang nyata.

Karenanya, amalan-amalan sosial, baik itu sekolah (mulai TK, SLB hingga perguruan tinggi), rumah sakit (mulai rumah bersalin hingga rumah sakit elite), panti asuhan (mulai bayi sehat hingga panti jompo), terlebih masjid dan yang lainnya, adalah suatu keharusan bagi Muhammadiyah. Jadi bisa dipastikan tidak ada Cabang Muhammadiyah di mana pun di tanah air ini yang tidak memiliki amal sosial.

Selain beragam amalan di atas, Muhammadiyah juga senantiasa melakukan berbagai pembaharuan pemikiran (tajdid) guna memberikan pencerahan kepada umat tentang berbagai kandungan

Alquran maupun Alhadis untuk bisa dijadikan panduan hidup sepanjang zaman. Walaupun pada sisi ini Muhammadiyah, kata Ahmad Fuad Fanani, Republika (3/12), mengalami pergeseran. Pencerahan yang diharapkan dan pernah dipraktikkan Dahlan dahulu, kini tidak tampak lagi. Sehingga kata Fuad, banyak pengamat yang mengatakan Muhammadiyah sedang mengalami stagnasi pembaharuan pemikiran.

Untuk mengakhiri stagnasi ini, muncul pendapat dari kalangan internal, untuk sejenak menghentikan berbagai pembangunan amal usaha. Cara ini dilakukan untuk mengembalikan konsentrasi kader terhadap gerakan tajdid yang terlupakan. Penguatan intelektualitas kader secara internal penting dilakukan mengingat Muhammadiyah adalah organisasi kader yang harus sangat memperhatikan kualitasnya.

Stagnasi pemikiran ini tidak selayaknya terjadi pada Muhammadiyah yang telah lama menyatakan diri atau dicap orang lain sebagai gerakan tajdid. Karenanya, guna menyegarkan kembali pemikiran tersebut, perlu konsentrasi khusus dan perhatian dari semua kalangan. Langkah ini tepat diambil, mengingat perkembangan zaman yang semakin kompleks dengan persoalan mulai yang kecil hingga yang sangat besar, perlu segera dijawab oleh Muhammadiyah.

Tantangan global

Tidak seperti yang dihadapi Dahlan dahulu, persoalan hari ini jauh sangat kompleks dan global. Karenanya perlu pemikiran lebih dengan analisis dan strategi baru terhadap persoalan tersebut agar lebih tepat sasaran. Kalau yang menjadi persoalan dulu yaitu tahayul, bid'ah, dan churafat (TBC), bukan berarti hal itu tidak ada hari ini. Tetapi segala bentuk TBC tersebut kini muncul dengan bentuk dan cara baru. Sedangkan definisi TBC yang didefinisikan Muhammadiyah sejak lama, hari ini hanya menjadikan Muhammadiyah semakin tidak akrab dengan budaya lokal dan dituduh sebagai kelompok asing yang senantiasa memberantas tradisi budaya lokal.

Panti asuhan dan berbagai lembaga sosial lainnya yang ada di Muhammadiyah bukan tidak perlu lagi, hanya yang menjadi persoalan ketika Muhammadiyah kini tidak juga beranjak dari definisi tentang siapa sebenarnya yang disebut dengan mustad'afin dan siapa yang disebut dengan anak yatim, atau orang-orang lain yang perlu dibantu juga dibela itu. Orang miskin dalam definisi Muhammadiyah dulu (karena sesuai dengan kondisinya), tidak luput dari anak-anak yang berasal dari orang tua tidak mampu atau sudah ditinggal orang tuanya dan biasanya berasal dari pedesaan.

Sedangkan miskin dalam konteks global tentunya berbeda dengan zaman Dahlan. Karenanya semakin berkembangnya panti asuhan Muhammadiyah tidak juga semakin memperkecil jumlah orang miskin di negeri ini. Sebab bagaimanapun Muhammadiyah tidak menyadari akan pergeseran definisi miskin hari ini.

Pada masyarakat global, orang-orang yang perlu dibela adalah mereka yang secara langsung maupun tidak langsung sudah menjadi bagian dari korban globalisasi. Paradigma kapitalisme pada masyarakat global telah jelas-jelas melahirkan catatan panjang berupa masyarakat yang semakin miskin dan termarginalkan.

Berkolusi dengan kekuasaan, kekuatan kapitalis semakin sistematis dalam mematikan berbagai potensi masyarakat bawah yang tidak memiliki modal apa-apa. Masyarakat semakin tersiksa dengan tantangan kaum kapitalis untuk bersaing dengan kekuatan yang sangat besar. Alih-alih masyarakat bawah semakin tak berdaya dengan akses yang makin minim. Dan kini, kondisi masyarakat miskin di negara kita semakin masif, bukan hanya di pedesaan, tetapi juga di berbagai kota.

Kini komunitas miskin kemudian menciptakan semacam lapangan kerja baru, namun bagi pemerintah dianggap sebagai persoalan. Di perdesaan, para petani semakin miskin ketika berbagai kebijakan tidak menunjukkan keberpihakan kepadanya. Dengan harga pupuk yang tinggi sedangkan harga jual gabah sangat rendah, baginya tidak lain sebagai bentuk pemiskinan sistemik yang terencana.

Begitu pun dengan para petani lainnya dengan jenis tanaman berbeda. Pada sisi lain, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan dengan melakukan impor beras, gula dan kebutuhan lainnya dalam jumlah sangat besar. Ironisme ini dilakukan di saat masyarakat sedang membutuhkan pasar pada musim panen. Mereka tidak bisa apa-apa kecuali mengurut dada, dan hanya berharap kepada pemerintah untuk melakukan perbaikan kebijakan demi kesejahteraan hidup diri dan keluarganya.

Kemiskinam masif akibat dunia kapitalisme berakibat kepada tindakan-tindakan negatif. Razia para aparat penertib terhadap para pekerja seks komersial (PSK) misalnya, selalu berbuntut kepada alasan kemiskinan. Begitu pun dengan anak jalanan dan pengemis yang mewarnai hampir di semua ruas jalan. Jelas mereka adalah korban kapitalisme.

Pembangunan mal-mal di berbagai sudut kota menyebabkan pedagang kecil semakin terpinggirkan, sehingga mereka kehilangan tempat jualan karena penggusuran dengan rayuan akan diberikan lahan jualan setelah mal itu dibangun. Apa yang terjadi, setelah mal dibangun, harga sangat tinggi dan pedagang hanya menjadi pedagang kaki lima (PKL). Ketika menjadi PKL, mereka kembali dihantui berbagai ancaman akan digusur oleh pemda setempat. Begitulah nasib mereka hingga kehabisan cara untuk mencari sesuap nasi pun. Sedangkan pada tingkat yang ekstrem, kemiskinan terkadang semakin menambah jumlah pelaku kejahatan.

Zaman global, selain telah memiskinkan masyarakat dari sisi finansial, juga telah merugikan masyarakat secara budaya. Kini budaya lokal semakin terkikis ditelan budaya global yang mengedepankan hedonisme dan glamorisme. Budaya global ini bebas nilai, karenanya bersifat destruktif. Kompetisi pada zaman global sangat ditentukan oleh tingkat kemegahan dunia dan materi. Di sini muncul penilaian, meskipun kemajuan itu pada dasarnya netral begitupun dengan globalisasi, maka yang berkuasa pada akhirnya adalah dominasi itu sendiri.

Melalui media massa, globalisasi juga telah memberikan pelajaran tentang pergaulan dan gaya hidup. Pergaulan kelompok menengah, kelompok ABG gedongan, kelompok eksekutif, kelompok anak-anak muda sukses, kelompok anak orang kaya, dan masih seribu satu contoh kelompok yang dibangun atas dasar gengsi. Biasanya kelompok-kelompok ini mempunyai tata aturan tersendiri dalam mendefinisikan keperluan sehari-hari. Ke mana harus menonton, ke mana harus berjalan-jalan, ke mana harus makan, kafe mana yang dianggap kelasnya untuk kongkow-kongkow, dan lain sebagainya. Itu semua tidak lepas dari pengaruh gaya global, yang sesungguhnya tidak islami.

Walaupun Muhammadiyah memiliki banyak lembaga pendidikan, tetapi hingga kini, rata-rata pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Pada masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, sesungguhnya kita tidak bisa menyimpan banyak harapan. Akibat pendidikan yang rendah, malah masyarakat kita selalu menjadi masyarakat pemimpi besar, misalnya ketika ingin cepat kaya, maka yang dilakukan adalah menjerumuskan diri dalam kebiasaan berjudi. Kini tradisi ini bukan hanya di perkotaan juga merambah ke desa-desa.

Cara lain yang halal tetapi kurang tepat adalah persoalan TKI atau TKW yang hingga hari ini menjadi bulan-bulanan. Dengan pendidikan rendah dan keterampilan alakadarnya, para TKI atau TKW selalu memberanikan diri untuk datang ke negeri orang. Modal nekat inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu --bahkan pada taraf tertentu, pemerintah juga ikut memanfaatkan-- untuk meraup keuntungan.

Sebab dari keberangkatan para TKI atau TKW ke luar negeri, dapat mendapatkan devisa yang sangat besar. Sedangkan di sisi lain, kondisi dan kesejahteraan TKI atau TKW tidak diperhatikan sama sekali. Keberadaan TKI atau TKW sering kali diperlakukan sebagai budak tidak berharga, hingga diperlakukan layaknya binatang. Nyawa mereka seolah tidak berharga, karenanya, tidak sedikit nyawa melayang akibat persoalan sepele (apalagi yang tidak diketahui publik).

Salah satu prestasi bangsa Indonesia yang harus segera distop oleh Muhammadiyah adalah masih bertenggernya Indonesia menduduki peringkat pertama untuk kejuaraan korupsi di Asia. Sedangkan pada level dunia, negeri ini pun masih menduduki prestasi papan atas. Kemungkaran ini turut membentuk suatu tatanan yang jelas memiskinkan rakyat jelata. Kalau korupsi masih juga menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan kita, maka tidak ada jalan lain bahwa Muhammadiyah memiliki peran strategis dalam melakukan aksi-aksi kritis, sebab tidak memiliki beban apapun terhadap pemerintah selain menjalankan agenda kerakyatan dan keumatan secara universal.

Pertanyaan lain kepada pemerintah yaitu berkenaan dengan illegal loging. Hutan kita terus dijarah secara tidak legal oleh para pemilik modal -- yang terkadang berkolusi dengan pemegang kebijakan -- tanpa memperhatikan kelangsungan hutan dan masyarakat sekitar. Dan hingga kini, sudah jutaan hektare lahan yang ada di nusantara hanya menjadi tanah tandus sehingga tidak bisa diambil manfaat oleh siapapun. Bukankah pemerintah memiliki kewajiban untuk memelihara dan melestarikan hutan. Dan bukankah semuanya hanya diperuntukkan bagi kemakmuran rakyatnya. Tetapi yang terjadi sebaliknya.

Tugas Muhammadiyah

Segudang persoalan bangsa memerlukan partisipasi seluruh elemen bangsa. Muhammadiyah sebagai organisasi modern dengan gerakan tajdid-nya, juga memiliki tugas untuk mencurahkan segala kekuatan yang ada untuk kepentingan-kepentingan umat dan kebangsaan secara makro. Muhammadiyah tidak lagi terjebak kepada rutinitas internal yang kurang mencerdaskan dan tidak mampu menjawab persoalan global.

Dengan potensi yang ada, Muhammadiyah dapat memainkan peran yang lebih besar, misalnya dalam menciptakan good governance di negeri ini. Organisasi kemasyarakatan yang besar dan modern seperti Muhammadiyah, tidak sepatutnya terjebak kepada agenda-agenda rutin internal konvensional, tetapi juga lebih berperan dalam berbagai urusan publik seperti persoalan HAM, jender, demokratisasi dan globalisasi.

Kalau ini yang terjadi, maka harapan Syafi'i Maarif (Ketua PP Muhammadiyah) pada pembukaan tanwir lalu, bahwa Muhammadiyah ingin agar bangsa ini tetap utuh, tidak terkeping-keping dan tidak terlalu lama berada dalam keadaan pingsan di bawah ancaman berbagai jenis penyakit sosial yang kronis, juga agar negeri ini cepat siuman, segera menyadari segala dosa dan dusta yang telah merusak sendi-sendi akhlak dan moral kita selama ini karena terlalu berorientasi kepada segala yang bercorak fisik dan materi sangat menggoda itu, cepat terwujud. Artinya kita berharap dengan peran Muhammadiyah yang maksimal, bangsa yang besar ini dapat terhindar dari berbagai jebakan global yang telah merugikan banyak pihak.***

Oleh RONI TABRON
Iktivis JIMM dan Penggiat Tepas Institute.