Kamis, 20 Maret 2008

Muhammadiyah dan New Cultural Movement

Oleh: Samsul Hidayat


Kritik yang dilontarkan M. Amien Rais dan A. Syafi'i Ma'arif pada sidang Tanwir Muhammadiyah (26 April 2007), bahwa umat Islam (termasuk Muhammadiyah) semakin tidak sanggup bersaing di era globalisasi bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Hal ini terbukti dengan lambannya umat Islam dalam memproduksi sumber daya insani yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga gagal bersaing dengan derasnya arus peradaban Barat yang hegemonik.

Memang sulit untuk dibantah bahwa tafsir sosial Muhammadiyah pernah mampu menghadapi serangan modernitas dan imperialisme kolonial Belanda dengan "politik kebudayaan", dimana gerakan kebudayaan sebagai siasat perlawanan terhadap dominasi asing dikembangkan melalui pendirian lembaga-lembaga pendidikan, sosial dan ekonomi yang merepresentasikan kekuatan yang menegasikan ancaman kolonialisme sekaligus mengafirmasi dimensi penguatan dan oposisional masyarakat Islam pada saat itu.

Namun belakangan dakwah Muhammadiyah terkesan melambat dan kehilangan gairah. Alih-alih memperkuat basis dakwah, para kader dan simpatisan Muhammadiyah tidak sedikit yang terjebak dalam ritual amal usaha, atau bergumul dalam politik praktis yang temporer, instrumental dan partisan. Ironisnya lagi, para kader yang menjadi pengurus partai politik dan anggota legislative terbukti tidak banyak memberikan kontribusinya pada Muhammadiyah.

Selain itu, penyebab lambatnya gerak dakwah Muhammadiyah adalah karena budaya warga Muhammadiyah yang lebih mudah memahami konsep purifikasi (tanzih) yang mengedepankan logika hasil ketimbang proses. Hal ini nampak dari kebiasaan warga Muhammadiyah yang menjustifikasi persoalan budaya lokal dengan klaim-klaim yang bersifat memvonis, seperti dengan menyebut tahayyul, bid'ah dan khurafat pada budaya lokal yang semestinya dapat dipahami secara santun dan bijaksana.

Sejak tahun 2002 Muhammadiyah kemudian menggagas strategi baru dakwah yang lebih toleran dan kontekstual yang dikenal dengan istilah Dakwah Kultural. Latar belakang gagasan ini adalah bahwa dinamika sosial-budaya dan perkembangan peradaban yang semakin kompleks sehingga diperlukan piranti ikhtiar atau kreativitas dari masyarakat (Fajar, 2004). Sejalan dengan tuntutan strategi kebudayaan dan perubahan sosial, konsep dakwah kultural memuat aplikasi dakwah dalam konteks lokal, ancaman budaya global, apresiasi seni, tantangan multimedia, dan gerakan jama'ah dan dakwah jama'ah.

Berbeda dengan dakwah politik, maka dakwah kultural dalam melakukan transformasi kehidupan umat Islam tidak menempuh jalur politik (praktis), melainkan melalui revitalisasi kultural, yakni lebih menekankan tampilnya Islam sebagai sumber etik dan moral serta landasan kultural dalam kehidupan berbangsa. Maka pada domain ini, dakwah kultural dipahami sebagai "upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya" (Tanwir 2003).

Sayangnya, pengejawantahan dakwah kultural ini terkesan setengah hati dan belum maksimal. Banyak warga Muhammadiyah yang masih khawatir jika konsep dakwah kultural ini akan memberangus otentisitas dan menyuburkan sinkretisme, karena memanfaatkan kultur lokal sebagai medium dakwah sama saja dengan merusak kemurnian Islam yang selama ini diyakini warga Muhammadiyah.

Sebenarnya Muhammadiyah memiliki dua arah gerakan sekaligus, yaitu purifikasi (tanzih) dan pembaruan (tajdid). Selain menfokuskan pada persoalan yang telah mahdhah (sentripetal), Muhammadiyah juga menggarap persoalan yang terbuka untuk di-ijtihad-kan (sentripugal). Faktanya wilayah garapan Muhammadiyah mengalami ketimpangan orientasi, dan akibatnya Muhammadiyah lebih dikenal memiliki corak keagamaan yang keras, sinis dan kurang apresiatif pada lokalitas.

Hal ini tentu saja berdampak buruk bagi Muhammadiyah sendiri karena umat yang awam tentang kemurnian Islam menjadi trauma karena melihat citra Islam yang nampak ganas dan cenderung memaksa, dan dampaknya justru semakin menjauhkan orang dari pola-pola pemikiran Islam ala Muhammadiyah.

Melalui dakwah kultural, Muhammadiyah berupaya menghadirkan wajah Islam yang santun dan bijaksana terhadap budaya lokal. Sebagai sebuah pendekatan, maka dakwah kultural berupaya memahami keberislaman umat dalam konteks sosio-antropologis. Sementara sebagai metode, maka dakwah kultural memanfaatkan kultur lokal sebagai media dakwah. Dengan demikian dakwah kultural tidak bermaksud merusak ajaran Islam melalui persentuhan dengan budaya lokal, namun hanya sebatas medium untuk menjembatani puritanisme Islam dengan tradisi keagamaan turun temurun masyarakat Islam.

Artinya walaupun dakwah kultural menggunakan medium lokalitas, namun Muhammadiyah tetap berpegang pada prinsip purifikasi sebagai orientasi keagamaannya. Hanya saja dibutuhkan perubahan metodologi agar praktek dakwah menjadi lebih apresiatif dan bersahabat dengan tradisi yang ada. Menurut Mu'arif (2005) perubahan tersebut menyangkut cara pandang, sikap inklusif dan perantara yang selama ini terabaikan. Pertama, cara pandang yang selama ini lebih berorientasi pada hasil melalui justifikasi pada klaim-klaim tertentu sehingga menutup ruang dialog, sudah saatnya diubah dengan memperhatikan proses yang berkembang di dalamnya. Dengan proses maka akan terbuka peluang mendiskusikan kembali persoalan yang muncul, sehingga diharapkan akan meminimalisir terjadinya konflik antar umat.

Kedua, warga Muhammadiyah perlu mengedepankan sikap moderat dan inklusif, yaitu berupaya melihat persoalan secara seimbang dengan mengambil sisi manfaat dan memahami sisi mudharatnya untuk kemudian mengedepankan penyelesaian dengan nalar yang sehat tanpa sikap curiga apalagi menghakimi. Ketiga, apa yang disebut sebagai perantara dalam berdakwah adalah perangkat sosial yang meliputi norma, cara pandang, adat istiadat dan sebagainya. Sehingga untuk menghindari image bahwa Islam adalah anti-realitas dan tidak membumi, maka yang perlu dilakukan adalah pengenalan yang mendalam terhadap kondisi sosio-kultural sebuah daerah, memahami kondisi psikologis masyarakat, dan selanjutnya memetakan langkah-langkah strategis termasuk metode penyampainnya.

Dengan perubahan gerakan ini, Muhammadiyah diharapkan dapat lebih leluasa mengembangkan sayap dakwahnya secara lebih progresif dan dinamis sehingga mampu menjawab tantangan dan dampak globalisasi yang semakin kuat. Saat ini, Muhammadiyah juga sudah seharusnya merambah wilayah-wilayah publik yang selama ini kurang mendapat prioritas. Seperti isu budaya global dan dunia multimedia-digital mewajibkan Muhammadiyah hadir sebagai subyek sejarah dalam arus globalisasi. Isu krisis pembangunan, kemiskinan, ketenagakerjaan, kasus penggusuran, masalah kesejahteraan buruh dan petani, lingkungan, KKN, civil society, dan good governance merupakan tantangan sekaligus artikulasi dakwah sosio-kultural baru bagi gerakan Muhammadiyah yang berporos pada paradigma kebudayaan baru.

Penulis adalah:Mahasiswa S3 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

REFLEKSI DAKWAH KULTURAL MUHAMMADIYAH

Muhamadiyah sejak dahulu dianggap sebagai icon pembaharu dan organisasi modern yang menonjol dalam dakwah sosial dan dakwah pendidikan. Terbukti dengan berdirinya lembaga sosial, lembaga pendidikan dan amal usaha lainnya diseluruh Indonesia, bahkan bisa menembus wilayah regional Asia Tenggara. Tentu saja prestasi ini sangat luar biasa sekali dan bahkan diakui didunia internasional menjadi pembaharu pergerakan Islam dengan gerakan tajdid-nya.

Namun aktifitas dakwah dan gerakan tajdid Muhammadiyah ini akhir-akhir terasa kurang geregetnya dalam menjaring kader baru persyarikatan yang bukan hanya sekedar seorang organisatoris, tapi juga seorang yang kader yang kafa’ah keagamaannya sangat baik, sehingga mengembalikan Muhammadiyah sebagai lumbung kader dakwah yang menghasilkan ulama yang berilyan seperti pendirinya KH Ahmad Dahlan yang melegendaris kemudian sempat terputus pada masa kepemimpinan KH Azhar Bashir, MA, yang kemudian diteruskan dengan terpilihnya Prof Dr Amin Rais, MA yang lebih menonjol kecendikiawannya dan aktifitas politiknya atau diteruskan Prof Dr. Syafii Ma’arif seorang pakar sejarah yang terkadang beliau sering membuat wacana pribadi yang orang Muhammadiyah itu sendiri saja kebingungan.

Kesadaran akan kepemimpinan ulama di Muhammadiyah baru terbuka saat terpilihnya Prof Dr. Din Syamsuddin (2005-2010) dalam Muktamar Muhammadiyah di Malang yang tidak diragukan lagi keulamaannya, dan uniknya beliau alumni Gontor (Jawa Timur) dan saat ini beliau sekretaris MUI pusat.

Selain butuhnya kepemimpinan ulama perlua adanya pengembangan dakwah jauh lebih kreatif dan mampu merangkul berbagai golongan untuk mengenal Muhammadiyah dengan pendekatan cultural, sehingga wacana baru tentang perlunya wacana dakwah kutural semakin menguat dikalangan Muhammadiyah untuk mengembalikan citra muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan gerakan dakwah. Untuk menjawab kekhawatiran bahwa Muhammadiyah terasa lamban berhadapan dengan permasalahan realitas umat seperti solidaritas palestina, pemberlakuan UU Anti pornografi fornoaksi (AFF) dan anggapan keterlenaan dalam kemapanannya jelas bisa dijadikan sebagai masukan positif bagi perkembangan Muhammadiyah dimasa yang akan datang dengan lebih membenahi pengakaderan internal dan menggiatkan dakwah keluar yang sementara ini tidak begitu bergema bahkan sekarang justru dilakukan organisasi pergerakan dakwah lain seperti Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), pondok pesantren Hidayatullah yang bisa masuk kekalangan suku terasing di Indonesia dan bersaing dengan para missionaries dan kaum zending.

Bila kita amati, para aktifis dakwah Muhammadiyah lebih dikenal masyarakat sebagai inteletual dan pengamat politik yang senang dengan kajian organisasi atau kajian ilmiah yang bersifat wacana daripada mengkritisi permasalahan umat. Sehingga saat berhadapan dengan masyarakat tradisional terkesan tidak bisa masuk bahkan untuk merubah adat istiadat yang masih berbau bid’ah, khurofat dan tahayul serasa mentok, sehingga dakwah kita masih terpaku dengan dakwah internal dengan tujuan “Me-Muhammadiyahkan orang Muhammadiyah bukan me-Muhammadiyahkan masyarakat di luar Muhammadiyah”. Ditandai dengan adanya Pengajian Muhammadiyah baik dicabang maupun tingkat daerah hanya diikuti oleh orang dan simpatisan Muhammadiyah dan belum bisa mengajak orang lain diluar Muhammadiyah untuk mengikuti pengajian tersebut. Sisi lain untuk level menengah dihadapkan dengan virus Sipilis (sekulerisme, pluralisme dan liberalisme) yang mengjangkiti kaum intelektual mudanya.

Dakwah cultural.

Alasan kenapa kita harus kembali kedakwah kutural, antara lain a) Betapa kuatnya cultural masyarakat kita sehingga sampai sekarang belum terlihat dakwah kita dimasyarakat b) semakin berubahnya tatanan strategi dakwah tradisonal, c) semakin merebaknya permasalahan social-kultural dimasyarakat d) semakin mencuatnya dan leluasanya penyimpangan dakwah e) Ketidak tegasan pemerintah terhadap lahirnya aliran-aliran sesat di Indonesia.f) semakin kuatnya kristenisasi dengan kedok budaya g) semakin kurang kristolog-kristolog muda Muhammadiyah

Kesulitan Dakwah

Beberapa Alasan kenapa dakwah kita sedikit terhambat antara lain :

Kesulitan pertama, Persyarikatan kita kurang sekali memiliki kader dakwah bila dibandingkan dengan jumlah kader organisasi semakin melimpah apalagi semasa kepartaian tahun 1999. Kesulitan menemukan kader dakwah sebagaimana yang dicita-citakan KH Ahmad Dahlan sebenarnya telah disadari persyarikatan yang salah satunya dengan mendirikan pesantren unggulan Muhammadiyah salah satunya dengan masih adanya sekolah Mualimin Mualimat (Yogyakarta), Pesantren Modern Darul Arqom (Garut) yang bisa menghasilkan calon da’I ataupun beasiswa bagi putra-putri Muhammadiyah untuk jurusan tarjih di UMM (Malang). Tapi belum begitu maksimal memasok kebutuhan kader berkualitas sebagaimana kita bandingkan dengan organisasi Nakhdatu Ulama dengan pondok Gontor Darussalam yang bisa mengahasilkan da’i-da’i berkualitas ataupun pengakderan praktis dan informal, tapi bisa mengisi terbentuknya da’i-da’i muda, padahal kajian dakwah lingkup kecil dulu pernah dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah dalam mengakder para sahabatnya di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam RA dalam bentuk perkumpulan kecil yang justru dipraktikan oleh saudara kita (sejenis Halaqoh, ussar/ usroh) dan kita (orang Muhammadiyah) harus legowo mengakui keberhasilan system yang dipraktikan oleo saudara kita ini dalam bentuk pembinaan dakwah (takwin) sehingga membentuk kader dakwah yang loyal dan mencerahkan umat, bahkan malahan kita mencurigainya sebagi virus tarbiyah karena merubah fikrah kemuhammadiyahan anak-anak muda Muhammadiyah. Dengan mengurangi kejumudan kita dan bisa juga ini bagian dari gerakan tajdid, apa salahnya kita kembali dengan apa yang dicontohkan rasulullah.

Kesulitan kedua, Dakwah kita masih tertuju pada orang Muhammadiyah, belum bisa merambah keluar sehingga ideologi Muhammadiyah belum bisa merasuk ke masyarakat dengan gerakan tajdid-nya. Karena ketidak universal-nya dakwah kita, sehingga dakwah kutural inilah yang perlu kita lakukan sehingga kevakuman dakwah kita bisa menyentuh berbagai ragam masyarakat.

Kesulitan ketiga, Adanya ketidakpuasan para kader persyarikatan menyebabkan adanya perubahan medan dakwah, dimana dakwah kita masih saja mengandalkan kaderisasi disekolah-sekolah, sementara saudara kita sudah mencari market lain yang ternyata dimasyarakat masih terbuka, seperti startegi dakwah cultural dengan disertai revitalisasi dakwah mulai barisan terbawah yaitu dicabang-ranting dan ortom AMM perlu menjadi prioritas pertama dengan syarat harus mempersiapkan kader muda yang militan dan loyal terhadap persyarikatan, perbaikan lain perlu adanya revisi materi Kemuhammadiyahan yang lebih menyentuh terciptanya loyalitas/komitmen dan ketertarikan pada pengembangan Muhammadiyah dimasa yang akan datang. Sehingga ketidakpuasan banyak kader kita yang beralih ke organisasi lain yang bisa mengisi kehausan spiritual yang belum ditemukan di Muhammadiyah bisa dikurangi dengan sikap bijak dengan tidak menyalahkan manhaj lain, Artinya kita perlu mengadakan re-inventing dan benchmarking dakwah Muhammadiyah dengan melihat perkembangan dan keberhasilan dakwah organisasi Islam lainnya. Artinya kita harus berguru dan siap menerima kekurang-kekurangan ini sebagai sebuah refleksi dakwah, bukan melahirkan penghujatan yang sebenarnya bukan karakteristik orang Muhammadiyah yang modernis dan tidak jumud serta siap menerima perubahan medan dakwah yang dari hari ke hari semakin bergeser, sehingga kelemahan-kelemahan kita bisa kita terima dengan bijak dan dengan hati yang legowo sebagai sebuah dinamika dakwah. Selama masih ada control dan perhatian yang baik, layaknya seorang bapak terhadap anaknya dan kita bersama benahi system pengkaderan kita dimasa yang akan datang.

Dakwah Kultural Membendung Radikalisme Oleh Zuly Qodir


“Tetapi apa yang akan terjadi jika NU dan Muhammadiyah tidak dengan sigap dan segera melakukan counter atas bangkitnya gejala radikalisme di kalangan Islam? Hemat saya tidak ada lain kecuali, NU dan Muhammadiyah sangat mungkin dituduh berada dibalik seluruh aktivitas kaum radikal yang beberapa personalnya telah ditangkap dan dijatuhi hukuman baik hukuman mati maupun hukuman seumur hidup, di dalam negeri atau di luar negeri”

Pencitraan Islam adalah agama kekerasan, tidak ramah dan intoleran oleh negara-negara Barat memang menjadikan beban psikologis umat Islam Indonesia sangat dalam. Lebih lagi ketika pencitraan tersebut berujung pada kata Islam adalah teroris. Mengapa ada citra demikian pejoratif atas Islam, inilah yang kemudian coba dieliminir oleh Lembaga Dakwah NU dan Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah dengan menggelar The Jakarta International Islamic Conference: Strategi Dakwah Menuju Ummatan Wasathan dalam Menghadapi Radikalisme 13-15 Oktober 2003.

Menarik apa yang dilakukan dua lembaga di bawah payung organisasi Islam terbesar di dunia, bukan saja di Indonesia. Mengapa, sebab pada tubuh dua organisasi Islam inilah citra Islam banyak diharapkan. Artinya, ketika NU dan Muhammadiyah tidak dapat menghadirkan “wajah Islam” yang ramah dan toleran sebagaimana harapan banyak orang, yang terjadi adalah semacam afirmasi atas gejala munculnya radikalisme Islam di Indonesia seperti belakangan marak sejak tiga tahun terakhir.

Sungguh berat beban NU dan Muhammadiyah memang harus diakui. Tetapi jika tidak berupaya dengan segera dan strategis maka citra Islam sebagai agama penabur kekerasan dan kebinasaan akan semakin kental, sehingga secara tidak langsung merongrong kewibawaan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin akibat reduksi dari umat Islam sendiri yang sebenarnya sama sekali tidak mencerminkan representasi jamaah terbesar umat Islam Indonesia.

Nilai strategis
Dalam konteks itulah, The Jakarta International Islamic Conference yang diselenggarakan LDNU dan MTDK PP Muhammadiyah dengan menggagas strategi dakwah Islam membendung radikalisme menemukan signifikansinya. Signifikan dari segi isu yang diangkat, serta signifikan dari segi populasi jamaah Islam Indonesia.

Jika apa yang telah dibahas dalam conference selama tiga hari dapat berjalan dengan lancar dalam arti tersosialisasikan ke tengah umat, maka tidak khayal lagi akan ada semacam “semangat baru” dalam tubuh umat Islam yang tengah tercabik-cabik dengan isu radikalisme dan terorisme. Tentu saja radikalisme dan terorisme bukan menjadi tujuan orang berislam, tetapi dengan munculnya gejala ini menjadikan bagian kecil dari Islam seakan-akan memiliki tujuan hidup menjadikan umatnya sebagai teroris.

Dari sinilah kemudian bahaya-bahaya redusir atas paham-paham tasamuh, persaudaraan, kerjasama, keselamatan dan rahmat menjadi semakin nyata adanya. Celakanya adalah dikonstruksikan oleh mereka yang merasa sebagai “pembela Tuhan”, sehingga orang yang tidak berada dalam pahamnya dianggap sebagai “musuh Tuhan” sehingga pantas untuk dilenyapkan, sebab halal darahnya. Sesama umat Islam bahkan dapat saling baku bunuh karena merasa mempertahankan kebenaran yang dipikulnya. Prinsip-prinsip sesama umat Islam adalah saudara acapkali tersingkir oleh egoisme kelompok yang membara dan menggebu-gebu, tanpa rasionalitas yang jelas.

NU dan Muhammadiyah jelas terpukul dengan klaim-klaim sebagian kecil umat Islam yang semacam itu. NU dan Muhammadiyah memang sudah seharusnya tidak rela atas klaim yang dilakukan sekelompok umat Islam Indonesia yang atas nama membela Tuhan menghancurkan citra damai, ramah dan bersaudara dari misi profetik Islam.

Tetapi apa yang akan terjadi jika NU dan Muhammadiyah tidak dengan sigap dan segera melakukan counter atas bangkitnya gejala radikalisme di kalangan Islam? Hemat saya tidak ada lain kecuali, NU dan Muhammadiyah sangat mungkin dituduh berada dibalik seluruh aktivitas kaum radikal yang beberapa personalnya telah ditangkap dan dijatuhi hukuman baik hukuman mati maupun hukuman seumur hidup, di dalam negeri atau di luar negeri.

Oleh sebab itulah, The Jakarta International Islamic Conference LDNU dan MTDK PP Muhammadiyah buat saya sungguh tepat dan mengenai sasaran. Sekali lagi tinggal bagaimana hubungan mesra sebagai bentuk “bulan madu” babakan baru NU-Muhammadiyah dapat terus berlangsung di negeri ini, sehingga dua ormas Islam terbesar ini mampu menampakkan pada publik di level internasional bahwa Islam bukanlah sebagaimana yang mereka citrakan selama ini; Islam sebagai teroris dan kelompok radikal yang kerjanya menganggu keamanan negara lain, atau dalam negeri.

Sebagai jamaah Islam terbesar, memang NU dan Muhammadiyah terlalu sering mendapatkan pekerjaan rumah yang berat, bahkan menohok ulu hati sehingga jika tidak berhati-hati merespon akan menjadi bumerang pada NU dan Muhammadiyah sendiri. Sudah bergerak pun masih diperolok-olok tidak strategis, tidak responsif, dan sejenisnya yang jika ditelusuri ujung-ujungnya adalah hendak mendeskreditkan NU dan Muhammadiyah.

Barangkali memang tidak adil juga menumpahkan seluruh harapan pencitraan Islam Indonesia hanya kepada NU dan Muhammadiyah. Tetapi, berharap kepada ormas Islam yang lainnya juga belum tentu mendapatkan afirmasi positif tentang keinginan mayoritas umat. Inilah problem yang sebenarnya menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam Indonesia.

Dakwah Kultural
Tatkala sebagian besar perhatian kita tercurahkan pada perhelatan politik menjelang Pemilu 2004, maka kehadiran LDNU dan MTDK PP Muhammadiyah bergerak dalam wilayah dakwah Islam menjadikan bangsa ini tidak saja bergerak pada aras politik, tetapi kultural.
Dakwah kultural—tanpa perlu saya mendefinisikan terlebih dahulu—sungguh-sungguh sebuah itikad baik yang perlu disambut oleh umat Islam Indonesia. Kita tahu bahwa NU dan Muhammadiyah juga tidak bisa imun dari masalah politik, karena itulah dakwah kultural menjadi semakin penting untuk diperhatikan dan segera dilaksanakan.

Dakwah kultural, sebenarnya sebuah gerakan dakwah yang mengusung tema-tema genuine keindonesiaan sehingga sangat kontekstual dan “membumi”. Oleh sebab itu, dakwah kultural bukanlah strategi dakwah melawan sesama umat Islam, tetapi melakukan kontekstualisasi tafsir-tafsir atas doktrin dengan problem-problem yang muncul di tengah masyarakat Islam.
Disebabkan belakangan muncul gejala kebangkitan radikalisme Islam Indonesia, maka strategi dakwah yang digagas NU dan Muhammadiyah harus tepat dengan isu yang muncul sehingga sekalipun secara tidak langsung melawan radikalisme Islam, tetap akan menjadi perimbangan dan kontrol atas radikalisme Islam itu sendiri. Tentu saja tidak semua orang paham dengan konsep dakwah kultural NU dan Muhammadiyah, tetapi sekurang-kurangnya akan menemukan common sense ketika NU dan Muhammadiyah mampu merespons masalah-masalah aktual yang muncul mengepung umat Islam.

Strategi dakwah kultural NU dan Muhammadiyah karena itu harus benar-benar dikemas untuk mencoba memberikan respons pada gejala sosial yang muncul, bukan pada masalah-masalah klasikal seperti membeberkan pada jamaah tentang ritual-ritual simbolik sebagaimana selama ini dikerjakan oleh sebagian besar ormas Islam, termasuk NU dan Muhammadiyah. Dakwah kultural NU dan Muhammadiyah hemat saya harus mengarah pada pembongkaran “kemungkaran-kemungkaran sosial” seperti terorisme dan radikalisme, korupsi dan nepotisme, kemiskinan, kebodohan serta sejenisnya.

Penutup
Jika NU dan Muhammadiyah mampu meng-create tema-tema yang menjadi bentuk “kemungkaran sosial” sungguh-sungguh akan menemukan relevansi ketika umat Islam tengah berada dalam keterasingan teologi rahmatan lil alamin yang mendamaikan dan toleran. Kemungkaran sosial harus dijadikan musuh bersama umat Islam, jangan ditunda-tunda lagi sehingga bangsa ini mampu bangkit dari keterpurukan.
Sebagai refleksi akhir, ingin saya kemukakan sekali lagi bahwa keberhasilan NU dan Muhammadiyah dalam menampilkan Islam yang damai di Indonesia, hemat saya ketika dua ormas Islam terbesar ini mampu melakukan counter atas munculnya radikalisme secara non violence, bukan dengan cara-cara violent sebab cara violent hanya akan menumbuhkan bentuk-bentuk violence lain yang bahkan lebih dahsyat.

Zuly Qodir, peserta program doktor sosiologi UGM.

Dakwah Kultural



DAKWAH BERBASIS BUDAYA LOKAL :
DAKWAH ALTERNATIF UNTUK MEMBUMIKAN AJARAN ISLAM*)


Oleh : Anjar Nugroho

Sebagai sebuah kenyatan sejarah, begitu kata Kuntowijioyo, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.

Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.

Interaksi Islam dengan budaya lokal

Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).

Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam.

Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam kita dulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.

Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.

Akan tetapi Kaitannya dengan ketegangan kreatif antara dakwah Islam dengan budaya lokal, Amin Abdullah dalam sebuah tulisan di Suara Muhammadiyah mengingatkan para pelaku dakwah sekarang ini (muballigh/da’i) untuk pandai memilah-milah mana yang substansi agama dan mana yang hanya sekadar budaya lokal. Metode dakwah al-Qur’an yang sangat menekankan “hik-mah dan mau’idzah hasanah” adalah tegas-tegas menekankan pentingnya “dialog intelektual”, “dialog budaya”, “dialog sosial” yang sejuk dan ramah terhadap kultur dan struktur budaya setempat. Hal demkian menuntut ‘kesabaran’ yang prima serta membutuhkan waktu yang cukup lama, karena dakwah ujung-ujungnya adalah merubah kebiasaan cara berfikir (habits of mind) masyarakat.

Lalu akhir-akhir ini kita melihat, misalnya, teman-teman yang mempunyai orientasi keagamaan Syiah juga menggunakan sumber daya budaya. Penulis tidak tahu apakah Haddad Alwi itu mengikuti paham Syiah atau tidak, tapi kalau saya lihat lagu-lagunya (misalnya lagu ana madinatul ‘ilm, wa-aliyyu babuha) sungguh luar biasa. Itu merupakan representasi dakwah Syiah yang memakai instrumen budaya dan hasilnya sangat efektif.

Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.

Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi.

Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala (ideografik).

Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama.

Simbol Budaya dan Nilai Agama

Demikian pula dengan ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun tahlilan. Semua pada level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna ’subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.

Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati agamanya.

Hanya saja yanag perlu dikoreksi adalah bahwa simbol-simbol (pengungkapan) tadi pada dasarnya adalah kata benda. Sedangkan menurut logika berpikir, kata benda atau simbol-simbol tadi yang sering diperdebatkan untuk kemungkinan disalahkan atau dibenarkan. Perdebatan simbol itu akan menggiring kita untuk kemudian memitoskan sesuatu.

Dengan kata lain, yang bisa dibenarkan atau disalahkan adalah pernyataan yang menyertai (kata benda tadi). Pendek kata, nyadran yang bagaimana? Ruwahan yang bagaimana? Sebab ritus-ritus tersebut, sebagai suatu simbol (pengungkapan) dapat direkayasa oleh pernyataan-pernyataan yang menyertainya. Nah, kita dapat menilainya (benar atau salah) dari pernyataan itu, bukan simbolnya. Memang itu tugas besar bagi pemikir maupun tokoh-tokoh Islam kita sekarang. Orang zaman dahulu menciptakan simbol agar perasaan kita tajam. Namun apa yang terjadi sekarang? Karena pengaruh pemikiran Barat (baca: positivisme) kita menangkap semua itu dengan visi dan paradigma positivisme. Sehingga makna yang tersembul dalam ritus-ritus itu dipahami dengan kacamata fiqih ansich. Artinya, simbol-simbol budaya yang hanya menjelaskan gejala, sering dihakimi supaya dapat menentukan hukum-hukum halal haram. Jadi sedikit banyak jelas kurang tumbuh.

Namun justru dari sinilah ummat ditantang untuk terus meningkatkan daya furqani. Dan runcingnya daya furqani itu hanya dapat dicapai oleh –seperti diungkap Damarjati Supadjar– orang yang mampu pubadiri atau megat-ruh.

Rabu, 19 Maret 2008

Digaet PDI-P?

Oleh: Prof. Dr. Ahmad Syafi'i Ma'arif


Semula saya mau diam saja tidak akan bicara apa-apa untuk publik terhadap berita seakan-akan saya telah jadi bagian dari parpol, sudah partisan dalam politik. Tetapi karena demikian luasnya tanggapan, khususnya dari para sahabat, seperti Bung Eros Djarot, Pak Soerjadi, Pak Sofjan Wanandi, Bung AM Fatwa, Pak Hasyim Muzadi, Jenderal Muchdi, teman-teman dari perguruan tinggi, Muhammadiyah, dan lintas iman, dan masih panjang daftarnya, maka saya disarankan untuk memberi penjelasan, apa hubungan saya dengan PDI-P.

Sebagai contoh baiklah saya kutip empat SMS saja dari para sahabat itu. Ada tanggapan penghibur dari Pak Soerjadi: "... saya kirim SMS dengan tulus, karena kepercayaan kepada buya tulus. Tindakan apa pun yang buya lakukan atau tidak lakukan aku percaya. Saya tidak termasuk yang heboh. (SMS 6 Agustus 2007, jam 09:51:31).

Dari Bung Eros, karena tidak ingin melihat saya "dicemari" politik kekuasaan, tanggapannya berbunyi: "Saya terpaksa menyampaikan pernyataan duka cita karena Buya Syafii M sobatku telah kehilangan keyakinan bahwa Indonesia tengah benar-benar membutuhkan kepemimpinan para tokoh yang waras lahir bathin dan bebas dari kontaminasi para manusia yang haus kekuasaan ... yah walau berduka tetap saya ucapkan Selamat ber BAITUL ria .. Salam hormat dari saya yang tetap yakin bahwa memanipulasi keimanan umat dosa hukumnya." (SMS 6-8-2007, jam 09:32:06).

Dari AM Fatwa, lain lagi nadanya: "Hati kecil saya bisa memahami dan menerima buya masuk BAMUSI/PDI-P tapi logika politik saya menimbulkan banyak pertanyaan apakah ini fenomena baru dari gerakan Islam Indonesia dan apakah buya memang sengaja melakukan terobosan." (SMS 6-8-2007, jam 15:25:14). Terbaru dari Prof Dr Wan Moh Nor Wan Daud, sahabat dari negeri jiran berbunyi; "Kalau Pak Syafii masuk PDI-P, saya mahu masuk UMNO." (SMS 16-8-2007, jam 20:02). Sangat bervariasi bukan? Setelah saya jelaskan tidak masuk PDI-P, Wan Daud katanya batal masuk UMNO. Ini mungkin hanya sekadar kelakar.

Tentu saya berterima kasih atas semua tanggapan terhadap hubungan saya dengan BAMUSI (Baitul Muslimin Indonesia). Beberapa penjelasan di bawah perlu saya berikan, agar salah paham tidak terjadi, sebab yang memberikan reaksi juga tidak sedikit, seolah-olah apa yang saya lakukan itu akan punya pengaruh politik, padahal rasanya tidak demikian. Saya melihatnya semata-mata dari segi dakwah dan kultural, tidak dari sisi lainnya.

Dalam usia setua ini, akan menjadi sangat tidak arif sekiranya saya masih berambisi masuk partai. Di saat muda dulu saya memang simpatisan berat Masyumi sampai partai ini dibubarkan akhir 1960, tetapi tidak pernah jadi anggota partai manapun hingga sekarang. Sebenarnya yang memicu kehebohan adalah berita Kompas tanggal 6 Agustus 2007, hlm 2 dengan judul: "PDI-P Gaet Syafii Maarif dan Said Agil." Judul ini terasa provokatif, seakan-akan saya sudah menjadi bagian dari PDI-P. Faktanya adalah saya tidak naik panggung untuk dilantik, apalagi pakai seragam.

Siang itu, 5 Agustus, saya diminta berbicara tentang pilar-pilar kebangsaan. Jangankan bergabung dengan PDI-P, masuk partai yang sedikit berbau Muhammadiyah saja, saya pun tidak mau. Akan sangat lucu, seorang warga sepuh, seperti saya, masih punya ambisi politik, bukan?

Kalau begitu, apa sebenarnya yang terjadi? Ada masalah etika persahabatan di sini. Sekitar Juni 2007, Profesor Hamka Haq dan teman-teman dari BAMUSI menemui saya di Maarif Institute, Jl. Thamrin, Jakarta. Saya, kata delegasi itu, diminta Ibu Megawati dan Pak Taufik Kiemas untuk menjadi salah seorang pembina BAMUSI. Dikatakan bahwa pendukung PDI-P sekitar 80 persen Muslim. Mereka inilah yang perlu diberi didikan dan pengertian Islam yang sebenarnya. Itulah tugas BAMUSI.

Persahabatan saya dengan Pak Taufik sudah berlangsung sekitar tujuh tahun. Selama saya jadi pimpinan PP Muhammadiyah tidak sedikit Pak Taufik menyalurkan bantuan dananya melalui saya. Bahkan sampai hari ini, pada saat kami membangun kembali gedung Madrasah Mu'allimin Yogyakarta yang rusak berat terkena gempa, Pak Taufik lewat adik iparnya, Drs H Herianto, saban bulan mengirimkan dana untuk madrasah pusat kader Muhammadiyah ini. Dijanjikan akan dibantu sampai rampung.

Seperti dimaklumi, Pak Taufik adalah saudagar minyak, bukan? Selama kami bergaul tidak terbayang bahwa Pak Taufik ingin menggaet saya agar bergabung dengan PDI-P, sesuatu yang memang tidak mungkin. Jadi, persahabatan kami sebatas kepentingan agama dan kultural, tidak ada sangkut pautnya dengan Pemilu 2009. Oleh sebab itu hendaklah dilihat hubungan saya dengan Pak Taufik tidak memakai kacamata satu dimensi, pasti keliru. Akhirnya, yang amat membebani otak dan batin saya adalah agar bangsa ini segera siuman, tidak hanyut dalam arus budaya kumuh dan busuk.

Sabtu, 15 Maret 2008

Muhammadiyah "Sepiring Kue"?

 
Kamis, 13 Maret 2008 | 18:06 WIB

Oleh: Totok H Yanto

(Memperbincangkan Artikel Sidiq Notonegoro dan Khoirul Fata) Membaca tanggapan Ahmad Khoirul Fata yang berjudul Muhammadiyah dan Pasar Bebas Dakwah (Kompas Jatim, 5/3) terhadap tulisan Abd Sidiq Notonegoro yang berjudul Muhammadiyah Maju, Ada yang Sakit Hati (Kompas Jatim, 15/2) penulis pandang menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Mengapa? Karena kedua penulis tampak mewakili segmen yang berbeda di dalam Muhammadiyah. Khoirul Fata tampak merepresentasikan diri sebagai wakil kelompok konservatif, sedangkan Sidiq berpihak di kelompok progresif.

Bagi Sidiq, Muhammadiyah kini kerap berinteraksi dengan kelompok Islam radikal yang disebutnya Islam transnasional. Keberadaan Islam transnasional ini dipandang sebagai ancaman bagi nama besar Muhammadiyah yang sekaligus penyandang predikat Islam modernis.

Terlebih dalam beberapa kasus, ancaman tersebut telah mengejahwantah ke dalam tindakan sehingga (menurut Sidiq) ada beberapa aset amal usaha Muhammadiyah yang kemudian berpindah tangan. Lebih dari itu, beberapa kader potensial Muhammadiyah pun termakan oleh bujuk rayunya sehingga dengan tanpa beban meninggalkan Muhammadiyah begitu saja. Karena itu, Sidiq kemudian mengingatkan warga Muhammadiyah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap pengaruh ideologi Islam transnasional ini.

Sebaliknya, Fata memandang umat Islam, termasuk juga (anggota) Muhammadiyah tidak lain adalah sasaran dakwah juga bagi kaum transnasional. Dalam pandangan Fata, eksodusnya beberapa anggota Muhammadiyah ke paham Islam baru yang diusung oleh komunitas transnasional ini merupakan hal yang wajar. Termasuk juga raibnya aset-aset Muhammadiyah merupakan sebuah keniscayaan karena Muhammadiyah saat ini sedang mengalami kegoyahan.

Cukup lumrah

Lepas dari pandangan kedua penulis di atas, ada satu kesan yang bisa saya tangkap. Di satu sisi, Sidiq yang tampak liberal (baca: progresif) masih mengedepankan Muhammadiyah secara ideologis. Memerhatikan hal ini, sesungguhnya Sidiq tidak sedang menempatkan diri sebagai kaum progresif. Sebaliknya, Sidiq justru memosisikan diri sebagai radikalis Muhammadiyah yang cukup kuat. Progresivitas pemikiran (dan dalam bagian-bagian tertentu tampak cukup liberal) yang ditampakkannya menyiratkan begitu kuatnya Sidiq dalam mempertahankan dan menjaga Muhammadiyah.

Hal ini berbeda dengan Fata, yang mungkin bukan orang Muhammadiyah. Pandangan Fata tersebut tidak menampakkan usaha-usaha untuk membela Muhammadiyah. Sebaliknya, Fata tampak lebih bangga dan cenderung membela sepak terjang Islam transnasional daripada menawarkan solusi-solusi konstruktif kepada Muhammadiyah agar terlepas dari incaran kaum trans-nasional.

Semestinya (sekali lagi bila Fata juga kader Muhammadiyah) bila ada kelemahan atau kerapuhan di Muhammadiyah, Fata lebih etis- konstruktif memberikan pemikiran-pemikiran perbaikan bagi Muhammadiyah.

Seperti di dalam tulisannya, Fata tampak memandang Muhammadiyah tidak lebih dari "sepiring kue" yang absah untuk diperebutkan oleh siapa saja. Di mana "sepiring kue" tersebut merupakan kue umum yang boleh dinikmati oleh siapa saja dan dengan cara apa saja.

Fata tampak bangga dengan besarnya kekuatan-kekuatan transnasional. Dalam pandangan Fata, perkembangan kekuatan Islam transnasional yang relatif cepat tersebut dipandang sebagai satu bentuk kesadaran umat untuk menemukan Islam yang sesungguhnya.

Namun, ada satu hal yang tidak dicatat (atau sengaja untuk tidak diekspos?) oleh Fata, sejauh mana metode yang dipraktikkan oleh kelompok transnasional tersebut. Apakah sudah menggunakan metode dakwah sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW atau belum? Misalnya, berkaitan dengan etika atau sopan santun dalam dakwah. Akan tetapi, bila Fata memandang merekrut massa dari kereta Muhammadiyah menjadi hal yang lumrah, maka penulis dapat mengatakan sebagai strategi dakwah yang cenderung menghalalkan segala cara.

Pasar bebas

Sesungguhnya bukanlah perilaku dakwah yang mengedepankan unsur- unsur etis bila memandang Muhammadiyah sebagai "sepiring kue". Bahwa mengajak warga Muhammadiyah agar mau berpindah ideologi (ke transnasional) adalah hal yang cukup lumrah. Akan tetapi, bila cara mengajak tersebut disertai dengan klaim-klaim atau memandang sesat paham Muhammadiyah, maka transnasional pun tidak ubahnya organisasi- organisasi lain yang menjauh dari norma-norma Islam itu sendiri.

Ada satu hal yang menarik dari Fata yang memandang Muhammadiyah sebagai bagian dari "pasar bebas". Padahal, dalam tulisannya, Fata tampak menyiratkan diri sebagai sosok "antiliberalisme". Namun, wacana "pasar bebas" dakwah yang dilontarkannya secara tidak langsung mengamini keabsahan paham liberalisme. Sebab, lahirnya sistem dan istilah "pasar bebas" tidak bisa dilepaskan dari kelahiran paham liberalisme itu sendiri.

Tampaknya inilah kesuksesan kaum progresif di dalam meng-counter pemikiran-pemikiran kaum konservatif yang sangat membenci pengikut Islam progresif. Sampai-sampai mereka menyebarkan istilah-istilah yang tidak etis kepada kader Islam progresif. Misalnya, mengakronimkan sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme dengan istilah Sipilis.

Hal ini secara tidak langsung seperti apa yang terjadi dengan Muhammadiyah. Untuk menjadikan seseorang bermoral seperti Muhammadiyah, tidak harus menjadikan mereka menjadi anggota Muhammadiyah (yang dibuktikan dengan pemilikan kartu anggota). Namun, cukup menjalankan praktik-praktik peribadatan dan sistem pemikiran seperti apa yang dilakukan Muhammadiyah.

Maka kalau disimpulkan, langkah-langkah pioner transnasional di Indonesia dalam memasarkan ideologinya ternyata tampak lebih liberal daripada mereka yang selama ini dicap sebagai kaum liberalisme oleh kalangan konservatif radikal.

Totok H Yanto Pemerhati Sosial Keagamaan, Tinggal di Sidoarjo

 

"Common Enemy" Baru Muhammadiyah

 
Jumat, 14 Maret 2008 | 19:06 WIB

Oleh Maf'ul Farida

Diskusi antara Abd Sidiq Notonegoro (Kompas Jatim, 15/2) dengan Ahmad Khoirul Fata (Kompas Jatim, 5/3) tentang Muhammadiyah dan gerakan Islam transnasional memang cukup menarik, mengingat ketegangan antara keduanya akhir-akhir ini semakin mengeras dengan aksi "bersih-bersih" yang dilakukan Muhammadiyah.

Dengan alasan menyelamatkan asetnya, Muhammadiyah memberikan pilihan hitam-putih kepada kadernya, tetap aktif di Muhammadiyah atau keluar dan ikut gerakan Islam transnasional (GIT).

Selain Muhammadiyah, kekhawatiran terhadap GIT sesungguhnya juga dirasakan oleh organisasi masyarakat lain, seperti Nahdlatul Ulama (NU). Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Hasyim Muzadi pernah meminta warga NU untuk waspada terhadap GIT karena dianggap membahayakan ideologi NU dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasyim juga meminta pemerintah untuk bertindak tegas terhadap GIT, misalnya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Al-Ikhwan Al-Muslimun (Tarbiyah/PKS/KAMMI/kelompok halaqah).

Namun, dalam kasus Muhammadiyah, saya sepakat dengan Khoirul bahwa peristilahan GIT yang dihadapkan dengan Muhammadiyah sebenarnya cukup membingungkan. Pasalnya, sejak awal kelahirannya, Muhammadiyah banyak mengambil inspirasi gerakan dari ideologi puritanisme- salafisme Wahabiyah di Saudi Arabia dan reformisme-modernisme Abduh di Mesir. Dengan demikian, Muhammadiyah sebenarnya juga masuk dalam kategori GIT karena salafisme Wahabiyah dan reformisme Abduhiyah yang berasal dari Timur Tengah itu juga memiliki pengaruh dan jaringan lintas bangsa-negara.

Meminjam analisis Charles Kurzman (Kurzman, Liberal Islam: A Source Book, 1998) tentang tiga pola gerakan Islam, diketahui bahwa kedua corak Islam yang digunakan Muhammadiyah tersebut memiliki satu musuh bersama, yaitu Islam costumary (Islam tradisional) yang banyak mengadopsi unsur-unsur lokal dalam praktik keberagamaannya.

Menurut Kurzman, kedua model Islam itu (salafisme dan reformisme) awalnya bersatu dalam satu visi memperbaharui pola keberagamaan masyarakat Muslim yang dianggap mandek dan jumud. Selain tantangan eksternal berupa kemajuan peradaban Barat, "musuh yang secara nyata dihadapi kedua ideologi itu adalah Islam costumary dengan pola keberagamaan yang sinkretik. Namun, pada perkembangan selanjutnya, Islam modernis-reformis membedakan dirinya dari Islam revivalis- puritanis.

Dalam konteks Islam Nusantara awal abad ke-20, corak Islam revivalis dan reformis dibawa dari Timur Tengah oleh KH Ahmad Dahlan dan founding fathers lainnya untuk memperbaharui pola keberagamaan penduduk Nusantara yang dianggapnya sinkretik-tradisionalis dalam satu wadah gerakan bernama Muhammadiyah. Kaum tradisionalis yang resah dengan kehadiran ideologi baru itu pun mengonsolidasikan diri dalam wadah NU. Pelembagaan itu tentu saja semakin mengeraskan ketegangan antara keduanya hingga beberapa dekade.

Namun, perkembangan zaman dan perubahan pola pikir memengaruhi pola hubungan keduanya. Di akhir dekade 90-an, NU-Muhammadiyah memasuki fase baru hubungan yang lebih harmonis yang ditandai dengan keakraban pemimpin kedua ormas terbesar itu. Dan, di tingkat akar rumput, aksi pisah masjid gara-gara perbedaan jumlah rakaat tarawih, azan shalat jumat, atau qunut dalam shalat subuh pun relatif reda.

Perubahan ini tentu saja memengaruhi koalisi kutub modernis- salafis di Muhammadiyah. Kedua kutub pemikiran itu pun mulai menunjukkan jati dirinya masing-masing dan berseteru memperebutkan dominasinya atas Muhammadiyah. Konflik antara keduanya tercermin pada pergesekan antara Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) dan Majlis Tabligh dan berujung pada tersingkirnya tokoh-tokoh misalnya A Munir Mulkhan dan Amin Abdullah dari PP Muhammadiyah karena dianggap berpikiran liberal dan menjadi pelindung JIMM.

Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan Muhammadiyah. Berbagai upaya dilakukan untuk mendamaikan kembali kedua corak itu. Saat upaya itu sedang berlangsung, tiba-tiba beberapa GIT yang sedang mengalami puncak kegairahan beraktivitas melakukan sesuatu yang dianggap salah oleh Muhammadiyah. Momentum ini pun tidak disia-siakan Muhammadiyah. Dengan isu menyelamatkan asetnya, Muhammadiyah menjadikan GIT sebagai common enemy yang diharapkan dapat menyatukan kembali kedua kutubnya yang berseteru.

Apakah upaya ini akan berhasil? Jawabannya bisa "ya" atau "tidak". Namun, yang pasti, koalisi berdasarkan kesamaan musuh (common enemy) tidak memiliki daya rekat yang kuat dan akan pudar ketika sang musuh itu tiada. Bukankah Muhammadiyah telah membuktikannya? Allahu a'lam.

Maf'ul Farida Alumnus PP Arraudhatul Ilmiyah Kertosono, Nganjuk

Jumat, 14 Maret 2008

Strategi Dakwah Muhammadiyah



(Masa Lalu, Kini dan Masa Depan dalam Prespektif Kebudayaan)


Oleh : Ahmad Syafi’i Ma’arif

Pendahuluan
Muhammadiyah lahir di tengah tengah kebudayaan sinkretik Jawa yang kental pada permulaan decade kedua abad ini. Mungkin karena wataknya yang non-politis, baik Belanda maupun kesultanan Yogyakarta, tampakny atidak terlalu curiga terhadap gerakan Islam puritan ini. Dengan kata lain, Muhammadiyah bukanlah gerakan “OSlam Fanatik” yang telah diracuni oleh Pan-Islam yang ditakuti itu. Musuh Belanda seperti yang dirumuskan oleh C. Snouk Hurgronje bukanlah Islam sebagai Agama, tetapi Islam sebagai doktrin politik . Dengan sedikit pendahuyluan ini seterusny aakan kita tengok strategi dakwah Muhammadiyah dalam prespektuif sejarah dan cultural.

Muhammadiyah : Antara cetakan Jawa dan cetakan sabrang

Di mata Belanda kelahiran Muhammadiyah pada tahun 1912 tidaklah akan menggoyahkan rust en orde, suatu ungkapan yang strategis demi menjaga kelangsungan kekuasaan colonial di Hindia Belanda. Menurut penelitian Dr. Alfian, dalam arsip arsip kolonial, seperti dalam Inlandsche Zaken, tidak ditemukan catatan yang serius tentang K.H.A. Dahlan, baik tentang pribadinya maupun tentang doktrin agama yang diajarkan. KEadaannya akan berlainan samasekali dengan Tjokroaminoto, Salim, dan tokoh tokoh SI lainnya . Tapi murid Kyai Dahlan, H. Fahrudin adalah tokoh Muhammadiyah yang diawasi Belanda. Mereka ini semua adalah insane –insan politik yang militan.

Fokus perhatian Dahlan tampaknya memang lebih tertuju kepada usaha pencerahan dan pencerdasan ummat, suatu strategi sosio-budaya yang berdampak sangat jauh dalam arti yang sangat positif. Karena tukik perhatian dipusatkan pada transformasi mental, sosial dan budaya, perlawanan justru datang dari kalangan ulama dan ummat Islam sendiri. Dahlan menghadapi ini semua dengan sikap tegar dan tidak pernah goyah. Djarnawi Hadikusumo menulis tentang pola perjuangan Dahlan yang non-politis : “Menilik segala tindakan dan amal yang telah dikerjakan oleh K.H.A. Dahlan dengan Muhammadiyahnya ternyata bahwa pendiri Muhammadiyah itu telah memilih jalan yang ditempuh oleh Muhammad ‘Abduh.” Sedangkan pola SI bisa dikaitkan dengan Pan Isalam. Daerah pengaruh Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Dahlan (1912-1923) baru terbatas di karisidenan Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan , dan Pekajangan. Cabang cabang Muhammadiyah berdiri di kota kota tersebut (selain Yogyakarta) pada tahun 1922, yaitu di akhir periode kepemimpinan Dahlan. Menjelang tahun 1938 barulah Muhammadiyah tersebar di seluruh Nusantara Dengan demikian sekitar 14 tahun sepeninggal Dahlan, Muhammadiyah sudah mengindonesia.

Dilihat dari sudut pandang budaya, karakteristik da’wah Muhammadiyah sampai batas batas tertentu juga diwarnai oleh warna cetakan local, khususnya cetakan sabrang. Kita ambil contoh kasus Aceh dan Minangkabau. Di Aceh misalnya Muhammadiyah gagal memasuki lingkaran budaya para teungku, sebuah lingkaran yang dipandang punya kesadaran politik yang cukup tinggi,. Kegagalan ini, menurut Alfian, sebagian disebabkan oleh kenyataan karena Muhammadiyah telah lebih dahulu dimasuki oleh elit tradisional para teuku, saingan berat para teungku.Lantaran keduluan para teuku, golongan teungku punya alasan kuat untuk tidak memasuki Muhammadiyah, kalau bukan telah larut menghalangi gerak lajunya di daerah Aceh. Alasan lain ialah seperti kita ketahui para elit tradisional punya hubungan yang dekat dengan pihak Belanda. Jadi bila gerak Muhammadiyh dirasakan kurang militant di Aceh, salah satu faktor pentingnya adalah karena budaya para teuku ini lebih dominant mempengaruhi Muhammadiyah. Barangkali setelah kemerdekaan mungkin teleh mengalami perubahan demi perubahan. Tetapi yang jelas, Muhammadiyah belumberhasil menciptakan benteng cultural yang kokoh di Aceh, bahkan sampai hari ini. Apakah nanti setelah muktamar tahun 1995, lingkaran teungku di Aceh akan lebih bersikap apresiatif terhadap Muhammadiyah, belum dapat kita katakana sekarang. Warga Muhammadiyah Aceh diharapkan agar memahami betul peta-bumi sosio-budaya masyarakat Aceh ini untuk keberhasilan da’wah Islam yang digerakkan Muhammadiyah.

Sub sub budaya lain di Indonesia yang tidak mudah ditembus Muhammadiyah selain Aceh, juga budaya Sunda, budaya Melayu Medan dan Jambi, budaya Betawi, dan sub –sub budaya suku bangsa lainnya di berbagai bagian nusantara. Fenomena yang hamper serupa kita jumpai di kalangan budaya Melayu Malaysia dan Brunei. Orang Brunei kabarnya malah menganggap Muhammadiyah bukan merupakan gerakan Islam yang patut dihormati, kalaulah bukan dinilai sebagai sudah berada diluar bingkau Islam. Fenomena semacam ini mengingatkan kita kepada situasi Islam di Indonesia pada waktu Muhammadiyah baru mulai mengorak bumi Mataram, sekitar 80 tahun yang lalu. Akan halnya di Malaysia, keadaannya lebih memberi harapan, sekalipun memerlukan waktu dan perjuangan yang panjang. Seperti kita kenal dari catatan sejarah, gerakan pembaruan Islam di Indonesia dan di semenanjung Tanah Melayu dan Singapura sama sama mulai menapak awal abad ini. Bedanya bila di Indonesia gerakan pembaruan itu relatif berjaya, sementara di Semenanjung mengalami kegagalan. Barangkali salah satu sebab kegagalan ini adalah karena di sana Islam sudah terlalu lama dipasung dalam bingkai feodalisme Melayu yang cukup kental plus mazhab al –Syafi’i yang secara formal menjadi mahzab persekutuan. Maka adalah logis bila kedatangan arus pembaruan Islam harus ditolak karena ia membawa pesan liberal dan egaliter, sesuatu yang dapat menjadi ancaman dalam jangka panjang bagi struktur feodalisme Melayu yang tampaknya kini sudah semakin lapuk. Gebrakan Mahatir-Anwar Ibrahim terhadap kedudukan raja –raja akan membawa perubahan kea rah yang lebih positif bagi hari depan arus faham pembaruan Islam di negeri jiran itu. Anwar Ibrahim sudah lama punya hubungan spiritual yang lekat dengan gerakan pembarua Islam di Indonesia.

Pertanyaan yang kemudian mungkin sedikit menggoda adalah : mengapa Keraton Yogya tidak terasa terancam oleh Muhammadiyah sementara aliran serupa cukup ditakuti oleh di Malaysia ? Dilihat dari sudut proses Islamisasi kualitatif, kraton Yogya baru permukaan formalnya saja yang sudah disentuh Islam. Raja raja Mataram tampaknya rtidak mencurigai gerakan pembaruan Islam yang justru dipelopori oleh abdi dalem kesultanan. Setidak-tidaknya ada dua sebab mengapa kecurigaan itu tidak muncul. Pertama, pengetahuan kraton tentag Islam itu sangat terbatas. Para elitenya tidak pernah berfikir bahwa gerakan seperti Muhammadiyah akan menjadi ancaman bagi feodalisme Jawa. Kedua, ini berkaitan erat dengan yang pertama, Muhammadiyah sendiri memang tidak pernah membidikkan pelornya ke kraton, pusat budaya Jawa yang baru terislamkan secara superfisial. Yang lebih unik lagi adalah bahwa ulama Muhammadiyah bahkan punya kedudukan tinggi di lingkungan kraton. Sebuah panorama yang cukup menarik dikaji. Salah satu indikasi superfisialitas keislaman di lingkungan kraton dapat dilihat misalnya pada fenomena masih kentalnya dipertahankan kepercayaan kepercayaan dan adat adapt lama dengan muatan Hindu bercampuyr unsure Jawa Kuno yang sudah ada sebelum kedatangan pengaruh India itu.

Situasi Malaysia jauh berbeda. Sekalipun Islam disana masih dibungkus dalam feodalisme Melayu, kultur Melayu relatif bercorak Islam dibandinghkan kultur Jawa Mataram. Bekar bekas pengaruh Hindu yang kental hamper hamper tidak dikenal lagi dalam kultur Melayu Malaysia. Oleh sebab itu bila orang Melayu Malaysia melihat bayak sekali patung Hindu dan Budha di Jawa, mereka heran setengah mati. Pertanyaan yang muncul biasanya berbunyi : mengapapatung patung ini masih ”mencongok” di berbagai tempat di lingkungan masyarakat masyarakat Muslim Jawa ? Mereka yang paham sejarah Islam di Jawa, pertanyaan yang serupa itu tidak akan muncul karena mereka tahu betul bahwa proses islamisasi kualitatif masih akan berlangsung, mungkin lebih hebat lagi, pada masa –masa yang akan datang. Tetapi sampai sekarang, hubungan Muhammadiyah dengan pihak kraton tampaknya cukup aman aman saja. Bukankah strategi dakwah Muhammadiyah di Jawa, khususnya Yogyakarta, belum pernah diarahkan secara serisu untuk mengislamkan kraton, pusat kejawen yang masih berwibawa ? Dakwah Muhammadiyah untuk memberantas syirik, bid’ah, khurofat dan yang sejenis lebih ditujukan kepada rakyat yang berada di luar kraton. Mungkin diharapkan pada suatu hari nanti, entah kapan, bilamana rakyat diluar kraton sudah terislamkan menurut versi Muhammadiyah , dengan sendirinya nanti demi eksistensi kraton, para bangsawan akan turut dalam arus itu. Sebuah teori yang agak mirip dengan teori ”penguasaan desa untuk menguasai kota”. Tapi mohon dicatat bahwa Muhammadiyah belum pernah menciptakan teori yang macam macam itu. Untuk sebagian orang, cukuplah kiranya bila kita berjalan menurut gaya alam saja.

Kita bicarakan selanjutnya Muhammadiyah di Sumatera Barat. Mungkin tidak ada kawasan budaya di nusantara yang sangat reseptif dan responsif terhadap paham dan gerakan Muhammadiyah melebihi budaya Minang. Gejala ini sebenarnya tidaklah terlalu mengherankan, karena pada abad ke -19 gerakana Padri telah berhasil ”mengobrak abrik” adat minang ”yang tak lekang deh paneh, tak lapuak dak hujan” itu. Sekalipun secara politik gerakan Padri pada akhirnya dilumpuhkan Belanda bersama kaum adat., secara sosio-kultural paham wahabi yang dibawaPadri itu sudah tertancap kuat dalam budaya Minang. Oleh sebab itu pada waktu Haji Rasul, sahabat Dahlan, membawa paham Muhammadiyah ke sana pada 1925, yaitu dengan terbentuknya cabang Muhammadiyah yang pertama di Sungai Batang Tanjung Sani, Maninjau. Dr. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dapat disebut sebagai Bapak Spiritual Muhammadiyah Minangkabau, tapi uniknya adalah bahwa beliau sendiri tidak pernah menjadi anggota gerakan ini. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menggenangi hampir seluruh Minangkabau, dan dari daerah inilah kemudian radius Muhammadiyah itu bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.

Berbeda dengan di Yogyakarta, di mana Muhammadiyah dirasakan ”jinak” secara politik, di Minangkabau karena tuntutan situasi, keadaan sedikit lain. Naluri politik jelas terlihat di kalangan tokoh tokoh Muhammadiyah Minangkabau. Sarjana Belanda C.C. Berg jug amencatat bahwa Muhammadiyah di Minangkabau tidak semata mata sebagai gerakan sosial, tapi juga terlibat dalam kegiatan politik Dalam peta sosiologis Minangkabau, sebuah negari (semacam republik kecil) dipayungi oleh empat golongan yang dominan : ninik –mamak, alim –ulama, cerdik –pandai, dan manti-dubalang. Hamka mencatat bahwa manakala cabang Muhammadiyah berdiri di suatu negari, keempat unsur itu pasti terlibat di dalamnya. Pada masa awal terlihat bahwa ” …. di seluruh Minangkabau ketika Muhammadiyah mulai berdiri tidak seorang juapun pegawai negeri yang masuk” Denga kata lain, pada periode formatif itu Muhammadiyah dipimpin oleh ”orang orang merdeka.” Keadaan sesudah kemerdekaan sudah sangat berubah. Budaya pegawai negeri lebih dirasakan pengaruhnya dalam gerak Muhammadiyah ketimbang budaya ”orang merdeka” dengan segala sisi yang positif dan negatif. Sebelum [ergolakan daerah tahun 1950-an, Muhammadiyah di Minangkabau bukan saja didukung oleh pegfawai negeri, bahkan perpolitikan propinsi Sumatera Barat tealh berada di bawah pengaruh kuat dari Muhammadiyah. Masyumi dan Muhammadiyah sukar sekali dibedakan disana. Maka tidaklah mengherankan pada saat Masyumi kalah secara politik, Muhammadiyah Sumatera Barat menjadi babak belur selama hampir dua dekade. Proses pemulihannya belum sepenuhnya berjaya sampai sekarang. Inilah sebuah beaya yang harus dibayar oleh Muhammadiyah cetakan sabrang. Dakwah dengan kendaraan politik praktis dalam pengalaman Muhammadiyah lebih banyak merugikan, sekalipun hal itu bukan sesuatu yang mutlak harus demikian. Pada masa orde baru , terutama tahun 1980 –an, peran politik Muhammadiyah lebih banyak dilakukan oleh lobi lobi perorangan seperti yang ditunjukkan oleh kegiatan Lukman Harun, Ismail Sunny dll, pada saat menghadapi proses pembicaraan RUU Pendidikan Nasional dan RUU Pengadilan Agama. Lobi lobi semacam ini tidak jarang memberikan hasil positif menguntungkan.

Dakwah di masa depan : perlunya strategi budaya yang mantap
Baik Muhammadiyah cetakan Jawa maupun Muhammadiyah cetakan sabrang sama sama dihadapkan kepada tantangan dakwah yang dahsyat. Proses industrialisasi yang akan dimulai secara besar besaran mulai april 1993 ini akan memberikan pekerjaan rumah (PR) yang sangat berat kepada semua gerakan Islam, khususnya Muhammadiyah, yang menyatakan dirinya sebagai gerakan modern Islam. Kita belum mempunyai contoh kira kira bagaimana nasib Islam di suatu negara Industri. Pada suatu kesempatan pernah saya katakan : apakah pada saat ini kita masih punya peluang untuk beriman ? Beriman dengan segala atribut dan implikasinya bukan beriman semata mata percaya kepada Tuhan. Iman dalam Islam adalah Iman yang dapat memberikan suatu keamanan ontologis kepada manusia, dan diatas dasar itu ditegakkan sebuah peradaban yang berwajah ramah.

Mari kita tengok sebentar keadaan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan. Bila pengamatan Kuntowijoyo dapat disetujui, maka gambaran tentang Muhammadiyah adalah sebagai berikut :

Sesungguhnya dewasa ini Muhammadiyah sudah harus merumuskan kembali konsep gerakan sosialnya. Saya beranggapan bahwa selama ini Muhammadiyah belum mendasarkan program dan strategi kegiatan sosialnya atas dasar elaboratif. Akibatnya adalah bahwa Muhammadiyah tidak pernah siap merespon tantangan-tantangan perubahan sosial yang empiris yangterjadi di masyarakat atas dasar konsep, teori dan strategi yang jelas. Selama ini umpamanya Muhammadiyah masih belum dapat menerjemahkan siapa yang secara sosial-objektif dapat dikelompokkan sebagai kaum duafa, masakin, fuqoro dan mustadh’afin. Pertanyaan tentang siapakah yang dimaksud dengan kelompok kelompok itu dalam konteks sosialnya yang objektif, belum pernah diaktualisasikan secara jelas

Proses industrialisasi bukan saja akan mengubah kawasan agraris menjadi kawasan industri, tapi pada waktu yang sama akan menciptakan sosok manusia “liar” kompetitif yang jarang punya kesempatan untuk tersenyum. Ini jika kita melihat fenomena sosial di beberapa negara Industri :barat dan Jepang. Kita belum dapat memperkirakan secar apasti tentang bagaimana situasinya sekarang sebuah negeri Muslim menjadi negeri Industri. Jika keadaaanya tidak berbeda negeri negeri industri diatas, maka sejak dini kita katakan bahwa Islam pada waktu itu sudah tergusur mejadi kekuatan marginal yang tidak bermakna. Muhammadiyah sampai hari ini belum siap secar amantap dengan strategi budaya untuk menghadapi serba kemungkinan itu. Kendalanya adalah sumberdaya manusia yang ada sedikit sekali punya peluang untuk merenung dan merumuskan strategi itu. Komitmen Islam mereka tidak diragukan lagi. Yang sulit adalah menari peluang yang cukup untuk berfikir serius dan mendalam mengenai maslah Islam dan ummatnya. Sebagian besar kita berada dalam pasungan kesibukan yang non-kontemplatif itu .Saya pribadi tidak tahu bagaimana caranya keluar dari himpitan kesibukan yang amat melelahkan ini.

Apakah Muhammadiyah pernah keluar dari kultur kampung sepanjang sejarahnya ? menurut Kuntowijoyo, jawabannya adalah negatif. Dia menulis :

Secara Historis Muhammadiyah sesugguhnya terbentuk dari kultur kampung. Kalau dulu saya pernah mengatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah mempunyai hubungan erat dengan lingkungan sosio ekonomi dan kultural masyarakat kiota., pernyataan ini benar dalam hal perbedaanya dengan latar belakang NU yang berbasis pada kultur agraris –desa. Tapi pernyataan itu harus direvisi, karena ternyata pada awal abad ke -20, saat ketika Muhammadiyah didirkian di Yogyakarta, kehidupan kota sesungguhnya lebih dikuasai oleh kaum priyayi, komunitas Belanda, dan komunitas Cina. Di Malioboro ada tempat peribadatan Cina, juga tempat peribadatan Free Mansory dari ‘Societeit’ Belanda, tapi tidak ada Masjid. Masjid Besar yang ada di keraton, sementara itu cenderung berada di bawah pengawasan kultural kejawen. Kita melihat bahwa Islam ketika itu merupakan fenomena pinggiran, berada di kampung-kampung

Dengan demikian sebenarnya basis sosial Muhammadiyah dan NU tidak banyak berbeda yaitu sam sama basis sosial wong cilik. Keadaan ini secara substansial menurut pengamatan saya belum banyak mengalami perubahan, bukan saja di Yogyakarta dan di Jombang, tempat kelahiran kedua gerakan Islam yang dipandang mewakili arus besar Islam di Indeonesia, tapi juga di seluruh nusantara. Kita masih belum beranjak jauh dari kawasan wong cilik. Bagaimana keadaannya 25 tahun mendatang, saya tidak tahu.

Penutup
Kalau strategi dakwah Muhammadiyah bertujuan hendak menggarami kehidupan budaya bangsa dengan nilai nilai Islam yang handal dan berkualitas tinggi, maka saatnya sudah teramat tinggi bagi kita sekarang untuk melakukan kaji ulang terhadap keberadaan, kiprah dan car apandang dubi dari gerakan yang didirikan oleh KHA Dahlan ini. Posisi sebagai wong cilik tidak pernah efektif menentukan nasibmasa depang suatu bangsa. Bagaimana mengubah posisi demikian itu agar menjadi posisi yang berwibawa dalam sejarah merupakan kerja dakwah dalam makna yang benar dan komprehensif.

Kamis, 13 Maret 2008

SEKOLAH MUHAMMADIYAH PERLU KEMBALI KE KHITTAH


Pendidikan di Muhamadiyah memerlukan masukan dan pemikiran ulang. Bahkan, beberapa hal perlu ditinjau ulang. Ini perlu dilakukan demi kemajuan pendidikan di Muhammadiyah itu sendiri. Mengapa pendidikan di Muhammadiyah harus makin maju dan berubah? Karena, pertama secara makro, terdapat kecenderungan perkembangan pendidikan yang di negeri ini begitu syarat beban. Beban pertama adalah, masyarakat bersifat praktis atau pragmatis dalam menempatkan dunia pendidikan. Pendidikan hanya menjadi sarana untuk memudahkan orang bekerja. Padahal dalam saat yang sama, pendidikan merupakan bagian dari strategi kebudayaan, yaitu, untuk menciptakan peradaban. Muhammadiyah punya perhatian yang sangat tinggi pada pendidikan merasakan betul beban-beban ini.
Kedua, adanya pengaruh ekonomi atau liberalisme global yang begitu kuat di bidang pendidikan sekarang ini. Ini kecenderungan yang juga perlu dicermati. Semua pendidikan, kecuali yang dikelola pemerintah, bergerak seperti mengejar setoran saja. Mengejar profit. Jika tidak dikelola dengan bagus, maka menjadi beban tersendiri dalam dunia pendidikan. Ke depan kita bisa semakin mengalami penurunan kualitas. Padahal sekarang kita merasa kalau dunia pendidikan kita tengah mengalami persaingan yang keras. Maka tidak ada jalan lain jika ingin bertahan harus ada keberanian untuk melakukan pilihan radikal dalam dunia pendidikan.
Ketiga, ada persoalan besar bangsa kita, ada demoralisasi menyangkut karakter bangsa. Menyangkut standar nilai dalam berperilaku, Ketika kita berbicara bagaimana standart nilai seseorang berperilaku dalam keseharian, ini menjadi mendesak untuk dibincangkan. Di negara mana pun, selalu dipertanyakan sejauh mana dunia pendidikan memberi sumbangan untuk membentuk nilai-nilai tadi.
Kita paham gelombang demo guru di Jakarta untuk menuntut hak. Tetapi, apakah akan begitu terus cara guru dalam berekspresi? Seakan tidak ada bedanya antara guru dengan masyarakat lain. Seperti tidak ada cara lain untuk mengartikulasikan suara.
Muhammadiyah mencoba bangkit dari keadaan ini. Kami mencoba mencari alternatif. Maka ada fenomena bahwa, sekolah Muhammadiyah maju pesat, menjadi sekolah unggulan yang dicari orang, muridnya melimpah dan kesejahteraan guru terjamin. Tetapi ada pula fenomena kedua bahwa Sekolah Muhammadiyah ada yang kembang-kempis dan akhirnya mati. Ini SOS. Sekolah Muhammadiyah dalam bahaya. Kalau tidak mampu bersaing akan bubar. Dan ini bukan masalah main-main. Harus kita hadapi dengan serius. Ketika dulu ada booming membuat sekolah dengan fasilitas bagus, tetapi kalau sekolah bergedung bagus tidak dikelola dengan bagus dengan guru berkualitas dan sejahtera akan tidak ada siswanya. Akhirnya, sekolah bergedung bagus akan mati juga.
Hanya saja ada kenyataan yang menarik untuk dikaji serius. Ada sekolah muhammadiyah gulung tikar, tetapi di sampingnya ada sekolah yang berdiri dengan pola-pola mirip sekolah Muhammadiyah dan berkembang bagus. Pertanyaannya, ada apa dengan sekolah Muhammadiyah?
Untuk ini sekolah Muhammadiyah perlu kembali ke khittah. Ketika zaman peralihan abad 19 ke 20, maka lahirlah sekolah Muhammadiyah sebagai sekolah alternatif. Tetapi sekarang tidak. Dalam perjalanannya, sekolah Muhamadiyah tumbuh menjadi lain dan menjauhi khittahnya. Maka dari itu, kita mencoba untuk memulai agar sekolah Muhammadiyah kembali menjadi sekolah alternatif. Maka mari kita bangkit dan mari kita memulai un-tuk itu. Lima tahun ke depan, kita harus melihat hasilnya.l HNs/t

Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus: SIAPKAN KADER MUBALIGH SECARA MERATA DI DAERAH


Sebagai gerakan dakwah dan tajdid fil Islam, Muhammadiyah senantiasa memerlukan sumberdaya insani mubaligh yang memadai, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang kian kompleks.
Perkembangan dan perubahan sosial masyarakat yang begitu cepat, seringkali membuat Muhammadiyah ketinggalan dalam gerak-langkahnya. Hal ini, dapat dirasakan ketika kebutuhan akan sumber daya insani mubaligh meningkat tinggi, sementara persediaan kader dan sumber daya insani (SDI) mubaligh sangat terbatas. Belum lagi persoalan kualitas dan kompetensi yang dimilikinya.
Kualitas dan kuantitas kader dan SDI mubaligh merupakan salah satu jalan bagi keberhasilan dakwah dan tabligh. Untuk itu, program intensifikasi dan ekstensifikasi kader dan SDI mubaligh harus terus menerus dilakukan secara simultan dan komprehensif.
Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) sebagai unsur pembantu pimpinan persyarikatan mengemban amanah untuk melaksanakan kegiatan dakwah dan tabligh, termasuk menyiapkan kader dan SDI, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Untuk itu, sebagaimana amanah Muktamar Muhammadiyah ke-45, 2005 di Malang, dengan memberikan pengayaan bekal wawasan dan skill bagi pimpinan dan mubaligh, baik dalam tataran teoritis maupun praktik operasional.
Kegiatan peningkatan kualitas Mubaligh Muhamamdiyah dilaksanakan dalam berbagai bentuk, seperti pelatihan kristologi dan penangkalan permutadan, pelatihan da’i khusus daerah terpencil, serta dalam bentuk sarasehan dan dialog dakwah.
Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus mengadakan serangkaian kegiatan acara Sarasehan dan Dialog Peningkatan Kualitas Mubaligh Muhammadiyah dimulai sejak Januari hingga Desember 2007, antara lain berlangsung di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Bali, Aceh, Sumut, Sumbar, jambi, Riau, Kepri, Sorong, Sulut, Gorontalo, Sulteng, dan terakhir di Maluku berlangsung di Ambon, akhir Desember lalu.
Sambut Antusias
Peningkatan Kualitas Mubaligh Muhammadiyah yang berlangsung di Ambon Maluku, acaranya dibuka oleh Ketua PP Muhammadiyah yang diwakili Drs. H. Muhammad Muqaddas, Lc, MA. Yang berlangsung di komplek Perguruan Muhammadiyah Ambon.
Diikuti oleh unsur PWM Maluku 16 orang, Ortom 2 orang, PMW dan Aisyiyah Maluku Utara 10 orang, PWM dan Aisyiyah Papua Barat 10 orang. Hadir dalam acara tersebut ketua PWM Maluku Ir. Abdul Madjid Makassar.
Sasaran kegiatan dakwah ini, agar terwujud peningkatan kualitas mubaligh Muhammadiyah, dengan kompetensi substantif dan kompetensi metodologis. Dengan demikian diharapkan kegiatan dakwah dan tabligh menjadi lebih berbobot dan berhasil.
Tujuan yang ingin dicapai, memberikan pengayaan bekal wawasan dan skill pelaksana kegiatan dakwah dan tabligh di lingkungan Muhammadiyah. Peningkatan tali silaturahim dan ukhuwah antar mubaligh Muhammadiyah sehingga terbangun jaringan dakwah dan tabligh, melakukan tukar pikiran dan berbagi informasi pengalaman dakwah dan tabligh untuk mencari pengembangan strategi dakwah ke depan. Sekaligus mencari alternatif konsep dan operasional pengembangan masyarakat dalam rangka penguatan dakwah dan tabligh.
Materi yang diberikan meliputi Revitalisasi Ideologi Muhammadiyah oleh Drs. H. Muhammad Muqaddas, Lc, MA, Metode Pengambilan Sumber dan Standar Rujukan Materi Dakwah Syakir Jamaluddin, MA, Kepekaan Sosial Mubaligh Muhammadiyah Drs. H. Anhar Anshori, M.Si, Komunikasi Efektif Syakir Jamaluddin, MA, Strategi Penyampaian Materi Drs. H. Zaini Munir Fadholi, M. Ag, Kemampuan Mengorganisir, Membentuk Jama’ah dan Jaringan Drs. H. Waharjani, M. Ag, dan Kajian Tafsir Al-Qur’an oleh Drs. H. Zaini Munir Fadholi, M. Ag.l am


Bangga Menjadi Orang Muhammadiyah

Selama bertugas keliling untuk meninjau pelaksanaan KKN dari kampus di daerah-daerah, penulis sering menemukan pengalaman yang mengharukan. Warga desa dan perangkat desa yang semula tidak mengenal Muhammadiyah, setelah melihat sendiri bagaimana para mahasiswa dengan tulus ikut memajukan desanya kemudian, menyatakan kagum dengan Muhammadiyah. Mereka mengakui kalau Muhammadiyah ternyata mampu memecahkan banyak persoalan di desanya. Banyak warga desa atau perangkat desa yang sebelumnya kurang suka atau malah curiga kepada Muhammadiyah, begitu melihat sikap dan perilaku para mahasiswa dari PTM mereka pun mendapat kesan yang positif. Mereka yang simpati dengan kegiatan Muhammadiyah ini kemudian menjadi pendukung yang aktif.
Kehadiran para mahasiswa KKN di desa-desa di Jawa Te­ngah dan DIY menjadi salah satu upaya untuk membuktikan bahwa, Muhamamdiyah adalah gerakan amal kebajikan dan ge­rakan ilmu sekaligus. Ini dapat berhasil tentu karena kerjasama banyak pihak. Pimpinan Muhammadiyah, dari tingkat Daerah sampai Ranting yang lokasinya ditempati oleh para mahasiswa sudah melakukan koordinasi. Untuk memudahkan gerak langkah mahasiswa, sebelum mereka terjun terlebih dahulu di­beri bekal tentang kondisi masyarakat dan desa yang akan di­tempati. Kondisi Muhammadiyah setempat dan tantangan yang ada di sana juga disampaikan sebagai bekal. Dengan demikian ketika mereka berada dan memulai kegiatannya, relatif sudah nyambung.
Setelah mendapat sambutan yang hangat dan kerjasama yang baik di desa-desa, pelan-pelan di dada para mahasiswa pun juga tumbuh semangat dan kebanggaan menjadi bagian dari Muhammadiyah. Jadi, kegiatan masuk dan mengabdi di desa ini ternyata memiliki dua dampak positif yang hadir bersamaan. Pertama, timbulnya kesan positif dan mun­culnya kebanggan karena, menjadi bagian dari kegiatan Mu­hammadiyah di kalangan warga desa, perangkat desa dan kader Mu­hammadiyah di lokasi. Kedua, timbulnya gejala yang sama di kalangan mahasiswa itu sendiri.
Tentu saja kebanggaan menjadi bagian dari Muhammadiyah seperti ini sangat bernilai dan sangat strategis bagi masa depan Muhammadiyah sendiri. Sebab dengan masih suburnya ke­banggaan menjadi bagian dari Muhammadiyah akan menye­babkan Muhammadiyah mudah dan terus mendapat dukungan. Mereka yang memiliki kebanggaan seperti itu dengan serta merta dan secara ikhlas akan mau dan bersedia untuk ikut berjuang memajukan Muhammadiyah dan mempertahan­kan Muhammadiyah. Di manapun dia berada, dia akan selalu siap berbuat untuk Muhammadiyah.
Dengan demikian, kebanggaan menjadi bagian dari Muhammadiyah ini perlu senantiasa dipelihara. Kita semua yang telah lama aktif di Muhammadiyah sejak muda tidak boleh kalah dengan warga desa, perangkat desa atau para mahasiswa itu. Semangat juang dan kesetiaan kita kepada Muhammadiyah tidak boleh dikalahkan, apalagi dinodai oleh kepentingan temporer. Ini penting dan perlu penulis ungkap, sebab akhir-akhir ini muncul gejala lunturnya kebanggaan menjadi bagian dari Muham­madiyah. Ini juga menyebabkan lunturnya semangat dan kesetiaan mereka kepada Muhammadiyah. Mereka malah sering bangga menjadi bagian dari organisasi lain, bangga memegang teguh ideologi lain dan lebih setia kepada yang lain ketimbang kepada Muhammadiyah. Mereka malah mengkampanyekan hal-hal yang bukan Muhammadiyah di tengah-tengah warga Muhammadiyah. Padahal hidup mereka sehari-hari dijamin oleh Muhammadiyah, mereka bekerja di kalangan Muhammadiyah dan kelihatan aktif atau malah dipercaya menjadi pimpinan Persyarikatan. Apa yang mereka lakukan itu sungguh tidak bermoral.
Mereka yang luntur kebanggaan dan kesetiaannya kepada Muhamamdiyah ini perlu diingatkan kembali dan diajak untuk mempersegar kebanggaan dan kesetiaannya kepada Muhammadiyah. Seharusnya mereka malu kepada warga desa, perangkat desa dan kepada para mahasiswa yang baru saja mendapat kesempatan mengenal Muhammadiyah sudah bisa memiliki kebanggaan dan kesetiaan kepada Muhammadiyah. Seharusnya mereka juga mau belajar dari keikhlasan dan ketulusan dari warga desa, perangkat desa dan mahasiswa itu.
Memang benar pesan K.H.A. Dahlan, bahwa, kita tidak diperbolehkan menduakan Muhamamdiyah dengan yang lain. Benar juga K.H. AR. Fakhrudin yang sering mengulang-ulang pesannya,” Berjuang di Muhammadiyah itu harus ikhlas.”

Dekan FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Problem Dakwah 2008

Harwanto Dahlan

Tahun depan, 2008, adalah tahun pemanasan, bukan pemanasan global melainkan pemanasan nasional menjelang pemilihan presiden tahun berikutnya. “Sudah tradisi” begitu kata iklan, bahwa umat Islam akan diperebutkan suaranya. Dan cara paling jitu untuk merebut suara mereka adalah dengan menjadikan pemimpin mereka sebagai pendulang suara alias vote getter. Celakanya, politik tidak pandang bulu dalam memilih pemimpin atau tokoh Islam (lagi pula kalau memandang bulu, hanya monyet, gorila dan sejenisnya yang akan kelihatan). Tidak peduli apakah tokoh Islam itu memimpin organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah, memimpin pondok pesantren, atau pemimpin informal, sampai pada sekedar pemimpin organisasi kelas teri dan sekedar papan nama yang hidup mirip jamur, hanya pada musim hujan.. hujan sumbangan.
Tingkat kelakuan (dari kata laku, alias dibeli, alias laris) para tokoh Islam tidak lepas dari mitos—yang bagi demokrasi hal itu dianggap realistis—bahwa kepemimpinan yang tepat di Indonesia adalah kombinasi sipil dan militer, Islam dan abangan. Apakah kombinasi keduanya bisa berjalan baik dan efektif membawa kesejahteraan bagi rakyat ternyata bukti empirisnya belum ada. Soekarno dan Hatta mungkin bisa dianggap mewakili jenis Islam-Abangan, namun keduanya berpisah di perjalanan. Soeharto menggandeng Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wujud kombinasi militer-sipil namun juga tidak bisa efektif. Sekarang kombinasi militer-sipil malah makin remuk. Maka kombinasi Islam-Abangan memang lebih cenderung mitos apabila berkorelasi dengan keberhasilan kepemimpinan, tetapi bagi perhitungan suara ia bukan mitos, ia kenyataan yang selalu menjadi pertimbangan. Di tingkat pemilihan lokal kombinasi itu banyak diterapkan dan cukup berhasil. Lihatlah keberhasilan koalisi PDIP-PAN atau mungkin kombinasi PDIP-PKB di beberapa kabupaten di seluruh Indonesia. Konsekuensi yang kemudian muncul tentu saja rekrutmen para tokoh atau pemimpin Islam oleh partai-partai politik.
Rayuan untuk menjadi eksekutif bertubi-tubi datang dan sulit ditolak. Bagi ormas seperti Muhammadiyah, kader-kader mumpuni yang biasanya menduduki posisi di PDM banyak yang menjadi wakil Bupati. Yang di tingkat wilayah diincar untuk posisi gubernur atau wakil gubernur. Nah, pertanyaannya, apakah kecenderungan seperti ini akan juga terjadi di tingkat nasional? Meskipun baru rumor, hal ini tampaknya sudah terjadi. Beberapa wacana mencuatkan spekulasi bahwa Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin akan berdampingan dengan Megawati—sebuah spekulasi yang segera dibantah dengan “Saya akan terus berkhidmat di Muhammadiyah” tentu saja ditambah dengan istilah ekonomi ceteris paribus. Kalau nanti warga Muhammadiyah ternyata menghendaki, ya, tentu saja persoalan itu akan “diserahkan” kepada mereka.
Kondisi-kondisi yang seperti di atas, ditambah dengan pengalaman pemilu 2004 dan kedekatan kader-kader Muhammadiyah dengan PAN sudah menciptakan anggapan bahwa Muhammadiyah, tentu saja sekali lagi kader-kadernya, identik dengan PAN. Stigmatisasi tersebut ditambah dengan persoalan Muhammadiyah selaku ormas dengan PKS yang harus diakui bahwa kader Muhammadiyah banyak berkhidmat di sana—dan dengan sendirinya secara ideologis telah meninggalkan Muhammadiyah. Bahkan, kita melihat perkembangan terakhir sebagian kader muda Muhammadiyah mendeklarasikan berdirinya PMB (Partai Munculnya Belakangan? bukan, Partai Matahari Bangsa). Di sini problem dakwah yang sesungguhnya mulai. Bagaimana Muhammadiyah menghindar dari anggapan sebagai penyedia pejabat partai atau pejabat politik adalah problem dakwah yang serius. Bila persoalan ini tidak ditangani dengan seksama, masyarakat umum akan enggan ber-Muhammadiyah karena akan menilai Muhammadiyah terlalu berpolitik. Salah satu konsekuensi, Muhammadiyah akan diisi orang-orang yang punya syahwat politik yang hanya memanfaatkannya sebagai kendaraan semata. Selain itu, kenikmatan menjadi pejabat politik, baik eksekutif maupun legislatif, akan menyeret para kader Muhammadiyah yang benar-benar bagus untuk menjadi orang politik. Satu efek jangka pendek adalah kelangkaan Muhammadiyah akan kader-kader organisasi yang bagus karena menjadi kader politik. Efek berikutnya adalah, kelangkaan kader menyulitkan operasional dakwah. Dalam jangka panjang dampak yang muncul sudah bisa diperhitungkan, mulai dari perasaan tidak menarik lagi untuk ber-Muhammadiyah, sampai pada tidak pede alias percaya diri lagi menjadi orang berlabel Muhammadiyah. Akhirnya, amal usaha Muhammadiyah tidak lagi ada yang mengurusi sehingga mudah untuk diurusi orang lain.
Problem utama dakwah Muhammadiyah bersifat internal. Apabila bisa mengatasi persoalan internal, Muhammadiyah akan tetap besar dan menjadi interest group yang diperhitungkan oleh pemerintah. Berpolitik tidak harus langsung dengan menjadi partai politik atau pejabat politik. Ia bisa berupa pengaruh melalui interest group, organisasi yang bernama Muhammadiyah, yang bisa jauh lebih efektif dalam mencapai tujuan daripada melalui partai.l

Partisipasi Politik Perempuan dalam Islam

Dr. Hj. Masyithoh, M.Ag

Beberapa waktu lalu, Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) mendapat kunjungan kehormatan Wakil Presiden Republik Islam Iran Dr. Fatemah Vaiz Javadi. Politisi perempuan yang merangkap Menteri Lingkungan Hidup Iran itu hadir ke Indonesia mewakili negaranya dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali. Metro TV menyebut Fatemah sebagai perempuan paling berpengaruh di panggung politik Iran.

Tampilnya Fatemah di panggung politik menarik dicermati
karena dua hal: dia seorang perempuan dan berasal dari
negara Islam. Selama ini ada anggapan, khususnya dari dunia Barat, bahwa dunia Islam memasung partisipasi politik perempuan. Benarkah demikian? Tulisan ini secara singkat akan membahas masalah tersebut.

Salah Paham
Dunia Barat, termasuk para politisi dan akademisinya, sering salah paham terhadap Islam dalam kaitannya dengan hak asasi, demokrasi dan partisipasi politik perempuan. Mereka beranggapan Islam tidak kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi. Kasus yang sering diangkat adalah adanya perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan dalam sektor publik, khususnya dalam politik. Inglehart dan Norris (2003), misalnya, menyatakan bahwa negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim cenderung tidak egaliter terhadap perempuan, dan karenanya, menghalangi akses perempuan pada kekuasaan dan pembuatan keputusan publik.
Pandangan miring itu terwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat Barat. Padahal, dunia Islam terus mengalami dinamika dan semakin afirmatif terhadap peran perempuan di sektor publik. Akan tetapi, kenyataan itu dikesampingkan begitu rupa oleh media dan orientaslis Barat seolah-olah dunia Islam mengalami stagnasi sepanjang sejarahnya. Pandangan itu mencerminkan bahwa mereka mengenakan kacamata kuda yang menutup mata dari dinamika dunia sekelilingnya.
Tampilnya Dr. Fatemah Vaiz Javadi di panggung politik Iran, sebenarnya menepis anggapan itu. Iran dikenal sebagai negara yang ketat menerapkan tradisi Islamnya dan bahkan dipandang konservatif dan menerapkan teokrasi oleh dunia Barat. Namun begitu, ternyata seorang Fatemah yang nota bene perempuan bisa tampil di tangga atas altar peopolitikan Iran, dalam jabatan yang cukup prestisius, sebagai wakil presiden merangkap menteri.
Apresiasi terhadap peran politik perempuan juga terjadi di belahan dunia Islam lainnya. Indonesia, sebagai negara muslim terbesar di dunia telah membuktikan hal itu. Tidak ada yang tabu bagi umat Islam Indonesia dalam membuka ranah publik yang luas bagi partisipasi politik perempuan. Megawati Soekarnoputri, seorang politisi perempuan, dapat diterima oleh publik masyarakat Islam sebagai Wakil Presiden dan kemudian Presiden. Bahkan, tuntutan berbagai kalangan bagi keterwakilan perempuan sebesar 30 % di parlemen, di kepengurusan partai politik, di lembaga penyelenggara pemilu dan sebagainya, mendapatkan dukungan yang luas dari berbagai kelompok Islam, termasuk partai-partai Islam.
Fenomena serupa juga terjadi di Pakistan dengan Benazir Bhuttonya dan Banglades dengan Begum Khaleda Zia dan Sheikh Hashina, yang pernah menjadi Perdana Menteri. Di negara tersebut, meskipun pada awalnya ada sedikit kontroversi, para ulama dan masyarakat Islam pada umumnya bisa menerima tampilnya perempuan di papan atas perpolitikan nasional.
Bagaimana dengan di dunia Barat yang selalu berpandangan sinis terhadap partisipasi politik petrempuan? Sampai detik ini, belum pernah ada dalam sejarah Amerika Serikat yang mengklaim sebagai kampium demokrasi, tampil seorang perempuan sebagai Wakil Presiden –sebagaimana di Iran—dan bahkan kepala negara sebagaimana di Indonesia, Pakistan dan Bangladesh. Paling banter, perempuan baru sebatas menjadi anggota Kongres dan Menteri kabinet. Kini, memang ada Hillary Clinton yang maju dalam bursa pemilihan Presiden AS 2008, tetapi kita belum tahu bagaimana sikap politik rakyat AS terhadap politisi perempuan untuk posisi Presiden. Kenyataan itu seharusnya membuka mata yang lebih luas para kritikus Barat dan anak didiknya bahwa pandangannya selama ini terhadap posisi politik perempuan di dunia Islam sudah tidak valid lagi dan bahkan sudah out of date.

Perspektif Islam
Dalam pandangan Islam, laki-laki dan perempuan memiliki beban yang sama untuk berkiprah dalam dakwah dan arena publik lainnya, sesuai dengan fitrahnya masing-masing. Allah berfirman dalam QS At-Taubah ayat 71:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mereka yang ta’at kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Alloh Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat ini Allah SWT menegaskan bahwa kewajiban amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan) dan nahy munkar (mencegah kemungkaran) dalam artian seluas-luasnya, berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Taklif (beban) perempuan sama dengan laki-laki dalam berbagai kewajiban syariat, kecuali sesuatu yang dikhususkan oleh Allah bagi laki-laki atau perempuan.
Ayat di atas menekankan satu bentuk tanggung jawab manusia untuk berdakwah. Dalam perspektif dakwah, dunia politik hanyalah salah satu media untuk berdakwah (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran) - disamping lewat media sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Dengan pemahaman tersebut, perempuan memiliki tanggung jawab dakwah yang sama dengan laki-laki, termasuk dapat pula hadir di kancah politik untuk kepentingan dakwah. Dalam prespektif yang lebih luas, dakwah bisa dipahami sebagai upaya menghadirkan perbaikan atau reformasi serta menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Kalau kita runut sejarah kenabian, tercatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran publik bersama kaum laki-laki. Dalam baiah aqobah kedua (sumpah setia muslimin kota Madinah), yang menyatakan kesetiaan kepada agama Islam dan kepemimpinan Rasulullah SAW, maka masyarakat muslimin Madinah mengutus 70 orang, dua orang di antaranya dalah perempuan, untuk mewakili komunitas muslim Madinah. Dalam konteks kultural pada waktu itu, pengakuan akan eksistensi dan perwakilan perempuan adalah sebuah perlawanan budaya yang sangat tegas. Karena di zaman itu memiliki anak perempuan saja masih malu dan aib, apalagi melibatkan perempuan dalam kancah publik.
Dalam rentangan sejarah Islam, sejumlah perempuan sahabat nabi seperti Nusaibah bint Ka’b, Ummu Athiyyah al Anshariyyah dan Rabi’ bint al Mu’awwadz ikut bersama laki-laki dalam perjuangan bersenjata melawan penindasan dan ketidakadilan. Mereka mengobati yang luka dan bahkan memanggul senjata di medan juang. Imam Bukhari meriwayatkan perkataan salah seorang shahabiyat (muslimah yang hidup di zaman Nabi): “Kami dulu berperang bersama Rosululloh SAW, memberi minum dan melayani tentara dan kami juga membawa pulang mereka yang terbunuh dan terluka ke Madinah”.
Para istri Nabi, seperti Khadijah, Aisyah, Ummu Salamah, dan Fathimah (Putri Nabi) juga tampil ke kancah publik. Mereka sering terlibat dalam diskusi tentang tema-tema sosial dan politik, bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkis. Umar bin Khattab juga pernah mengangkat al Syifa, seorang perempuan cerdas dan terpercaya, untuk jabatan manager pasar di Madinah.
Kiprah perempuan dalam arena publik juga dapat ditelusuri dalam pentas sejarah nasional bangsa Indonesia. Perjuangan kaum perempuan di masa penjajahan kolonial tak kalah heroiknya dengan kaum pria. Kita kenal Cut Nyak Dien, tokoh pejuang perempuan yang tangguh asal Aceh, Cut Meutia, juga Kartini, yang hingga kini namanya sering dijadikan simbol gerakan emansipasi perempuan.
Dewasa ini, banyak dijumpai perempuan yang aktif berkiprah di ruang publik (politik). Seperti aktif menjadi politisi, anggota parlemen, menteri, dan meraih posisi di jabatan publik lainnya. Oleh karena itu, upaya berbagai kalangan untuk menuntut kuota 30% bagi perempuan dalam politik, menurut saya, cukup relevan dengan dinamika masyarakat saat ini.
Dari paparan itu sudah sangat jelas bahwa Islam tidak pernah dan tidak akan memasung perempuan untuk berkiprah di sektor publik, termasuk berpartisipasi di dunia politik, sepanjang tidak melanggar fitrah dan norma-norma Islam yang sudah sangat jelas. Resistensi terhadap kiprah perempuan di dunia politik terjadi karena adanya kekhawatiran dengan terjunnya kaum perempuan ke sektor publik, seperti politik, bisa mengabaikan fungsi fitrahnya, sebagai ibu bagi anak-anak dan sebagai istri bagi suaminya, sebuah peran yang sangat dihargai dalam pandangan Islam. Sepanjang fitrah perempuan itu tidak terabaikan dan kaum perempuan bisa menjaga integritasnya sebagai seorang muslimah yang baik, menurut hemat saya, tidak ada halangan bagi perempuan Islam untuk berpartisipasi dalam dunia politik.
Persoalannya kembali kepada kaum perempuan sendiri. Mampukah di tengah rimba perpolitikan yang begitu kompleks, keras dan banyak wilayah abu-abu, kaum perempuan tetap menjaga marwah dan izzah-nya sebagai seorang ibu, istri dan muslimah yang baik ? Wallahu a’lam.l
Penulis adalah Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)

Supervisi Pendidikan dan Peran Majelis Dikdasmen

Reformasi di bidang pendidikan ditandai dengan terjadinya pergeseran paradigma pengelolaan dan pembinaan pendidikan dari centralized system menuju decentralized system bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Pada tingkat satuan pendidikan,otonomi pengelolaan pendidikan dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management [MBS]) memungkinkan satuan pendidikan bersama dengan orangtua, masyarakat dan Komite Sekolah untuk merencanakan, menyelenggarakan, mengevaluasi dan mengembangkan pendidikan dalam kerangka sistem dan kebijakan pendidikan nasional menuju sekolah yang efektif.
Menurut Hartoyo (2006:1) untuk mendukung keberhasilan implementasi MBS guna mewujudkan sekolah efektif, diperlukan minimal empat komponen penunjang. Pertama, kepemimpinan yang kuat tetapi fleksibel. Kedua, ketersediaan sumber dan sarana pembelajaran. Ketiga, komitmen masyarakat terhadap sekolah. Keempat, fokus atau konsentrasi pada pembelajaran.
Pengalaman beberapa negara, termasuk Amerika dan Inggris, dalam menerapkan MBS menunjukkan bahwa MBS memiliki kontribusi yang tinggi dan sangat mendukung terwujudnya sekolah yang efektif. Sekolah efektif setidaknya memiliki tiga ciri utama, yaitu: (1) proses pembelajaran yang baik yang ditunjukkan dengan bukti pencapaian belajar/akademik siswa yang tinggi; (2) proses pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk ikut serta secara aktif dan adanya evaluasi yang sesuai dengan tujuan pembelajaran; dan (3) keterlibatan masyarakat dalam menunjang misi pembelajaran/akademik dan menciptakan iklim masyarakat demokratis. (Beck & Murpy, 1996).

Supervisi Pendidikan
Beberapa contoh implementasi otonomi daerah bidang pendidikan menunjukkan bahwa kenyataan yang terjadi tidak selamanya sesuai dengan yang diharapkan. Hal yang sama juga terjadi pada implementasi MBS. Tidak semua sekolah yang menerapkan MBS memetik keberhasilan yang sama. Bahkan, tidak jarang sekolah yang mengalami hambatan dan kendala dalam menerapkan MBS, baik dalam proses maupun hasil yang dicapai.
Salah satu faktor kelemahan dan penyebab kegagalan sekolah dalam menerapkkan MBS dan mewujudkan sekolah efektif adalah lemahnya supervisi. Ketika semua komponen sekolah memiliki kewenangan atau otonomi untuk melakukan apa saja sesuai dengan tanggungjawabnya, mereka sering lupa untuk melakukan supervisi atau memperoleh supervisi.
Guru merasa memiliki otonomi untuk melakukan apa saja tanpa merasa perlu supervisi yang mereka anggap intervensi dari kepala sekolah, pengawas, dinas pendidikan atau yayasan sekolah. Kepala sekolah yang merasa memiliki otonomi melakukan apa saja dalam lingkup sekolah tanpa merasa perlu melakukan atau memperoleh supervisi. Demikian juga pengawas dan yayasan, juga merasa bahwa guru atau kepala sekolah telah memiliki otonomi dan dianggap tahu apa yang harus dilakukan, sehingga, pengawas seringkali melaksanakan supervisi hanya untuk memenuhi tugas semata.
Dalam konteks inilah hadirnya supervisor yang handal termasuk pengawas dalam menjalankan supervisi benar-benar diharapkan dan merupakan suatu keharusan. Jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran, hambatan, kendala atau permasalahan, serta hal-hal lain terutama yang terkait dengan pembelajaran, maka dengan adanya supervisi hal itu dapat diantisipasi dan segera dapat diatasi.
Supervisi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari serangkaian kegiatan pengelolaan (manajemen), termasuk manajemen pendidikan dan manajemen pembelajaran. Kegiatan supervisi merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting dan berarti dalam upaya mengetahui suatu program dan kegiatan. Berhasil tidaknya suatu kegiatan dalam suatu organisasi dapat dilihat dari kinerja yang dihasilkannya. Hal yang sama juga berlaku di dunia pendidikan, berhasil atau tidaknya satuan pendidikan (sekolah) juga dapat dilihat dari kinerja sekolah tersebut.
Salah satu indakator sekolah yang berhasil apabila sekolah tersebut dapat memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan efektif, baik di tingkat kelas (kualitas pembelajaran) maupun di tingkat sekolah (kualitas pengelolaan sekolah). Untuk membantu keberhasilan sekolah dan untuk menjamin sekolah melaksanakan aktivitasnya yang sesuai standar, diperlukan supervisi secara periodik dan berkesinambungan dengan perencanaan dan arah yang jelas.

Prinsip-prinsip Supervisi
Agar dapat melaksanakan supervisi dengan efektif, pengawas harus memahami prinsip-prinsip dalam melaksanakan supervisi. Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Supervisi yang diterbitkan oleh Ditjend Dikdasmen (1994) disebutkan bahwa ada empat prinsip dalam melaksanakan supervisi, yaitu: (1) ilmiah (scientific); (2) demokrasi; (3) Kooperatif; (4) Konstruktif dan Kreatif.
Pertama, ilmiah. Supervisi harus memenuhi prinsip ilmiah, artinya bahwa supervisi hendaknya dilakukan secara (a) sistematis, teratur, terprogram, dan berkesinambungan; (b) objektif berdasarkan pada data/informasi yang sebenarnya; (c) menggunakan instrumen yang dapat memperoleh data/informasi yang akurat, dapat dianalisis dan dapat mengukur ataupun menilai proses pembelajaran.
Kedua, demokrasi. Bahwa dalam melaksanakan kegiatan supervisi, seorang supervisor hendaknya melaksanakan tugasnya dengan asas musyawarah, memiliki jiwa kekeluargaan yang kuat serta menghargai dan sanggup menerima pendapat orang lain.
Ketiga, kooperatif. Dalam melaksanakan kegiatan supervisi, supervisor hendaknya dapat mengembangkan usaha bersama untuk menciptakan situasi pembelajaran yang lebih baik.
Keempat, konstruktif dan kreatif. Dalam melaksanakan supervisi, supervisor hendaknya dapat membina inisiatif guru serta mendorongnya untuk terlibat aktif dalam menciptakan situasi pembelajaran yang lebih baik.
Selain itu dapat ditambahkan pula bahwa supervisi harus memiliki tujuan dan indikator yang jelas. Tujuan (dan indikator) yang jelas merupakan prinsip dasar yang harus ada dalam melaksanakan supervisi. Seorang pengawas tidak akan mungkin melaksanakan kegiatan supervisi apabila tidak memiliki tujuan yang jelas, sebagaimana dinyatakan oleh Blandford (2000: 51), “agreed targets should be stated clearly”. Target atau tujuan yang hendak dicapai termasuk indikatornya, harus dinyatakan secara jelas. Blandford memberikan prinsip-prinsip dalam penyusunan target atau tujuan yang disingkat dalam akronim SMARTES: Specific, Manageable, Appropriate, Realistic, Time-constrained, Informative, Evaluated, Stimulating.

Peran Majelis Dikdasmen
Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah sebagai salah satu unsur pembantu pimpinan yang bertanggung jawab penuh terhadap persoalan pendidikan Muhammadiyah memiliki peran yang cukup penting dalam konteks implementasi MBS ini. Kemajuan dan kemunduran persekolahan Muhammadiyah sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi Majelis Dikdasmen Muhammadiyah, seperti penyediaan sarana pra sarana pendidikan, sumber daya manusia; pengawalan terhadap kurikulum yang berlangsung; masalah kesejahteraan guru dan karyawan yang ada di semua tingkat satuan pendidikan; dan sebagainya.
Sering dikatakan bahwa tugas Majelis Dikdasmen hampir sama dengan Dinas Pendidikan. Sama-sama memiliki peran dan fungsi sebagai penanggungjawab penuh terhadap proses pendidikan yang ada di kabupaten/kota, dan juga memiliki kesamaan dalam hal penanggungjawab terhadap sumber daya manusia/tenaga pendidik dan kependidikan di semua tingkat satuan pendidikan, termasuk juga bertanggungjawab terhadap kesejahteraan guru/karyawan di sekolah negeri.
Peran dan fungsi tersebut di atas akan bertambah berat apabila dihubungkan dengan proses keberhasilan program pembelajaran dan pengelolaan sekolah. Hal ini tentu saja sangat berhubungan dengan berbagai perangkat yang harus disiapkan oleh sekolah dalam upaya mengimplementasikan kurikulum pendidikan yang sedang berlangsung.
Tugas Majelis Dikdasmen selanjutnya adalah bagaimana agar seluruh kegiatan di sekolah, baik pembelajaran maupun pengelolaan dapat berjalan dengan efektif dan kreatif. Peran Majelis Dikdasmen dalam persoalan ini tampaknya tidak dapat ditawar-tawar lagi. Dengan sumberdaya dan dana yang dimiliki, semestinya Majelis Dikdasmen dapat mengambil peran yang cukup strategis, terutama peran supervisi pendidikan guna mengevaluasi semua program sekolah, sehingga semua tugas kependidikan dapat berlangsung dengan baik.l

Rachmat Suprapto, Sekretaris Majelis Dikdasmen PDM Kota Semarang; Dosen dan Sekretaris Pusat Studi Agama dan Sosial Budaya (PSASB) Universitas Muhammadiyah Semarang.