Kamis, 11 Oktober 2007

Tuntutlah Ilmu Sampai ke Negeri Cina?


Hadits dha’if (lemah), apalagi palsu, tidak boleh dijadikan dalil, dan hujjah dalam menetapkan suatu aqidah, dan hukum syar’i di dalam Islam. Demikian pula, tidak boleh diyakini hadits tersebut sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di antara hadits-hadits dha’if yang masyhur tersebut ada yang digunakan oleh para khatib dan dai untuk mendorong orang menuntut ilmu dimana pun tempatnya. Sekali pun jauhnya sampai ke Negeri Tirai Bambu, Cina. Namun sayangnya para khatib, dan da’i kita kurang kepeduliannya dalam mengetahui derajat hadits ini. Akhirnya, mereka pun berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Hadits ini diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ

“Tuntutlah ilmu, walaupun di negeri Cina”.

Hadits ini diriwayatkan oleh:
- Ibnu Addi dalam Al-Kamil (207/2)
- Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan (2/106)
- Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (9/364)
- Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal (241/324)
- Ibnu Abdil Barr dalam Al-Jami’ (1/7-8)
- dan lainnya
Semuanya dari jalur Al-Hasan bin ‘Athiyah, ia berkata, Abu ‘Atikah Tharif bin Sulaiman telah menceritakan kami dari Anas secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).

Ini adalah hadits yang dha’if jiddan (lemah sekali), bahkan sebagian ahli hadits menghukuminya sebagai hadits batil, tidak ada asalnya. Ibnul Jauzi rahimahullah berkata dalam Al-Maudhu’at (1/215) berkata, ‘’Ibnu Hibban berkata: ‘Hadits ini batil, tidak ada asalnya’’.

Oleh karena ini, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menilai hadits ini sebagai hadits batil dan lemah dalam Adh-Dhaifah (416).

As-Suyuthiy dalam Al-La’ali’ Al-Mashnu’ah (1/193) menyebutkan dua jalur lain bagi hadits ini, barangkali bisa menguatkan hadits di atas. Ternyata, kedua jalur tersebut sama nasibnya dengan hadits di atas, bahkan lebih parah. Jalur yang pertama, terdapat seorang rawi pendusta, yaitu Ya’qub bin Ishaq Al-Asqalaniy. Jalur yang kedua, terdapat rawi yang suka memalsukan hadits, yaitu Al-Juwaibariy. Ringkasnya, hadits ini batil dan tidak boleh diamalkan. Apalagi dijadikan hujjah, dan diyakini sebagai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.(*)

Sumber:

http://darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=582

14 Responses to “Mengapa Salafy?”


  1. Saya salut dan saya setuju,
    tapi klo tidak bermanhaj salaf (kasarnya, menjadi orang salafy) tidak apa -apa kan?

    Itu sebuah pilihan, manhaj adl sebuah metode dlm mendalami Islam, kita mau bermanhaj salafy (sahabat rosululloh), bermanhaj ikhwany (IM), takfiri (Jamaah Islamiyah), mu’tazili (JIL), atau manhaj bikinan kita sendiri. Itu pilihan kita dan kita bertanggung jawab atasnya

  2. Assalamu’alaikum,

    Saya tertarik pada point dibawah ini :

    Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam.

    Bagaimana ulama-ulama kita yang terdahulu & yang sekarang ini yang tidak ber-Manhaj Salaf ?
    apakah mereka termasuk pada golongan yang masuk neraka / bukan ya ?

    Wa’alaikumussalam,

    Termasuk aqidah ahlussunnah wal jamaah dalam menetapkan si A (secara khusus) masuk neraka atau tidak itu adalah rahasia Allah.
    Coba perhatikan kata2 pertama:
    “Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam”
    Lalu bagaimanakah kondisi orang2 yg menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?

  3. Maksudnya yang menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mengikuti selain manhaj salaf ???

    Iya benar, karena Allah menyebutkan dalam AlQuran: “Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

    Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih.

    Juga didukung oleh hadits Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: (golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

  4. Terima kasih atas penjelasannya, Jadi kalau kita menjalankan sunah-sunah Rasul dan para sahabatnya tapi tidak bermanhaj salafy bisa juga kan ?

    Menjalankan sunnah Rasul dan para sahabatnya = itulah manhaj salafy. Istilah salafy digunakan/populer ketika mulai banyak manhaj/kelompok yg mengatasnamakan ahlussunnah berdasarkan pemahaman pendiri-nya/kelompok-nya. Istilah ahlussunnah juga dipakai ketika muncul fitnah syiah (kelompok yg paling tua menyimpang, mereka membenci para sahabat semisal Abu Hurairah, ‘Amr bin ‘Ash, Muawiyyah yg mereka juluki sbg iblis). Istilah2 ini muncul mmg sesuai dg kondisi-nya, semacam ikhwani=pengikut Ikhwanul Muslimin, Takfiri=yg mengkafirkan golongan lain, tablighi=pengikut jamaah tabligh, salafy=pengikut manhaj salaf/sahabat.
    Nah skr kita sbg org yg jauh dari Rasul tentunya butuh sebuah standard dlm rangka menjadi pengikut Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, menjadi ahlussunnah, syiah, atau yg lainnya. Atau karena kesombongan diri sendiri membuat manhaj ‘menurut aku’. Penyakit ummat diantara syahwat dan syubhat. Syahwat krn sifat kemanusiannya yg melebihi sifat kehambaannya. Syubhat krn kebodohannya. Penamaan itu bukan sekadar simbol loh mas tapi pencerminan apa yg dilakukan, bisa saja dia mengaku salafy (misal: Abu Salafy) tapi yg dilakukan mencemooh sahabat, ulama besar semisal Imam Bukhori, para ‘Ulama maka dia bukan salafy, bisa juga dia tdk menyebutkan siapa dirinya tapi dia mencocoki Rasul dan mengikuti manhaj para sahabat Rasulullah maka dia adalah al-jama’ah (sbgmn disebutkan dlm sebuah hadits)

  5. Assalamu’alaikum Wr. Wb.

    Ana hanya ingin menunaikan kewajiban untuk menyampaikan.
    Menjalankan sunnah Rasul dan para sahabatnya adalah kewajiban sebagai muslim, namun
    menyebut diri sebagai “salafy” adalah bid’ah. Sebagaimana menyebut diri sebagai ikhwani, tablighi, dsb.
    Rasulullah.
    Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari adalah ulama yang tawadhu dan tidak diragukan ketaqwaannya, namun tidak ada manusia yang sempurna sebagaimana Rasulullah saw.
    Tidak ada satupun dalil-dalil baik hadits maupun para sahabat yang memerintahkan umat Islam untuk menyebut diri mereka salafy atau salafiyun.

    Selain itu, dikhawatirkan akan muncul kelompok baru yang merasa sudah menjalankan sunnah rasul dan para sahabat secara kaffah. Sedangkan kelompok lain dianggap belum sempurna.

    Contoh, banyak anggota IM yang melakukan perbuatan bid’ah, namun tidak sedikit juga yang konsisten terhadap apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, serta para salafus saleh. Perbedaannya adalah mereka berdakwah melalui “harakah” yang terorganisir. Inilah yang membuat mereka terjebak pada kelompok2.
    Jika seseorang yang konsisten terhadap apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, serta para salafus saleh kemudian menyebut dirinya sebagai salafy, maka apa bedanya dengan orang yang menyebut sebagai IM?
    Tidak sedikit saudara-saudara kita yang saling akrab karena sama-sama menyebut diri mereka “salafy” dan kemudian memandang sebelah mata kepada kelompok lain. Diakui atau tidak ini adalah resiko dari “Nisbat” tersebut.
    Karena itu saudaraku..mari teliti kembali terhadap apa yang kita terima yang tidak jelas dalil-dalilnya, cukuplah kita sebagai Jamaah kaum muslimin, yang bersandar pada manhaj ahlus sunnah wal jama’ah (bukan berarti menyebut “salafy”)
    Demi Allah, sudah cukup banyak fitnah melanda kaum muslimin,
    Semoga Allah menunjuki kita ke jalan-Nya yang lurus
    barakallahu fik.
    wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

    ade
    adebiasa@yahoo.com

    Wa’alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokatuh,
    Sebelumnya ada koreksi nih, Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari hanya ustadz bukan ulama.
    Jika boleh saya mengambil kesimpulan, inti pertanyaannya anda adl ttg “penamaan Salafy”.
    Memang tdk ada hadits maupun ayat yg memerintahkan kita utk menamai diri dengan Salafy, Sunni (Ahlussunah), Ikhwani, Tablighi, Syi’i, atau yang lainnya. Cukup hanya mengatakan saya seorang Muslim.
    Adapun munculnya istilah ahlussunnah terjadi ketika mulai terjadi perselisihan diantara kaum muslimin, munculnya Syiah dan Khawarij. Silahkan lihat di: wikipedia tentang sunni atau yg wikipedia ini (sunni menurut salafy)

    Nah sekarang dilihat apa tujuan kita menamai diri kita sbg seorang Muslim, Sunni, Salafy, IM, Jamaah Tabligh, dan lain-lainnya?
    Tdk lain adalah untuk membedakan diri kita dari yg lain. Ketika berkata “Saya seorang Muslim” di sebuah komunitas yg didalamnya ada agama lain adl sesuatu yg relevan untuk membedakan kita bukan pengikut kristen atau budha. Tapi ketika di sebuah komunitas yg terdiri dari org muslim semua maka tdk relevan lagi ketika kita menyebut diri kita Muslim. Demikian juga ketika kita berkata “Saya Salafy” untuk membedakan bahwa kita bukan IM, Jamaah Tabligh, atau yg lain.
    Jadi kesimpulannya penamaan ini hanya sekedar utk membedakan, saya bukan IM, Syiah, Jamaah Tabligh, atau yg lain.
    Analogi sederhana: “Pesan apa? teh, susu, putih, atau kopi? Kemudian kita jawab pesan air” ini jawaban yg kurang tepat tapi kita harus jawab secara lengkap “pesan air putih”

    Apakah sama antara menamakan diri dg IM, Salafy, atau yg lain?
    Ketika berkata “Saya anggota IM” maka yg dimaukan dengannya adl memahami Islam dg pemahaman Ikhwanul Muslimin.
    Ketika berkata “Saya salafy” maka yg dimaukan dengannya adl memahami Islam dg pemahaman para sahabat Rasulullah.
    Nama IM berujung kpd Hasan Al Banna sbg pendirinya sedangkan nama Salafy berujung kpd siapa? tentunya Rasulullah shalallohu ‘alaihi wasallam.
    Nama Salafy dan Ahlussunnah terdapat pada hadits, apakah nama IM terdapat dlm hadits juga?

  6. Afwan, pada komentar saya sebelumnya
    ada kata yang salah pada bagian:
    …..ikhwani, tablighi, dsb.
    Rasulullah.
    Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari …..
    Kata “Rasulullah” pada baris tersebut belum sempat terhapus, mohon diabaikan.
    Oya, kalau antum tidak berkenan menampilkannya pada kolom komentar, tidak apa-apa.
    Namun ana berharap ada alasan yang bisa antum sampaikan ke alamat email ana. Siapa tahu ana yang khilaf.
    Syukron
    wassalam

  7. Assalamu’alaikum,

    Terima kasih Pak Ustadz Ade. Saya setuju sekali dengan penjelasan antum bahwa kita sebagai Jama’ah kaum muslimin yang bersandar pada manhaj ahlus sunnah wal jama’ah (bukan berarti menyebut “salafy”).

    Wassalam,

    @Pakde Geng
    Kenapa tdk menyebut hanya “Muslim”. Ada tambahan ahlussunnah wal jama’ah berarti orang Syiah tdk termasuk dong?

  8. Memang sebutan “Muslim” itu yang lebih tepat, dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana membentuk suasana agama hidup dalam diri kita, keluarga dan orang-orang disekitar kita sehingga Insya Allah hidayah akan Allah turunkan keseluruh Alam.

    Setuju pakde, penamaan hanya simbolis, yg penting prakteknya. Sudah sejauh mana kita mengamalkan sunnah Rasulullah?

  9. assalamualaikum,,
    saya ingin bertanya, apakah semua sahabat itu dijamin mampu melanjutkan ajaran dari Rasulullah.?
    yang kedua, kenapa ada perbedaan antara sahabat yang satu dengan sahabat yang lainnya, padahal sumbernya satu yaitu Rasulullah?..
    yang ketiga, apa sih definisi sahabat itu?

    Sesuai AlQuran kita disuruh mengambil manhaj mereka, sesuai hadits mereka adl generasi terbaik.
    Perbedaan? Tiap manusia punya penafsiran masing2. Lalu bagaimana mrk menghadapi perbedaan? Dg ilmu tentunya.
    Sahabat?
    Kata Ibnu Katsir : “Shahabat adalah orang Islam yang bertemu dengan
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun waktu bertemu dengan
    beliau tidak lama dan tidak meriwayatkan satu hadits pun dari beliau”.

    Kata Ibnu Katsir :” Ini pendapat Jumhur Ulama Salaf dan Khalaf (=Ulama
    terdahulu dan belakangan)”. [3]

    Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani melengkapi definisi Ibnu Katsir, ia
    Berkata :”Definisi yang paling shahih tentang Shahabat yang telah aku teliti
    ialah : “Orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
    keadaan beriman dan wafat dalam keadaan Islam”. Masuk dalam difinisi ini
    ialah orang yang bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik lama
    atau sebentar, baik meriwayatkan hadits dari beliau atau tidak, baik ikut
    berperang bersama beliau atau tidak. Demikian juga orang yang pernah melihat
    beliau sekalipun tidak duduk dalam majelis beliau, atau orang yang tidak
    pernah melihat beliau karena buta. Masuk dalam definisi ini orang yang
    beriman lalu murtad kemudian kembali lagi kedalam Islam dan wafat dalam
    keadaan Islam seperti Asy’ats bin Qais.

    Kemudian yang tidak termasuk dari definisi shahabat ialah :

    [a]. Orang yang bertemu beliau dalam keadaan kafir meskipun dia masuk Islam
    sesudah itu (yakni sesudah wafat beliau).
    [b]. Orang yang beriman kepada Nabi Isa dari ahli kitab sebelum diutus Nabi
    shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi
    wa sallam dia tidak beriman kepada beliau.
    [c]. Orang yang beriman kepada beliau kemudian murtad dan wafat dalam
    keadaan murtad. Wal’iyaadzu billah. [4]

    Keluar pula dari definisi shahabat ialah orang-orang munafik meskipun mereka
    bergaul dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah dan Rasul-Nya
    mencela orang-orang munafik, dan nifaq lawan dari iman, dan Allah memasukkan
    orang munafik tergolong orang-orang yang sesat kafir dan ahli neraka [Lihat
    : Al-Qur’an surat An-Nisaa : 137,138,141,142,143,145. Juga surat Ali Imran :
    8 - 20].

  10. Sesuai AlQuran kita disuruh mengambil manhaj mereka, sesuai hadits mereka adl generasi terbaik.
    Perbedaan? Tiap manusia punya penafsiran masing2. Lalu bagaimana mrk menghadapi perbedaan? Dg ilmu tentunya.

    ==> Para Sahabat dalam menghadapi perbedaan dengan ilmu tentunya, lalu bagiamana dengan kita ? kaum akhir zaman yang banyak sekali perbedaan-perbedaan ini, tidak cukup dengan ilmu saja. Yang lebih utama adalah bagaimana kita memiliki akhlak dan amalan seperti yang dimiliki oleh para sahabat r.a

    Tapi pada prakteknya mereka mengedepankan golongan/kelompok, taklid buta. Kata2 yg sering terlontar: “Kami juga punya ulama”, “Ini juga ada haditsnya”, dll. Seharusnya mereka mau utk terbuka, diskusi ilmiah. Bagaimana kita tahu amalan dan akhlak para sahabat? Dengan ilmu tentunya.

  11. Saya setuju dengan ilmu kita dapat mengetahui amalan dan akhlak para sahabat r.a, tapi tidak cukup hanya untuk diketahui saja atau mengadakan diskusi ilmiah saja. Amalkan yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari, Amalkan dalam kehidupan sehari-hari kita, dakwahkan kepada orang-orang disekitar kita dimanapun kita berada sehingga suasana agama kembali tumbuh seperti zaman Rasulullah S.A.W dan para sahabat r.a.

    Setuju, ilmu tanpa amal adl seperti pohon tanpa buah.

  12. kapan seseorang dikatakan salafy? saya merasa sudah mengikuti sunnah Rasulullah? berarti saya salafi dong

    Bisa

  13. Sebaiknya kita jangan cuma “merasa” sudah mengikuti sunnah. Tapi harus yakin dan mempelajari sunnah dengan mengikuti sahabat. Karena merekalah yang melihat langsung bagaimana kehidupan Nabi Shallallohu’alaihi wasallam, mendapat didikan langsung dari beliau dan mereka pula yang paling bersemangat dalam menerapkan sunnah. Jadi bukan karena merasa telah mengikuti Al-Quran dan Hadits saja. Bukankah mereka yang menyebut diri mereka IM, Jamaah Tabligh, Islam Jamaah, LDII bahkan syiah juga mengklaim bahwa mereka telah mengikuti Al-Quran dan Hadits. Tapi pertanyaannya: Al-Quran dan Hadits berdasarkan penafsiran siapa??

    Sungguh menyandang predikat sebagai seorang salafy atau pengikut salaf bukan perkara yang ringan. Karena sering kali masyarakat menjadi salah paham terhadap manhaj ini karena beberapa orang yang baru belajar ilmu agama dan telah mengaku sebagai salafy kemudian melakukan tindakan sembrono dalam membidahkan, memvonis bahkan mengkafirkan orang-orang yang sebenarnya masih awam atau belum memahami dan mengamalkan Islam secara benar. Padahal mengikuti manhaj salaf dan menjadi seorang salafy berarti juga harus mengikuti manhaj mereka dalam bermuamalah dan berdakwah.

    Syaikh Bakar Abu Zaid berkata :
    ‘Apabila dikatakan As-Salaf atau As-Salafiyun atau As-Salafiyah, ini menisbatkan kepada Salaf As-Shalih, yakni seluruh sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan tanpa condong kepada hawa nafsunya…
    Dan orang-orang yang tetap diatas manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka dinisbatkan kepada Salaf Ash-Shalih. Kepada mereka dikatakan As-Salaf, As-Salafiyun. Yang menisbatkan kepada mereka dinamakan Salafi, dan itu wajib baginya. Karena sesungguhnya lafazh Salaf adalah Salafu Ash-Shalih. Lafazh ini secara mutlak, yakni setiap orang yang berteladan kepada sahabat Radhiyallahu ‘anhum.
    Walaupun dia hidup pada zaman kita ini, harus seperti ini, inilah kalimat ahlu ilmi, Itulah penisbatan dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Bukan merupakan formalitas dan tidak terpisah sedikitpun dari generasi yang pertama, bahkan itu penisbatan dari mereka dan kembali kepada mereka.
    Sedangkan orang yang menyelisihi As-Salaf, hanya berdasarkan nama atau formalitas belaka, maka jangan. Walaupun mereka hidup sezaman dengan para Salafu Al-Ummah dan setelah mereka’. [Hukmu Al-Intima hal. 36]

    Jazakallohu khoiron atas tambahannya

  14. @ syarif
    saya menggunakan kata “merasa” karena memang hal ini sangat subyektif. Apakah Anda juga sekadar “merasa”, atau memang ada ukuran objektif sehingga saya bsa imembuang kata “merasa”. Lalu, apa yang menjadi ukuran objektif itu? Siapa yang membuat ukuran objektif itu?

    “Lafazh ini secara mutlak, yakni setiap orang yang berteladan kepada sahabat Radhiyallahu ‘anhum.”

    Ya, saya juga berteladan kepada sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Mengapa saya diragukan untuk disebut salafi? Walaupun saya tidak ikut haraqah manapun.

    Terakhir, @syarif, Anda sudah salafi?

Mengapa Salafy?


Mengapa Harus Bermanhaj Salaf
Penulis: Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari
Syariah, Manhaji, 05 - Juli - 2003, 06:07:10

Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk.

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj () dan salaf (). Manhaj () dalam bahasa Arab sama dengan minhaj (), yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).

Sedangkan salaf (), menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).

Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf () adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafi atau As Salafi, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala 6/21).

Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali).

Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedang kan Allah telah berwasiat kepada kita:
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)

Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut:
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7)

Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” (Madaarijus Saalikin, 1/72).

Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya.
Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.’” (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.

Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100).

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.

Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367).

Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut:

1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).

Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya.
Al Imam Asy Syathibi berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah nabi mereka  atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”(Al I’tisham, 1/118).

2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).

Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: (golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini sebagai nash (dalil–red) bagi apa yang diperselisihkan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara:
- Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam.
- Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan.
- Ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits hal 78-79).
Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.

Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena:
1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus.
2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam.
3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya.
4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika:
1. Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun orang-orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63).
2. Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil melalui kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54).
3. Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88).
4. Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil melalui kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88)
5. Al-Imam As Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57).
6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149).
Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155).

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lamu bish shawaab.

sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=82

Hukum dalam puasa Sunnah 6 hari bulan Syawal


bismillah.jpg

Penulis: Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts wal Ifta’

Dalil-dalil tentang Puasa Syawal

Dari Abu Ayyub radhiyallahu anhu:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka itulah puasa seumur hidup’.” [Riwayat Muslim 1984, Ahmad 5/417, Abu Dawud 2433, At-Tirmidzi 1164]Hukum Puasa Syawal

Hukumnya adalah sunnah: “Ini adalah hadits shahih yang menunjukkan bahwa berpuasa 6 hari pada Syawal adalah sunnah. Asy-Syafi’i, Ahmad dan banyak ulama terkemuka mengikutinya. Tidaklah benar untuk menolak hadits ini dengan alasan-alasan yang dikemukakan beberapa ulama dalam memakruhkan puasa ini, seperti; khawatir orang yang tidak tahu menganggap ini bagian dari Ramadhan, atau khawatir manusia akan menganggap ini wajib, atau karena dia tidak mendengar bahwa ulama salaf biasa berpuasa dalam Syawal, karena semua ini adalah perkiraan-perkiraan, yang tidak bisa digunakan untuk menolak Sunnah yang shahih. Jika sesuatu telah diketahui, maka menjadi bukti bagi yang tidak mengetahui.”

[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/389]

Hal-hal yang berkaitan dengannya adalah:
1. Tidak harus dilaksanakan berurutan.

“Hari-hari ini (berpuasa syawal-) tidak harus dilakukan langsung setelah ramadhan. Boleh melakukannya satu hari atau lebih setelah ‘Id, dan mereka boleh menjalankannya secara berurutan atau terpisah selama bulan Syawal, apapun yang lebih mudah bagi seseorang. … dan ini (hukumnya-) tidaklah wajib, melainkan sunnah.”

[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/391]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Shahabat-shahabat kami berkata: adalah mustahab untuk berpuasa 6 hari Syawal. Dari hadits ini mereka berkata: Sunnah mustahabah melakukannya secara berurutan pada awal-awal Syawal, tapi jika seseorang memisahkannya atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawal, ini juga diperbolehkan, karena dia masih berada pada makna umum dari hadits tersebut. Kami tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini dan inilah juga pendapat Ahmad dan Abu Dawud.” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab]

Bagaimanapun juga bersegera adalah lebih baik: Berkata Musa: ‘Itulah mereka telah menyusul aku. Dan aku bersegera kepada-Mu, Ya Rabbi, supaya Engkau ridho kepadaku. [QS Thoha: 84]

2. Tidak boleh dilakukan jika masih tertinggal dalam Ramadhan

“Jika seseorang tertinggal beberapa hari dalam Ramadhan, dia harus berpuasa terlebih dahulu, lalu baru boleh melanjutkannya dengan 6 hari puasa Syawal, karena dia tidak bisa melanjutkan puasa Ramadhan dengan 6 hari puasa Syawal, kecuali dia telah menyempurnakan Ramadhan-nya terlebih dahulu.”

[Fataawa Al-Lajnah Ad-Daa’imah lil Buhuuts wal Ifta’, 10/392]

Tanya : Bagaimana kedudukan orang yang berpuasa enam hari di bulan syawal padahal punya qadla(mengganti) Ramadhan ?

Jawab : Dasar puasa enam hari syawal adalah hadits berikut

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan lalu mengikutinya dengan enam hari Syawal maka ia laksana mengerjakan puasa satu tahun.”

Jika seseorang punya kewajiban qadla puasa lalu berpuasa enam hari padahal ia punya kewajiban qadla enam hari maka puasa syawalnya tak berpahala kecuali telah mengqadla ramadlannya (Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin)

Hukum mengqadha enam hari puasa Syawal

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ?

Jawaban
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun” [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya) : “..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)” [Thaha : 84]

Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya) : “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit”

Tidak disyari’atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.

Mengqadha enam hari puasa Ramadhan di bulan Syawal, apakah mendapat pahala puasa Syawal enam hari

Pertanyaan
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?

Jawaban
Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda (yang artinya) : “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun”
Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan (yang artinya) : “Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan”

Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.

Apakah suami berhak untuk melarang istrinya berpuasa Syawal

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya : Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jika ia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal ? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa ?

Jawaban
Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saat suaminya hadir di sisinya (tidak berpergian/safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya. Dan seandainya wanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminyta ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istrinya berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari itu ataupun puasa-puasa sunnat lainnya.

Hukum puasa sunnah bagi wanita bersuami

Pertanyaan
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya : Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telah bersuami ?

Jawaban
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Tidak halal bagi seorang wanita unruk berpuasa saat suminya bersamanya kecuali dengan seizinnya” dalam riwayat lain disebutkan : “kecuali puasa Ramadhan”
Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat, atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian), atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu : Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari ‘Arafah, puasa ‘Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.

(Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita Muslimah, Amin bin Yahya Al-Wazan)

12 Responses to “Nashihat untuk Organisasi Muhammadiyah (Penetapan Lebaran)”

  1. >>>Hanya Allah Yg maha tahu…dasar rujukan apa yg dipakai oleh muhammadiyah atau oleh anda

    >>>saya seorang muslim yang awam tapi berusaha menjadi seorang muslim yang kaffah,saya tidak mempelajari islam sampai ke saudi arabia seperti anda tapi saya berusaha menjalankan islam sesuai dengan alquran dan sunnah(tentu saja yang shahih)
    yang saya tahu agama islam tidak berpikir kerdil dan mengikuti kemajuan jaman

    kalau memang pada jaman rasullullah br bisa melihat bulan dengan mata telanjang apa iya jaman sekarang dimana ada teropong bintang yang bisa membantu kita melihat dengan jelas posisi bulan tidak dipergunakan dan berskeras menggunakan mata telanjang???

    >>>beliau adalah seorang yang ummi tidak bisa membaca tapi beliau menyuruh umatnya untuk menuntut ilmu sampai ke negri china(tandanya beliau menghargai ilmu pengetahuan)

    >>>setahu saya bila saudi ber idhul fitri maka di indonesia yang berada dibelahan timur juga merayakannya,bukan ditunda seperti yang dulu2 dilakukan oleh pemerintah indonesia,dan apabila ada yang sudah merayakan hari raya maka haram hukumnya untuk berpuasa ramadhan.bukankah sumber agama islam itu adalah alquran,assunah dan ijtihad ulama (bukan pemerintah)

    >>>Selamat Idhul Fitri, Mohon Maaf lahir batin

    Wallahu a’lam, hadits menuntut ilmu sampai ke negeri Cina itu dlo’if. Lihat pembahasan lengkapnya disini
    Bukannya kebalik mas, semakin barat Hilal-nya semakin wujud……???
    Tentang Lebaran Bersama Pemerintah akan datang artikel-nya, lihat disini

  2. Assalamu’alaikum

    Barakallahu fiyka

  3. Hmmm… kiranya apa ada 2 idul fitri lagi ya…??
    Klo saya lebih condong ke pemerintah bilang apa…

  4. “Pembaca yang budiman, mari kita bandingkan pernyataan ini dengan keterangan [hadits] dan penjelasan berikut : ………”

    Dalam pandangan kami, kurang adil membandingkan hasil wawancara untuk publik (yang tidak dilengkapi dengan hujjah “ilmiah”) dengan hadits dan penjelasan Anda yang “ilmiah” itu. Yang lebih adil adalah membandingkannya dengan hujjah Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah yang juga “ilmiah”.

    Lihat, antara lain,
    http://media.isnet.org/isnet/Djamal/konsepsi.html dan
    http://www.eramuslim.com/berita/nas/7111130206-muhammadiyah-dan-qaradhawi-sepakat-dengan-penentuan-metode-hisab.htm?rel

  5. Sesungguhnya keberagaman adalah rahmat…karena kedua2xnya mempunyai dalil yang kuat….wallahu’alam….

  6. dalam kasus yang lain, saya ambil contoh begini:
    untuk menentukan waktu sholat, apakah kita harus melihat dahulu pergerakan matahari?
    terus juga, mengapa kita sudah bisa menentukan waktu sholat untuk satu tahun ke depan?

  7. Terimalah nasehat yang menggunakan dasar hadist yang kuat ini. Kenapa takut?

  8. […] http://mumtazanas.wordpress.com/2007/10/09/nashihat-untuk-organisasi-muhammadiyah-penetapan-lebaran/ […]

  9. Kalimat ini kurang sempurna

    Sesungguhnya keberagaman adalah rahmat

    Yang lebih baik barangkali “Di dalam keberagaman itu ada rahmat, sedangkan di dalam keseragaman itu lebih nikmat
    Artinya kita harus tetap lebih menghargai dan mengarah ke-keseragaman. Jangan hanya menghibur diri ketika masih beragam dengan adanya hikmah.

  10. buat rovicky, koq standar ganda gitu yah? hehe.. tp gpp itu pendapat Anda, sy hargai, kalo saya sendiri lebih suka komentarnya zozon… islam kan “plural”, jgnkan d Arab, di Indonesia apalagi… saya berada di lingkugan muhammadiyah, meskipun msh awam masalah ini, tp logika penetapan 1 syawal versi muhammadiyah bisa diterima, kalopun ada perbedaan dgn yg lain, so what? sma2 ada hadistnya.. kenapa mesti takut berbeda? dari dulu org Indonesia juga terdiri dari ratusan suku & budaya tapi kita ttp hidup dalam perbedaan itu, pelangi kalau cuma berwarna merah tidak akan seindah pelangi yg warna-warni, masakan yg anda makan kalau cuma nasi juga akan hambar kalau tidak diberi bumbu & sayur yg beda-beda, gimana? (hehe… udah bayangin ketupat & opor ayam nih besok jumat :) wasalam… Minal Aidin wal Faidzin, Maaf Lahir Bathin

  11. menurut saya yang membedakan adalah antara wujudul hilal dan rukyatul hilal. kalau orang Muhammaddiyh beranggapan pokoknya bulan itu tampak maka sudah hari raya. sedangkan pemerintah mempunyai pendapat sebelum hilal itu sampai 3 derajat di atas ufuk maka belum hari raya. jadi perbedaanya cuma derajatnya saja

  12. ….. :)

  13. Saya lahir dari keluarga Muhammadiyah dan besar di lingkungan NU, namun sejauh saya hidup di lingkungan saya masing2 baik Muhammadiyah dan NU saling menghargai metode yang dipakai. Dan yg lebih salute tdk ada statement “pembenaran diri” baik yg Muhammadiyah maupun yg NU. Semuanya harmonis dan menghargai perbedaan. Sama hal-nya dgn rakaat sholat tarawih antara Muhammadiyah dan NU, tidak ada permasalahan, masing2 saling menghargai. Para ulama dikampung saya baik yang NU maupun Muhammadiyah lebih tertarik berdiskusi, berjibaku dan berdebat masalah2 sosial seperti: kemiskinan, pengangguran, pemberdayaan UKM, korupsi daripada memper-debatkan masalah perbedaan hari raya, gimana hukumnya orang berpuasa yg menggosok gigi.

    Dan postingan ini menambah deretan jumlah orang2 yg merasa “suci”, merasa lebih dekat dgn Allah SWT, menganggap dirinya paling benar apalagi judul diatas sangat provokatif. Muhammadiyah adl organisasi yg telah berumur hampir satu abad, berdiri tahun 1912, organisasi terbesar ke-2 setelah NU, jadi tentunya mereka telah mempertimbangkan semuanya.

Nashihat untuk Organisasi Muhammadiyah (Penetapan Lebaran)


bismillah.jpg

Abu Abdillah Muhammad Yahya

Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepada umat Islam assunnah dan isnad. Dan yang telah meninggikan derajat ulama hadits di setiap zaman dan tempat. Dan yang telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kita dengan sambungan riwayat. Dan yang telah membaguskan dan membuat indah wajah-wajah para muhaddits dan para periwayat. Yaitu orang-orang yang berjalan dan mengajak manusia untuk menempuh jalan yang penuh petunjuk lagi selamat.Kami memohon perlindungan dan ampunan kepada Allah dari kejelekan perbuatan jiwa dan dosa-dosa yang berkarat. Barangsiapa yang diberi petunjuk-Nya, niscaya tidak ada yang bisa membuatnya sesat.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan keharibaan Muhammad bin Abdillah shalallahu ‘alaihi wasallam yang diutus untuk menghapus seluruh syariat. Kemudian mengemban syariat Islam yang mulia dan terhormat. Dan yang dijadikan sebagai penutup para Nabi sampai hari kiamat. Dan semoga shalawat dan salam dilimpahkan pula kepada keluarga, para Sahabat dan pengikutnya sampai datangnya yaumut-tanad.

Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Allah Al Ahad Ash-Shamad. Dan saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diikuti selain Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.

Amma ba’du :

Sesungguhnya agama ini adalah wahyu dari Allah azza wa jalla. Dan didapat dengan cara talaqqi dan isnad. Bukan dengan otodidak dan kreatifitas. Barangsiapa menyangkanya demikian, maka dia telah menjauhkan dirinya dari petunjuk sejauh-jauhnya.

Adalah Nabi shalallahu ‘alihi wasallam telah membacakan Al Qur’an kepada para Sahabat radhiyallahu ‘anhum, lalu mereka membacanya dihadapan Nabi. shalallahu ‘alihi wasallam. Dan para Shahabat membacakannya kepada para Tabi’in, lalu mereka membacanya dihadapan para Shahabat dan seterusnya. Demikianlah silsilah agama ini. Para Ulama dari dulu hingga sekarang telah menjalaninya sebagai standar baku untuk mendapatkan ilmu agama.

Demikian pula ucapan, perbuatan dan persetujuan Nabi shalallahu ‘alihi wasallam adalah bagian dari wahyu dan ilham. Orang-orang yang adil, shalih dan terpercaya sebelum kita telah menukilnya dan menyampaikannya kepada kita tanpa bias sedikitpun, baik pengurangan atau penambahan maupun kerancuan atau kesamaran. Bahkan dengan sangat jelas dan gamblang.

Hanya para pembaca kitab-kitab hadits dan mereka yang duduk bersimpuh untuk belajar dan mengambil faidah dari para Ulama yang mengetahui tingginya kedudukan As-Sunnah dan ilmu periwayatan yang disertai usaha maksimal untuk mendapatkan validitas dan kemurnian redaksi dan isnadnya.

Al Imam Abdullah bin Mubarak berkata :

الإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ. وَلَوْلاَ الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ.

Artinya: isnad adalah bagian dari agama. Dan jika tanpa isnad, niscaya siapapun bebas berbicara seenaknya (tentang agama ini). Muqaddimah Shahih Muslim

Pembaca yang budiman, terdapat berita sebagai berikut

Muhammadiyah: Teropong Digital Bisa Atasi Awan

Imam Wahyudiyanta - detikcom

Surabaya - Penggunaan teropong canggih untuk melihat hilal dinilai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Prof Syafiq Mughni sah-sah saja. Namun, Rukyat tidak bisa hanya ditentukan dengan melihat hilal baik menggunakan mata telanjang maupun teropong digital.


Penentuan hilal dengan mata telanjang dilakukan karena belum berkembangnya ilmu pengetahuan. “Itu dulu waktu jaman Nabi Muhammad melihat dengan mata telanjang,” ujar Mughni saat dihubungi detiksurabaya.com, Kamis (6/9/2007)

Seiring berkembangnya waktu, kata Mughni, ilmu hisab (perhitungan) dan falak (perbintangan) semakin maju dan berkembang. Nah, dengan bertambah akuratnya kedua ilmu itulah penentuan hari awal puasa bisa ditetapkan.

Namun, kata Mughni, sah-sah saja jika menggunakan alat teknologi canggih. Sebab melihat bulan dengan mata telanjang belum bisa menjamin penentuan rukyat. “Bisa saja awan menghalangi pandangan mata terhadap bulan,” katanya. (iwd/mar)

Pembaca yang budiman, mari kita bandingkan pernyataan ini dengan keterangan dan penjelasan berikut :

Saya berkata dengan mengharap taufiq dari Allah :

حَدَّثَنِيْ شَيْخُنَا الوَالِد الشَّيْخُ المُحَدِّثُ الحَافِظُ المُعَمَّرُ الفَقِيْهُ أَحْمَدُ بنُ يَحْيَى بنِ مُحَمَّد شَبِيْر النَّجْمِيُّ آل شَبِيْر الأَثَرِيُّ –حفظه الله -

عَنْ مُحَمَّد خَيْرِ الحَجِّيِّ عَنْ أَمَةِ اللهِ الدَّهْلَوِيَّةِ عَنْ أَبِيْهاَ عَبْدِ الغَنِيِّ الدَّهْلَوِيِّ المَدَنِيِّ عَنْ مُحَمَّد عَابِدِ السِّنْدِيِّ,

(ح) وَعَنْ مُحَمَّدِ بنِ عَبدِ الرَّحْمَنِ بنِ إِسْحَاقَ آلُ الشَّيْخِ عَن سَعْدِ بنِ حَمَدِ بنِ عَتِيْقٍ عَنْ صَدِّيْق حَسَن خَان القَنُوْجِيِّ عَن عَبْدِ الحَقِّ بنِ فَضْلِ اللهِ العُثْمَانِيِّ,

كِلاَهُمَا عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ مُحَمَّدِ بنِ إِسْمَاعِيلَ الأَمِيرِ عَنْ أَبِيْهِ مُحَمَّدِ بنِ إِسْمَاعِيلَ الأَمِيْرِ الصَّنْعَانِيِّ عَنْ عَبدِ اللهِ بنِ سَالِمِ البَصْرِيِّ المَكِّيِّ عَن إِبْرَاهِيْمَ الكَوْرَانِيِّ عَنْ سُلْطَانِ المُزَاحِيِّ عَن النُّوْرِ الزِّيَادِيِّ عَن الشَّمْسِ مُحَمَّدِ الرَّمْلِيِّ عَن زَكَرِيَّا الأَنْصَارِيِّ عَنِ العِزِّ بنِ الفُرَاتِ عَن عُمَرَ ابنِ أميلة عَنِ ابنِ البُخَارِيِّ عَنِ الإِمَامِ الحَافِظِ أَبِي مُحَمَّدٍ عَبدِ الغَنِيِّ بنِ عَبدِ الوَاحِدِ المَقْدِسِيِّ-رحمه الله- صَاحِبِ عُمْدَةِ الأَحْكَامِ, أَنَّهُ قَالَ :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : ((إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْـدُرُوْا لَهُ)).

Telah menyampaikan kepada saya Syaikhuna As-Syaikh Al Muhaddits Al Hafizh Al Faqih Mufti Kerajaan Saudi Arabia Bagian Selatan, Ahmad bin Yahya bin Muhammad Syabir An-Najmi Alu Syabir Al Atsari Hafizhahullah dengan sanad yang bersambung sampai kepada Al Imam Al Hafizh Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al Maqdisi rahimahullah, beliau berkata dalam kitabnya Umdatul Ahkam :

Dari Abdullah bin Umar Radhiyalahu ‘anhuma, beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda :

“Apabila kalian melihatnya, maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya, maka berbukalah. Jika penglihatan kalian terhalang, maka sempurnakanlah 30 hari.”

Syaikhuna Ahmad An-Najmi hafizhahullah berkata :

Tema Hadits:

Yang mewajibkan puasa Ramadhan dan yang mewajibkan berbuka darinya serta hukumnya saat terjadi kesamaran.

Kosa Kata:

(إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ) : Kata ganti hu kembali kepada hilal. Dan wawu al jama’ah terarah kepada seluruh kaum muslimin.

(فَصُوْمُوْا) : Kalimat ini sebagai jawab syarth wa jaza dari kata idza. Dan yang serupa dengan kalimat ini adalah sabda Nabi: (وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا)

(فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ) : Yaitu jika penglihatan kalian terhalang oleh debu yang pekat atau mendung.

(فَاقْـدُرُوْا لَهُ) : Yaitu sempurnakanlah 30 hari.

Makna Umum :

Nabi memerintahkan umatnya untuk berpuasa dan berbuka berdasarkan ru’yatul hilal. Perintah ini terarah kepada seluruh kaum muslimin. Apabila salah seorang muslim melihatnya, maka seluruh kaum muslimin wajib berpuasa. Dan apabila dua orang atau lebih melihatnya saat keluarnya bulan Ramadhan dan masuknya bulan Syawal, maka seluruh kaum muslimin wajib berbuka dan berhari raya Idul Fitri, sebagaimana petunjuk yang terdapat pada dalil-dalil yang ada.

Fikih Hadits :

1. Dipahami darinya tentang penentuan hukumnya dengan rukyat. Dan maksud dari rukyat adalah penglihatan mata telanjang setiap individu umat ini. Oleh sebab itu terdapat hadits dari Nabi bahwa beliau bersabda :

((إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ, الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا …ألخ)) ().

Artinya: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak bisa menulis dan berhitung. Satu bulan demikian dan demikian…dst”.

Sabda Nabi (إِنَّا أُمَّّةٌ أُمِّيًّةٌ) menunjukkan pengingkaran terhadap penyebutan sebagian orang untuk bersandar kepada perhitungan bintang-bintang dan kedudukannya serta yang semisal dengannya.

2. Dipahami dari sabda Nabi (إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ) bahwa standarnya adalah penglihatan mata telanjang. Bukan bersandar pada penggunaan teropong bintang dan teropong digital serta teknologi canggih apapun. Perintah ini terarah kepada seluruh umat. Apa yang dikenal pada zaman tersebut sebagai cara untuk melihat hilal, maka itulah standar hukum syar’inya.

3. Dipahami dari sabda Nabi (فَصُوْمُوْا) yang merupakan jawaban dari syarat sebelumnya, bahwa rukyat dengan mata telanjanglah yang mewajibkan untuk berpuasa.

Para Ulama’ berbeda pendapat tentang persaksian yang mewajibkan puasa.

Terdapat hadits dari Abdullah bin Abbas radhiyalahu ‘anhuma beliau berkata :

جَاءَ أَعْراَبِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الهِلاَلَ. قَالَ : أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ؟ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ ؟ قَالَ : نَعَمْ. قَالَ : يَا بِلاَلُ, أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُوْمُوْا غَداً. ()

Artinya: Seorang Arab Badui datang kepada Nabi, kemudian berkata: “Sesungguhnya saya telah melihat hilal.”

Nabi bertanya: “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Allah? Apakah anda bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia menjawab: “Ya”.

Nabi bersabda: “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia agar berpuasa besok”.

Terdapat juga hadits bahwa keluarnya bulan harus dipersaksikan oleh dua orang.

Sedangkan standar saksi untuk masuknya bulan Ramadhan atau masuknya bulan Syawal adalah cukuplah dia sebagai seorang muslim.

4. Sabda Nabi, (وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا) yaitu apabila kalian melihat bulan Syawal, maka berbukalah. Dipahami darinya bahwa rukyat atau menyempurnakan bilangan bulan 30 hari adalah standar untuk berbuka.

5. Terdapat perbedaan dalam memahami sabda Nabi (صُوْمُوْا) dan (أَفْطِرُوْا) yang menunjukkan bahwa perintah tersebut terarah kepada seluruh umat. Apakah rukyat satu orang cukup untuk seluruhnya atau masing-masing kaum dengan rukyat mereka sendiri-sendiri.

Oleh sebab itu para Ulama berbeda pendapat: Apakah rukyat satu orang berlaku untuk seluruh kaum muslimin atau tidak berlaku kecuali kepada penduduk negerinya dan negara sekitarnya ?

Diantara para Ulama ada yang berpendapat bahwa rukyat satu orang berlaku untuk seluruh kaum muslimin. Mereka berdalil bahwa manusia di zaman Nabi dan Khulafa Ar-Rasyidin tidak mengenal rukyat setiap kaum berlaku bagi mereka sendiri. Bahkan yang tampak bahwa rukyat satu orang berlaku untuk seluruh kaum muslimin.

Saya berkata: Terdapat catatan pada pendapat ini.

Pertama: Bahwa tidak adanya penukilan tidak menunjukkan tidak terjadinya suatu kejadian. Manusia pada zaman tersebut berkomunikasi dengan alat komunikasi yang kuno. Sarana komunikasi seperti ini menjadikan penduduk setiap negeri terputus hubungan dengan negeri lainnya. Maka masing-masing negeri dengan rukyatnya untuk berpuasa dan berbuka.

Diantara buktinya adalah kisah Kuraib ketika tampak bulan kepadanya di Damaskus. Kemudian ketika sampai di Madinah pada akhir bulan, dia mengabarkan bahwa manusia melihat hilal pada malam jum’at. Maka Ibnu Abbas menjawab :

أَمَّا نَحْنُ فَقَدْ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ, فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتَّى نَرَاهُ أَوْ نُكْمِلَ العِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ.()

Artinya: “Sedangkan kami melihatnya pada malam sabtu. Maka kami akan terus berpuasa sampai kami melihatnya atau menyempurnakan bilangan 30 hari.”

Dengan hadits ini jelaslah bahwa rukyat tidak berlaku kepada mereka seluruhnya.

Kedua: Pada saat itu tidak terdapat sarana komunikasi yang dapat menyampaikan berita kepada seluruh manusia ketika hilal terlihat.

Oleh sebab itu kami katakan: Sesungguhnya pendapat terkuat bahwa manusia pada zaman itu berpegang dengan rukyat masing-masing negerinya atau menyempurnakan bilangan bulan untuk berpuasa dan berbuka.

Dan yang tampak dengan jelas menurut saya pada masalah ini dan pada zaman ini adalah: Bahwa setiap negeri berbeda rukyatnya berdasarkan perbedaan tempat keluarnya hilal. Oleh sebab itu, apabila hilal terlihat penduduk timur bumi, kelazimannya akan berlaku bagi penduduk barat bumi.

Contohnya: Jika hilal terlihat di Pakistan, maka negara-negara setelahnya yang waktu tenggelam mataharinya belakangan, diwajibkan berpegang dengan rukyat tersebut. Sebab jika matahari telah mendahului bulan di Pakistan, maka pasti lebih jauh matahari mendahului bulan pada negara-negara setelahnya.

Demikian pula jika hilal terlihat di Saudi Arabia misalnya, maka negara-negara setelahnya wajib berpuasa dan tidak wajib bagi negara-negara sebelumnya.

Praktisnya sebagai contoh, jika hilal terlihat di Saudi Arabia, maka wajib bagi Sudan, Mesir dan setelahnya dari negara-negara di Afrika dan Eropa yang waktu tenggelamnya matahari belakangan setelah Saudi Arabia untuk berpuasa. Dan tidak wajib bagi negara-negara sebelumnya seperti Pakistan, Afghanistan, Irak, dan semisalnya.

Sebab telah dimaklumi bahwa semakin ke barat, maka waktu tenggelamnya matahari pada negara bagian barat bumi semakin terbelakang daripada negara bagian timur. Ini adalah perkara jelas yang tidak diperdebatkan dan nyata keberadaannya. Demikianlah kesimpulan pada masalah ini. Wabillahit-taufiq. Selesai

Demikianlah, saya memohon kepada Allah untuk memberikan tambahan ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan ikhlash dalam berkata dan berbuat. Dan semoga penjelasan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.

Al Faqir ila ‘afwi Rabbihi

Abu Abdillah Muhammad Yahya()

17 Ramadhan 1428 H/30 September 2007 M

Desa Nijamiyah-Kab. Shamithah-Prop. Jazan

Kerajaan Saudi Arabia