Angka 98 tahun telah dimasuki Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1428 H (18 Desember 2007). Pada usia yang kian dekat dengan satu abad ini, asumsi dan persepsi mengenai adanya hubungan antara Muhammadiyah dan politik sampai sekarang ternyata masih tertanam kuat dalam benak beberapa kalangan. Saking yakinnya, sampai-sampai anggapan tersebut berkembang menjadi semacam kesimpulan bahwa Muhammadiyah tidak bisa lepas dari politik praktis atau Muhammadiyah harus mempunyai partai politik sendiri yang resmi. Pandangan dan keyakinan itu kebanyakan dianut oleh aktivis atau pengurus partai politik, baik yang masih memegang jabatan struktural di persyarikatan- termasuk di organisasi otonom Muhammadiyah-maupun yang sudah tidak lagi menjabat. Rata-rata sikap dan pikiran tersebut didasarkan pada "pembenaran" sejarah secara sepihak mengenai perjalanan Muhammadiyah yang bersinggungan dengan partai politik. Di antara klaim historis tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, Khittah Ponorogo (1969) yang menyebutkan saluran dakwah Muhammadiyah salah satunya melalui partai politik.Parpol itu kemudian dikenal dengan nama Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Kedua, Khittah Ujungpandang (1971) yang oleh sementara pihak dinilai sebagai kegamangan Muhammadiyah melepas Parmusi. Ketiga, Tanwir di Semarang (1998) yang dianggap beberapa kalangan merekomendasikan berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN). Keempat, Tanwir di Mataram (2004) yang diklaim memberikan lampu hijau kepada Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) untuk mendirikan partai baru, yang kemudian bernama Partai Matahari Bangsa (PMB). Beberapa Catatan Penting untuk dicermati bahwa Parmusi dibentuk Muhammadiyah, namun yang tidak boleh dilupakan adalah hubungan selanjutnya setelah Parmusi itu berdiri sebagaimana telah diantisipasi pada poin 6-8 Khittah Ponorogo: "Muhammadiyah harus menyadari bahwa partai tersebut merupakan objeknya dan wajib membinanya; Antara Muhammadiyah dan partai tidak ada hubungan organisatoris, tetapi tetap mempunyai hubungan ideologis; Masing-masing berdiri dan berjalan sendiri-sendiri menurut caranya sendiri-sendiri, tetapi dengan saling pengertian dan menuju tujuan yang satu." Selanjutnya Khittah Ujungpandang (1971), khususnya pada poin ke-3, merupakan pilihan tegas Muhammadiyah dalam bersikap terhadap Parmusi. Pada poin ini disebutkan, "Untuk lebih memantapkan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam setelah Pemilu 1971, Muhammadiyah melakukan amar ma'ruf nahy munkar secara konstruktif dan positif terhadap Partai Muslimin Indonesia seperti halnya terhadap partai-partai politik dan organisasi-organisasi lain." Kalimat tersebut jelas menunjukkan gagasan utamanya mengenai posisi Muhammadiyah sebagai subjek atau pelaku dakwah. Dalam hal ini, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam juga melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar kepada Parmusi serta kepada partai-partai politik dan organisasi-organisasi lain (objek). Demikian pula tentang berdirinya PAN yang oleh sementara pihak dikatakan karena adanya wasilah rekomendasi Tanwir di Semarang (1998). Padahal, rintisan berdirinya PAN telah berlangsung jauh sebelum pelaksanaan Tanwir di Semarang itu dan tidak ada keputusan agar Muhammadiyah membentuk partai politik. Begitu juga tentang Keputusan Tanwir Mataram (2004), kalau dibaca dengan cermat, sebetulnya bukan "lampu hijau", tetapi "lampu kuning" bagi AMM yang ingin mendirikan partai baru. Perhatikan dengan saksama dua kalimat kunci dari teks Keputusan Tanwir Mataram kalau mau mendirikan partai politik: 1) pertimbangan yang matang dan pemikiran yang mendalam, bukan karena kekecewaan atau sekadar ingin berebut kekuasaan; 2) perhatikan nilai dasar persyarikatan dan tidak menyeret Muhammadiyah ke dalam politik praktis. Gelagat untuk menyeret atau memanfaatkan Muhammadiyah demi kepentingan politik praktis sudah mulai ditunjukkan oleh partai baru (PMB) yang mengklaim memperoleh "lampu hijau" dari Tanwir Mataram itu. Kalau cermat dan konsisten dengan poin ke-10 dari keputusan sidang Tanwir Mataram itu, maka PMB tidak perlu melekatkan diri dengan Muhammadiyah beserta simbol dan semua jaringannya. Politik Kebangsaan Pada waktu Tanwir di Mataram, PP Muhammadiyah bisa saja melarang langsung atau menolak aspirasi sebagian kalangan AMM yang ingin membentuk partai baru.Tetapi sikap bijak dan perhatian yang arif terhadap generasi muda itu yang dikedepankan oleh Muhammadiyah, kendati ternyata tidak beroleh respons serupa. Karena itu, yang dibutuhkan sekarang adalah ketegasan sikap Muhammadiyah terhadap oknum atau kelompok yang suka memperalat persyarikatan demi kepentingan politik mereka. Sikap ini bukan berarti kaku, tetapi tegas adalah pasti, tidak ngambang atau ragu-ragu. Jadi, dalam ketegasan ada konsistensi dan komitmen. Di samping itu, komitmen dan loyalitas dari jajaran pimpinan persyarikatan dan barisan kader serta seluruh anggota Muhammadiyah juga dituntut implementasinya demi terbangunnya revitalisasi ideologi dan aktualisasi agenda strategis organisasi. Dalam hal ini, hak berpolitik warga dan kader Muhammadiyah tetap dihargai karena siapa pun tidak punya wewenang menghalang-halangi berdirinya partai politik atau melarang orang lain berpolitik. Tetapi, jangan mengabaikan kebijakan politik Muhammadiyah yang tidak mengaitkan institusi dan pimpinannya dengan partai politik manapun, termasuk PAN atau PMB. Di sini perlu dipahami bahwa Muhammadiyah secara resmi dan sah telah membuat kebijakan dalam masalah politik dan partai politik. Salah satu keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-45 menyatakan, "Menolak upaya-upaya untuk mendirikan parpol yang memakai atau menggunakan nama atau simbol-simbol Muhammadiyah." Kebijakan politik Muhammadiyah itu akan gagal dipahami jika tidak mengaitkannya dengan konteks dan setting sosio-historis yang melingkupinya. Karena itu, hubungan Muhammadiyah dengan politik adalah dinamika. Peran dan strategi politik yang dilakukan Muhammadiyah lebih pada program dan gerakan pemberdayaan dan pencerahan umat bagi kemajuan bangsa. Hal itulah yang bisa disebut politik kebangsaan Muhammadiyah, dengan tetap mengambil jalur kultural atau dengan menerapkan high politics. Langkah dan kebijakan ini merupakan salah satu rumusan kunci Khittah Denpasar 2002, yang sering diabaikan oleh para aktivis parpol. Jadi, Muhammadiyah itu tidak abai dengan politik, dan politik kebangsaan dijadikan pilihannya untuk kebangunan negara-bangsa ini. Itulah politik Muhammadiyah yang tidak menjebakkan dirinya pada partai tertentu atau melakukan politik praktis seperti yang biasa dilakukan oleh partai politik. Pilihan ini diambil, selain untuk meneguhkan Muhammadiyah sebagai gerakan kultural, juga agar pengembangan masyarakat madani bisa terus bergerak. Identitas organisasi dan khitah perjuangan Muhammadiyah tentu tidak bisa dijadikan komoditas politik yang berjangka pendek atau dimanipulasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok. Untuk urusan politik, jangan mempertaruhkan nama besar Muhammadiyah yang sudah hampir satu abad ini atau apalagi menggadaikannya dengan sesuatu yang murah dan hal-hal yang sesaat. (*) Asep Purnama Bahtiar Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Penggiat Komunitas Aksara di Yogyakarta (mbs) |
Mengapa Harus Bermanhaj Salaf
Penulis: Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari
Syariah, Manhaji, 05 - Juli - 2003, 06:07:10
Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk.
Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj () dan salaf (). Manhaj () dalam bahasa Arab sama dengan minhaj (), yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).
Sedangkan salaf (), menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).
Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf () adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafi atau As Salafi, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala 6/21).
Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali).
Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedang kan Allah telah berwasiat kepada kita:
“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)
Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut:
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7)
Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” (Madaarijus Saalikin, 1/72).
Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya.
Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.
2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)
Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.’” (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).
Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.
Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.
3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100).
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.
Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367).
Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).
Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya.
Al Imam Asy Syathibi berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah nabi mereka atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”(Al I’tisham, 1/118).
2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
“Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).
Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).
Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37).
Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).
Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.
3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: (golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).
Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini sebagai nash (dalil–red) bagi apa yang diperselisihkan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara:
- Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam.
- Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan.
- Ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits hal 78-79).
Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.
Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena:
1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus.
2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam.
3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya.
4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika:
1. Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun orang-orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63).
2. Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil melalui kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54).
3. Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88).
4. Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil melalui kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88)
5. Al-Imam As Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57).
6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149).
Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155).
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lamu bish shawaab.
Saya salut dan saya setuju,
tapi klo tidak bermanhaj salaf (kasarnya, menjadi orang salafy) tidak apa -apa kan?
Itu sebuah pilihan, manhaj adl sebuah metode dlm mendalami Islam, kita mau bermanhaj salafy (sahabat rosululloh), bermanhaj ikhwany (IM), takfiri (Jamaah Islamiyah), mu’tazili (JIL), atau manhaj bikinan kita sendiri. Itu pilihan kita dan kita bertanggung jawab atasnya
Assalamu’alaikum,
Saya tertarik pada point dibawah ini :
—
Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam.
—
Bagaimana ulama-ulama kita yang terdahulu & yang sekarang ini yang tidak ber-Manhaj Salaf ?
apakah mereka termasuk pada golongan yang masuk neraka / bukan ya ?
Wa’alaikumussalam,
Termasuk aqidah ahlussunnah wal jamaah dalam menetapkan si A (secara khusus) masuk neraka atau tidak itu adalah rahasia Allah.
Coba perhatikan kata2 pertama:
“Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam”
Lalu bagaimanakah kondisi orang2 yg menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?
Maksudnya yang menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mengikuti selain manhaj salaf ???
Iya benar, karena Allah menyebutkan dalam AlQuran: “Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)
Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih.
Juga didukung oleh hadits Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: (golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).
Terima kasih atas penjelasannya, Jadi kalau kita menjalankan sunah-sunah Rasul dan para sahabatnya tapi tidak bermanhaj salafy bisa juga kan ?
Menjalankan sunnah Rasul dan para sahabatnya = itulah manhaj salafy. Istilah salafy digunakan/populer ketika mulai banyak manhaj/kelompok yg mengatasnamakan ahlussunnah berdasarkan pemahaman pendiri-nya/kelompok-nya. Istilah ahlussunnah juga dipakai ketika muncul fitnah syiah (kelompok yg paling tua menyimpang, mereka membenci para sahabat semisal Abu Hurairah, ‘Amr bin ‘Ash, Muawiyyah yg mereka juluki sbg iblis). Istilah2 ini muncul mmg sesuai dg kondisi-nya, semacam ikhwani=pengikut Ikhwanul Muslimin, Takfiri=yg mengkafirkan golongan lain, tablighi=pengikut jamaah tabligh, salafy=pengikut manhaj salaf/sahabat.
Nah skr kita sbg org yg jauh dari Rasul tentunya butuh sebuah standard dlm rangka menjadi pengikut Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, menjadi ahlussunnah, syiah, atau yg lainnya. Atau karena kesombongan diri sendiri membuat manhaj ‘menurut aku’. Penyakit ummat diantara syahwat dan syubhat. Syahwat krn sifat kemanusiannya yg melebihi sifat kehambaannya. Syubhat krn kebodohannya. Penamaan itu bukan sekadar simbol loh mas tapi pencerminan apa yg dilakukan, bisa saja dia mengaku salafy (misal: Abu Salafy) tapi yg dilakukan mencemooh sahabat, ulama besar semisal Imam Bukhori, para ‘Ulama maka dia bukan salafy, bisa juga dia tdk menyebutkan siapa dirinya tapi dia mencocoki Rasul dan mengikuti manhaj para sahabat Rasulullah maka dia adalah al-jama’ah (sbgmn disebutkan dlm sebuah hadits)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Ana hanya ingin menunaikan kewajiban untuk menyampaikan.
Menjalankan sunnah Rasul dan para sahabatnya adalah kewajiban sebagai muslim, namun
menyebut diri sebagai “salafy” adalah bid’ah. Sebagaimana menyebut diri sebagai ikhwani, tablighi, dsb.
Rasulullah.
Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari adalah ulama yang tawadhu dan tidak diragukan ketaqwaannya, namun tidak ada manusia yang sempurna sebagaimana Rasulullah saw.
Tidak ada satupun dalil-dalil baik hadits maupun para sahabat yang memerintahkan umat Islam untuk menyebut diri mereka salafy atau salafiyun.
Selain itu, dikhawatirkan akan muncul kelompok baru yang merasa sudah menjalankan sunnah rasul dan para sahabat secara kaffah. Sedangkan kelompok lain dianggap belum sempurna.
Contoh, banyak anggota IM yang melakukan perbuatan bid’ah, namun tidak sedikit juga yang konsisten terhadap apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, serta para salafus saleh. Perbedaannya adalah mereka berdakwah melalui “harakah” yang terorganisir. Inilah yang membuat mereka terjebak pada kelompok2.
Jika seseorang yang konsisten terhadap apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, serta para salafus saleh kemudian menyebut dirinya sebagai salafy, maka apa bedanya dengan orang yang menyebut sebagai IM?
Tidak sedikit saudara-saudara kita yang saling akrab karena sama-sama menyebut diri mereka “salafy” dan kemudian memandang sebelah mata kepada kelompok lain. Diakui atau tidak ini adalah resiko dari “Nisbat” tersebut.
Karena itu saudaraku..mari teliti kembali terhadap apa yang kita terima yang tidak jelas dalil-dalilnya, cukuplah kita sebagai Jamaah kaum muslimin, yang bersandar pada manhaj ahlus sunnah wal jama’ah (bukan berarti menyebut “salafy”)
Demi Allah, sudah cukup banyak fitnah melanda kaum muslimin,
Semoga Allah menunjuki kita ke jalan-Nya yang lurus
barakallahu fik.
wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
ade
adebiasa@yahoo.com
Wa’alaikumussalam Warohmatullohi Wabarokatuh,
Sebelumnya ada koreksi nih, Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari hanya ustadz bukan ulama.
Jika boleh saya mengambil kesimpulan, inti pertanyaannya anda adl ttg “penamaan Salafy”.
Memang tdk ada hadits maupun ayat yg memerintahkan kita utk menamai diri dengan Salafy, Sunni (Ahlussunah), Ikhwani, Tablighi, Syi’i, atau yang lainnya. Cukup hanya mengatakan saya seorang Muslim.
Adapun munculnya istilah ahlussunnah terjadi ketika mulai terjadi perselisihan diantara kaum muslimin, munculnya Syiah dan Khawarij. Silahkan lihat di: wikipedia tentang sunni atau yg wikipedia ini (sunni menurut salafy)
Nah sekarang dilihat apa tujuan kita menamai diri kita sbg seorang Muslim, Sunni, Salafy, IM, Jamaah Tabligh, dan lain-lainnya?
Tdk lain adalah untuk membedakan diri kita dari yg lain. Ketika berkata “Saya seorang Muslim” di sebuah komunitas yg didalamnya ada agama lain adl sesuatu yg relevan untuk membedakan kita bukan pengikut kristen atau budha. Tapi ketika di sebuah komunitas yg terdiri dari org muslim semua maka tdk relevan lagi ketika kita menyebut diri kita Muslim. Demikian juga ketika kita berkata “Saya Salafy” untuk membedakan bahwa kita bukan IM, Jamaah Tabligh, atau yg lain.
Jadi kesimpulannya penamaan ini hanya sekedar utk membedakan, saya bukan IM, Syiah, Jamaah Tabligh, atau yg lain.
Analogi sederhana: “Pesan apa? teh, susu, putih, atau kopi? Kemudian kita jawab pesan air” ini jawaban yg kurang tepat tapi kita harus jawab secara lengkap “pesan air putih”
Apakah sama antara menamakan diri dg IM, Salafy, atau yg lain?
Ketika berkata “Saya anggota IM” maka yg dimaukan dengannya adl memahami Islam dg pemahaman Ikhwanul Muslimin.
Ketika berkata “Saya salafy” maka yg dimaukan dengannya adl memahami Islam dg pemahaman para sahabat Rasulullah.
Nama IM berujung kpd Hasan Al Banna sbg pendirinya sedangkan nama Salafy berujung kpd siapa? tentunya Rasulullah shalallohu ‘alaihi wasallam.
Nama Salafy dan Ahlussunnah terdapat pada hadits, apakah nama IM terdapat dlm hadits juga?
Afwan, pada komentar saya sebelumnya
ada kata yang salah pada bagian:
…..ikhwani, tablighi, dsb.
Rasulullah.
Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari …..
Kata “Rasulullah” pada baris tersebut belum sempat terhapus, mohon diabaikan.
Oya, kalau antum tidak berkenan menampilkannya pada kolom komentar, tidak apa-apa.
Namun ana berharap ada alasan yang bisa antum sampaikan ke alamat email ana. Siapa tahu ana yang khilaf.
Syukron
wassalam
Assalamu’alaikum,
Terima kasih Pak Ustadz Ade. Saya setuju sekali dengan penjelasan antum bahwa kita sebagai Jama’ah kaum muslimin yang bersandar pada manhaj ahlus sunnah wal jama’ah (bukan berarti menyebut “salafy”).
Wassalam,
@Pakde Geng
Kenapa tdk menyebut hanya “Muslim”. Ada tambahan ahlussunnah wal jama’ah berarti orang Syiah tdk termasuk dong?
Memang sebutan “Muslim” itu yang lebih tepat, dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana membentuk suasana agama hidup dalam diri kita, keluarga dan orang-orang disekitar kita sehingga Insya Allah hidayah akan Allah turunkan keseluruh Alam.
Setuju pakde, penamaan hanya simbolis, yg penting prakteknya. Sudah sejauh mana kita mengamalkan sunnah Rasulullah?
assalamualaikum,,
saya ingin bertanya, apakah semua sahabat itu dijamin mampu melanjutkan ajaran dari Rasulullah.?
yang kedua, kenapa ada perbedaan antara sahabat yang satu dengan sahabat yang lainnya, padahal sumbernya satu yaitu Rasulullah?..
yang ketiga, apa sih definisi sahabat itu?
Sesuai AlQuran kita disuruh mengambil manhaj mereka, sesuai hadits mereka adl generasi terbaik.
Perbedaan? Tiap manusia punya penafsiran masing2. Lalu bagaimana mrk menghadapi perbedaan? Dg ilmu tentunya.
Sahabat?
Kata Ibnu Katsir : “Shahabat adalah orang Islam yang bertemu dengan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun waktu bertemu dengan
beliau tidak lama dan tidak meriwayatkan satu hadits pun dari beliau”.
Kata Ibnu Katsir :” Ini pendapat Jumhur Ulama Salaf dan Khalaf (=Ulama
terdahulu dan belakangan)”. [3]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani melengkapi definisi Ibnu Katsir, ia
Berkata :”Definisi yang paling shahih tentang Shahabat yang telah aku teliti
ialah : “Orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan beriman dan wafat dalam keadaan Islam”. Masuk dalam difinisi ini
ialah orang yang bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik lama
atau sebentar, baik meriwayatkan hadits dari beliau atau tidak, baik ikut
berperang bersama beliau atau tidak. Demikian juga orang yang pernah melihat
beliau sekalipun tidak duduk dalam majelis beliau, atau orang yang tidak
pernah melihat beliau karena buta. Masuk dalam definisi ini orang yang
beriman lalu murtad kemudian kembali lagi kedalam Islam dan wafat dalam
keadaan Islam seperti Asy’ats bin Qais.
Kemudian yang tidak termasuk dari definisi shahabat ialah :
[a]. Orang yang bertemu beliau dalam keadaan kafir meskipun dia masuk Islam
sesudah itu (yakni sesudah wafat beliau).
[b]. Orang yang beriman kepada Nabi Isa dari ahli kitab sebelum diutus Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setelah diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dia tidak beriman kepada beliau.
[c]. Orang yang beriman kepada beliau kemudian murtad dan wafat dalam
keadaan murtad. Wal’iyaadzu billah. [4]
Keluar pula dari definisi shahabat ialah orang-orang munafik meskipun mereka
bergaul dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah dan Rasul-Nya
mencela orang-orang munafik, dan nifaq lawan dari iman, dan Allah memasukkan
orang munafik tergolong orang-orang yang sesat kafir dan ahli neraka [Lihat
: Al-Qur’an surat An-Nisaa : 137,138,141,142,143,145. Juga surat Ali Imran :
8 - 20].
Sesuai AlQuran kita disuruh mengambil manhaj mereka, sesuai hadits mereka adl generasi terbaik.
Perbedaan? Tiap manusia punya penafsiran masing2. Lalu bagaimana mrk menghadapi perbedaan? Dg ilmu tentunya.
==> Para Sahabat dalam menghadapi perbedaan dengan ilmu tentunya, lalu bagiamana dengan kita ? kaum akhir zaman yang banyak sekali perbedaan-perbedaan ini, tidak cukup dengan ilmu saja. Yang lebih utama adalah bagaimana kita memiliki akhlak dan amalan seperti yang dimiliki oleh para sahabat r.a
Tapi pada prakteknya mereka mengedepankan golongan/kelompok, taklid buta. Kata2 yg sering terlontar: “Kami juga punya ulama”, “Ini juga ada haditsnya”, dll. Seharusnya mereka mau utk terbuka, diskusi ilmiah. Bagaimana kita tahu amalan dan akhlak para sahabat? Dengan ilmu tentunya.
Saya setuju dengan ilmu kita dapat mengetahui amalan dan akhlak para sahabat r.a, tapi tidak cukup hanya untuk diketahui saja atau mengadakan diskusi ilmiah saja. Amalkan yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari, Amalkan dalam kehidupan sehari-hari kita, dakwahkan kepada orang-orang disekitar kita dimanapun kita berada sehingga suasana agama kembali tumbuh seperti zaman Rasulullah S.A.W dan para sahabat r.a.
Setuju, ilmu tanpa amal adl seperti pohon tanpa buah.
kapan seseorang dikatakan salafy? saya merasa sudah mengikuti sunnah Rasulullah? berarti saya salafi dong
Bisa
Sebaiknya kita jangan cuma “merasa” sudah mengikuti sunnah. Tapi harus yakin dan mempelajari sunnah dengan mengikuti sahabat. Karena merekalah yang melihat langsung bagaimana kehidupan Nabi Shallallohu’alaihi wasallam, mendapat didikan langsung dari beliau dan mereka pula yang paling bersemangat dalam menerapkan sunnah. Jadi bukan karena merasa telah mengikuti Al-Quran dan Hadits saja. Bukankah mereka yang menyebut diri mereka IM, Jamaah Tabligh, Islam Jamaah, LDII bahkan syiah juga mengklaim bahwa mereka telah mengikuti Al-Quran dan Hadits. Tapi pertanyaannya: Al-Quran dan Hadits berdasarkan penafsiran siapa??
Sungguh menyandang predikat sebagai seorang salafy atau pengikut salaf bukan perkara yang ringan. Karena sering kali masyarakat menjadi salah paham terhadap manhaj ini karena beberapa orang yang baru belajar ilmu agama dan telah mengaku sebagai salafy kemudian melakukan tindakan sembrono dalam membidahkan, memvonis bahkan mengkafirkan orang-orang yang sebenarnya masih awam atau belum memahami dan mengamalkan Islam secara benar. Padahal mengikuti manhaj salaf dan menjadi seorang salafy berarti juga harus mengikuti manhaj mereka dalam bermuamalah dan berdakwah.
Syaikh Bakar Abu Zaid berkata :
‘Apabila dikatakan As-Salaf atau As-Salafiyun atau As-Salafiyah, ini menisbatkan kepada Salaf As-Shalih, yakni seluruh sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan tanpa condong kepada hawa nafsunya…
Dan orang-orang yang tetap diatas manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka dinisbatkan kepada Salaf Ash-Shalih. Kepada mereka dikatakan As-Salaf, As-Salafiyun. Yang menisbatkan kepada mereka dinamakan Salafi, dan itu wajib baginya. Karena sesungguhnya lafazh Salaf adalah Salafu Ash-Shalih. Lafazh ini secara mutlak, yakni setiap orang yang berteladan kepada sahabat Radhiyallahu ‘anhum.
Walaupun dia hidup pada zaman kita ini, harus seperti ini, inilah kalimat ahlu ilmi, Itulah penisbatan dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Bukan merupakan formalitas dan tidak terpisah sedikitpun dari generasi yang pertama, bahkan itu penisbatan dari mereka dan kembali kepada mereka.
Sedangkan orang yang menyelisihi As-Salaf, hanya berdasarkan nama atau formalitas belaka, maka jangan. Walaupun mereka hidup sezaman dengan para Salafu Al-Ummah dan setelah mereka’. [Hukmu Al-Intima hal. 36]
Jazakallohu khoiron atas tambahannya
@ syarif
saya menggunakan kata “merasa” karena memang hal ini sangat subyektif. Apakah Anda juga sekadar “merasa”, atau memang ada ukuran objektif sehingga saya bsa imembuang kata “merasa”. Lalu, apa yang menjadi ukuran objektif itu? Siapa yang membuat ukuran objektif itu?
“Lafazh ini secara mutlak, yakni setiap orang yang berteladan kepada sahabat Radhiyallahu ‘anhum.”
Ya, saya juga berteladan kepada sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Mengapa saya diragukan untuk disebut salafi? Walaupun saya tidak ikut haraqah manapun.
Terakhir, @syarif, Anda sudah salafi?